Bertempat di hotel Majapahit Surabaya (22/11), Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyelenggarakan sosialisasi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, khususnya terkait dengan aturan revitalisasi dan adaptasi cagar budaya.

Sosialisasi ini dilatarbelakangi oleh maraknya kerusakan, penelantaran, serta perubahan fisik cagar budaya yang tidak sesuai dengan pelestarian cagar budaya. Dalam rangka mencegah hal-hal tersebut terulang kembali di kemudian hari, pemerintah menyelenggarakan sosialisasi tentang “Revitalisasi dan Adaptasi Cagar Budaya serta Paduserasi Penataan Ruang” dengan mengundang sejumlah narasumber dari Kementerian/Lembaga/Instansi yang terkait

Narasumber sebanyak 4 orang dengan materi berbeda-beda. 2 narasumber ahli dari Dinas Pekerjaan Umum sebagai arsitektur, seorang ketua asosiasi arkeolog Indonesia dan seorang perwakilan dari Direktorat Pelestarian Cagar Budaya. Materi disampaikan dengan antusias dan peserta menyambutnya dengan pertanyaan, permasalahan dan kondisi di lapangan.

Pelestarian cagar budaya pada masa kini perlu menggunakan paradigm baru yang berorientasi pada pengembangan, pemanfaatan, pengelolaan kawasan dan mengikutsertakan peran aktif masyarakat. Sifat pelestarian cagar budaya menjadi lebih dinamis, menyesuaikan dengan perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat luas.


Sima merupakan status special sebuah wilayah yang diberikan oleh raja yang masyarakatnya telah berjasa bagi raja ketika dalam keadaan perang atau upah dalam merawat bangunan suci kerajaan yang dibangun di daerah tertentu. Sehingga untuk mendapat status sima tersebut, masyarakat dengan sukarela membela kerajaan walaupun bukan bagian dari pasukan kerajaan yang terlatih.

Spirit membela tanah air inilah yang kita sebut sekarang dengan Strategi Perang Semesta, dimana masyarakat berkewajiban berperan aktif ketika negara dalam kondisi genting. Di sisi lain, masyarakat juga terbiasa memberikan harta, makanan atau tenaga secara sukarela ketika bangunan suci sedang ada perbaikan, kerja bakti atau ritual keagamaan.

Keistimewaan dari daerah sima yaitu mendapatkan hak-hak istimewa dari raja berupa diperbolehkannya menggunakan atau membangun sesuatu yang tidak dimiliki oleh masyarakat daerah lainnya. Selain itu juga mendapat keringanan pajak, sehingga banyak pedagang yang akan masuk di wilayah tersebut. Pemberian hak istimewa kepada suatu wilayah inilah yang kita sebut dengan otonomi daerah.

Keputusan sima tersebut berbunyi tan katamana dening Sang Mangilala Drwyahaji, yang artinya tidak boleh dimasuki oleh abdi dalem kerajaan yang menerima gaji dari raja. Tertulis dalam prasasti-prasasti sima dari Raja Airlangga yang tersebar di Sidoarjo, Surabaya, Tuban, Mojokerto dan sebagaian besar tersebar di wilayah Lamongan sebanyak 14 batu prasasti.

Meskipun demikian, ada aturan-aturan social yang harus dipatuhi di wilayah sima. Aturan social tersebut di dalam prasasti disebut sukhaduhka, yaitu tindak pidana kejahatan yang pantang dilakukan oleh masyarakat yang mendapatkan status sima, jika dilanggar maka akan mendapat denda. Aturan-aturan tersebut diantarnya:
1.       Mayang Tan Pawwah (Tidak Menepati Janji)
2.      Walu Rumambat ing Natar (Melanggar Batas Tanah)
3.      Wipati (Pembunuhan)
4.      Wangkay Kabunan (Pembunuhan Berencana)
5.      Rah Kasawur ing Natar (Perselisihan Berdarah Antar-kelompok)
6.      Hidu Kasirat (Adu Mulut atau Percekcokan)
7.      Duhilaten (Memfitnah Orang Lain)
8.      Sahasah (Memaksa Orang Lain/Bertindak Agresif)
9.      Hastacapala (Perkelahian)
10.  Wakcapala (Berbicara Tidak Sopan)
11.  Mamijilaken Wuri ning Kikir (Mengeluarkan Senjata Tajam)
12.  Mamuk (Marah-Marah)
13.  Mamumpang (Pelecehan Seksual)
14.  Ludan (Teror)
15.  Tutan (Terlibat Masalah)
16.  Angsapratyangsa (Kekisruhan Pembagian Hak Waris)
17.  Dandakudanda (Berpukulan Menggunakan Tongkat)
18.  Mandihaladi (Meracuni Orang Lain)
19.  Palih Kuwu (Berpindah Tempat Tinggal)
20.  Kadal Mati ring Hawan (Main Hakim Sendiri)

Sementara itu dalam bagian Sapatha (kutukan-kutukan) dalam prasasti yang dikeluarkan Raja Airlangga juga terdapat istilah Panca Mahapataka, yang berarti lima dosa besar yang pantang dilakukan oleh masyarakat, yaitu:
1.      Papa ni Mati Brahmana(Kejahatan Membunuh Orang Suci)
2.      Papaning Mawati Lamwukanya(Melakukan Tindak Pemerkosaan)
3.      Papani Gurudrohaka (Durhaka Kepada Guru)
4.      Papani Brunaghna(Kejahatan Aborsi)
5.      Papa Tmu nikanang Wang Umulahulah Ikai Sima(Kejahatan Berhubungan dengan Orang yang Mengganggu Gugat Status Sima)

Aturan-aturan tersebut masih bertahan hingga sekarang, baik berbentuk aturan tertulis oleh negara maupun tak tertulis yang menjadi hokum adat suatu kelompok masyarakat. Oleh karenanya, ketika kita memasuki wilayah atau instansi tertentu ada aturan-aturan yang perlu dibaca sebagai kesepakatan bersama.

Warisan Sima

by on 20:50
Sima merupakan status special sebuah wilayah yang diberikan oleh raja yang masyarakatnya telah berjasa bagi raja ketika dalam keadaan perang...

Dewan Kesenian Jawa Timur sosialisasikan folklore untuk mengenali jati diri bangsa. Bertempat di Latarombo Café, sosialisasi berlangsung meriah dengan dihadiri pejabat setempat, para guru, budayawan dan akademisi. Sosialisasi ini sebagai upaya meningkatkan nasionalisme dan cinta tanah air kepada masyarakat Jawa Timur khususnya generasi muda.

Kurang lebih selama 3 bulan, tim konservasi budaya melakukan riset terhadap folklore dengan spesifikasi dalam seni pertunjukan. Tim konservasi budaya sebanyak 5 orang diantaranya: Desiderius Alrin Rahadianto, Ardiansyah Bagus Suryanto, Riszky Alla Saputra dan Tiara Widya Iswara yang diketuai oleh Wulansary.

Dalam sosialisasi tersebut setidaknya ada 7 cerita rakyat yang diabadikan dalam seni pertunjukan. Kisah-kisah tersebut seharusnya menjadi inspirasi dalam memupuk karakter jati diri bangsa. Cerita rakyat tersebut diantaranya: Laskar Majapahit dalam Pementasan Ludruk, Dewi Andong Sari dalam Tari Runtik, Panji dalam Tari Topeng Malangan, Prabu Suryadadari dalam Wayung Purwa, Reog Ponorogo, Menakjinggo dan Tari Gandrung Sewu.




Untuk meningkatkan geliat industry kreatif di Jawa Timur, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jawa Timur memberikan pelatihan pembuatan video animasi explainer kepada masyarakat Jawa Timur. Bertempat di gedung D Disperindag Jatim, pelatihan berlangsung selama 6 hari non-stop (5-10/12). Dalam pembukaannya, panitia bertujuan untuk menanam bibit-bibit kreativitas dan harapannya semoga peserta mengikuti acara secara maksimal sehingga menghasilkan produk yang menginspirasi dan membanggakan.  

Pelatihan ini diikuti oleh 25 pemuda terpilih dari berbagai daerah. Dengan latar belakang yang berbeda-beda, peserta saling mengisi satu sama lain. Tutor yang didatangkan langsung dari kalangan profesionalisme muda membuat pelatihan ini sangat cair dan penuh antusiasme.

Dimulai dari pembuatan script dan pengenalan aplikasi, presentasi hasil analisa, pembuatan produk, pengembangan animasi 3D, voice over, dan diakhir dengan penampilan hasil karya peserta. Sebanyak 25 karya dengan skript berbeda-beda disuguhkan, dinikmati dan dievaluasi bersama untuk menghasilkan karya yang terbaik.



PENULIS           : William P. Young
CETAKAN          : I/Januari 2009
TEBAL               : xiv + 418
UKURAN           : 14 x 21 cm
ISBN                  : 978 – 979 – 29 – 1137 – 4
IDR                    : 100 K

Di tengah dunia yang cepat berubah dan agama yang tidak lagi dianggap relevan, dan semua pertanyaan tentang dimanakah Sang Pencipta atau Tuhan ketika manusia sedang berada dalam penderitaan luar biasa, ada satu titik cerah yang mencoba memberikan jawabannya. Sebuah cerita dalam novel, penuh misteri yang mengharukan, menguak peristiwa spiritual dalam integritas kesusastraan.

The Shack, novel yang menjadi best seller dan dicetak lebih dari satu juta kopi ini awalnya hanya beredar dari mulut ke mulut, karena tak satu pun penerbit yang mau untuk menerbitkannya. Novel ini juga masuk ke peringkat 30 besar buku best seller versi amazon dan kini sudah hadir dalam versi bahasa Indonesia.

Sang Pengarang, William P. Young, seorang sarjana agama dari Warner Pacific College, Portland, Oregon mampu membuka cadar yang telah mengintegrasikan indahnya hidup ini dengan ilahi Sang Pencipta. Cerita The Shack berawal dari putri bungsu Mackenzie Alen Philip. Missy telah diculik dan dibunuh ketika keluarga itu sedang berlibur. Bukti yang menunjukkan bahwa ia telah dibunuh secara sadis ditemukan di sebuah gubug di pedalaman hutan belantara Ordegon.

Empat tahun kemudian, di tengah-tengah kesedihan besarnya, Mack menerima secarik pesan mencurigakan yang mengundangnya untuk kembali ke gubug itu. Kemudian bertentangan dengan akal sehatnya, ia tiba di sebuah gubug di suatu sore musim dingin dan berjalan kembali memasuki mimpi buruknya yang paling kelam. Sesuatu yang tak terduga dialami Mack. Apa yang ditemukannya di gubug itu akan mengubah dunianya, untuk selamanya. Kisah ini mampu membuat pembaca  dapat masuk memahami lebih mendalam mengenai siapa Tuhan. Penuh kejutan, kekaguman sekaligus sukacita dan mampu mengalirkan air mata ketika larut membaca buku The Shack ini.

The Shack

by on 06:32
PENULIS            : William P. Young CETAKAN           : I/Januari 2009 TEBAL                : xiv + 418 UKURAN            : 14 x 21 cm ISB...
PENULIS       : Tim Konservasi Budaya DKJT
CETAKAN     : I/2018
TEBAL           : xvi + 364
UKURAN       : 16 x 25 cm
ISBN             : 978-602-5714-34-5
IDR                : 100 K

Secara sederhana, folklore merupakan suatu bentuk komunikasi antar-generasi dengan cara “titip pesan budaya” dari generasi terdahulu kepada generasi-generasi setelahnya. Folklor adalah kebudayaan yang diwariskan secara turun-temurun secara lisan maupun isyarat.

Karena folklore bersifat tidak tertulis dan juga dampak kemajuan zaman serta perubahan sosio-budaya yang ada di masyarakat, maka keberadaan folklore ini menjadi tersisihkan dan bahkan berpotensi punah. Padahal di balik setiap penciptaan folklore tentu terdapat muatan-muatan yang hendak disampaikan kepada generasi selanjutnya sebagai pelestari budaya.

Folklor berupa cerita rakyat yang mengandung nilai-nilai luhur kearifan local, terkadang tidak dipahami oleh masyarakat kita. Kalaupun cerita rakyat bisa diturunkan kemudian dibukukan sebagai upaya pelestarian budaya, namun nilai-nilai kearifan local yang lebih dalam dan implisit seringkali tidak sampai dipahami dan turut disampaikan ke genarasi selanjutnya. Oleh karenanya, akan terjadi putusnya pemahaman identitas multidimensi suatu masyarakat tertentu tentang dirinya sendiri.

Buku ini adalah upaya untuk mengkaji nilai-nilai kearifan local dan pesan implisit yang terdapat dalam folklore di Jawa Timur. Dengan metode etnografi, penelitian lapangan berupa observasi, wawancara serta tinjauan dokumentasi yang pernah ada, maka kami tim konservasi budaya Dewan Kesenian Jawa Timur menyajikan beberapa folklore yang ada di Jawa Timur yang berkembang dalam seni pertunjukan.


PENULIS       : Wiwin Indiarti
CETAKAN     : I/2018
TEBAL           : xvi + 364
UKURAN       : 16 x 25 cm
ISBN             : 978-602-5714-34-4
IDR                : 150 K

Lontar Yusup Banyuwangi merupakan manuskrip yang bersumber dari nukilan Al-Quran yang disusun atas pupuh-pupuh dan berisi kisah tentang perjalanan hidup Nabi Yusuf. Mocoan Lontar Yusup yang biasa menyertai ritual individu atau kolektif tersebut diekspresikan dalam senandung tembang local Banyuwangi dan dapat ditafsirkan sebagai akulturasi antara Islam dan budaya local warisan Blambangan yang sacral dan religius.

Meskipun pernah diteliti oleh Bernard Arps dari Leiden University, fenomena mocoan tetap menyisakan daya tarik, terutama terkait studi kelisanan , religiusitas dan kearifan local. Upaya yang dilakukan oleh seorang akademisi sekaligus Laros (Lare Osing), Wiwin Indiarti, untuk mewujudkan teks pegon, transliterasi dan terjemahan Lontar Yusup ini cukup membantu mempopulerkan ke public yang lebih luas. Terbitnya buku Lontar Yusup Banyuwangi ini dapat dimaknai sebagai selebrasi menguatnya budaya local di tengah pusaran arus global.

Lontar Yusup Banyuwangi

by on 23:49
PENULIS       : Wiwin Indiarti CETAKAN      : I /2018 TEBAL           : xvi + 364 UKURAN       : 16 x 25 cm ISBN             : 978-602-5714...

PENULIS                          : Mun’im Sirry
CETAKAN                        : I/2017
TEBAL                              : x + 332
ISBN                                : 978 – 602 – 1326 – 62 – 6

Dalam pengantarnya, penulis memulai dengan mengutip pernyataan sarjana Inggris dalam karyanya yang menyatakan bahwa Muhammad SAW adalah sosok fiktif. Kata Muhammad telah popular dalam sastra klasik pra-Islam sebagai sebuah gelar.
Alih-alih mendapatkan jawaban, buku ini akan membuat pembaca semakin bertanya-tanya terkait kehidupan beragama yang selama ini dijalani. Mengajak pembaca untuk bertransformasi dari beragama secara keturunan menjadi beragama dengan pengetahuan., melengkapi keyakinan teologis dengan akademis. Hadirnya buku ini seakan berpesan agar umat tidak mudah terprovokasi dengan oknum-oknum yang mengatasnamakan agama untuk kepentingan pribadi, harta, kekuasaan, atau hal-hal kecil lainnya.
Kita tidak benar-benar tahu sosok Muhammad SAW yang historis, jika tidak mengetahui secara meyakinkan sosok ‘Yesus Historis’. Begitu pun sebaliknya, kita tidak benar-benar tahu sosok Yesus Historis, jika tidak mengetahui secara meyakinkan sosok ‘Muhammad SAW Historis’.
Jika dilanjutkan, kita tidak benar-benar tahu ajaran Muhammad SAW, jika tidak mengetahui secara meyakinkan kitab Injil. Dan begitu pun sebaliknya, kita tidak benar-benar tahu ajaran Yesus Kristus (Yunani) atau Isa Al-Masih (Arab), jika tidak mengetahui secara meyakinkan kitab Al-Quran.
Secara khusus penulis tidak menganjurkan membaca buku ini bagi 2 jenis pembaca, yaitu: pembaca yang mudah tersinggung manakala pemahaman konvensional terhadap ajaran agama dipertanyakan dan pembaca yang menelan mentah-mentah setiap analisis at face value.
Islam berkembang secara gradual, sehingga memahami Islam tidak bisa secara sepotong-sepotong. Bermula dari munculnya kelompok yang menyatakan diri sebagai reformis, menginginkan Islam seperti generasi awal dan menganggap beberapa yang ada sekarang bukan bagian dari Islam. Sehingga muncullah slogan kembali kepada Al-Quran dan Hadis yang tampaknya benar, serta kelompok takfiri yang tidak hanya membahayakan negara, tetapi juga nilai-nilai kemanusiaan.
Buku ini membahas kemunculan Islam dari tiga aspek, biografi Nabi, sejarah Al-Quran dan ekspansi kekuasaan dari sudut pandang kesarjanaan revisionis yang mempersoalkan narasi tradisional yang sudah menjadi master narrative dan menawarkan suatu penjelasan alternative.
Bab I secara khusus mendiskusikan berbagai persoalan terkait sumber-sumber untuk merekonstruksi Islam awal. Tiga problem dasar yang inheren dalam sumber-sumber Muslim tradisional dianalisis secara detail. Yaitu kitab-kitab yang ditulis belakangan, jauh dari peristiwa terjadi. Sehingga buku ini memetakan berbagai tipologi pendekatan terhadap sumber-sumber tradisional.
Bab II membahas berbagai teori tentang kemunculan Islam awal yang ditawarkan oleh sarjana-sarjana tradisionalis dan revisionis. Penulis lebih condong pada model kesarjanaan jalan tengah, dan tesis-tesis revisionis moderat ini dikembangkan ke dalam bidang-bidang yang lebih spesifik, seperti kajian Al-Quran.
Bab III mendiskusikan Al-Quran dalam periode formatif. Perjalanan Al-Quran dari yang tak berbentuk berupa hafalan-hafalan hingga berupa mushaf. Juga perjalanan teks Al-Quran dari tak berhuruf hingga bertitik dan berharakat. Keterkaitan dengan kitab sebelumnya dan peristiwa-peristiwa yang merujuk ke situasi yang sama.
Bab IV mengembangkan argument terakhir dalam ranah kajian biografi Nabi . Merekonstruksi Muhammad SAW yang historis, bukan sejarah yang diidealisasikan dan diglorifikasikan, dikenal dengan istilah salvation history.
Bab V mendiskusikan proses kristalisasi Islam menjadi agama sebagaimana kita saksikan sekarang menyusul penaklukan dan ekspansi kekuasaan politik dan territorial. Bab ini mendiskusikan berbagai teori tentang motif dan modal kesuksesan ekspansi awal dengan menggabungkan bukti-bukti historis dalam tradisi Muslim dan non-Muslim.
Dalam bab penutup, penulis menjabarkan bagaimana situasi Islam di masa awal, bukan situasi di masa literature-literatur utama ditulis kerena penulisan literature itu jauh setelah peristiwa Islam di masa awal terjadi.


PENULIS                          : Emha Ainun Nadjib
CETAKAN                        : I Februari 2015
TEBAL                              : viii + 240
ISBN                                : 979 – 602 – 291 – 068 – 8

Dikisahkan warga masyarakat Karang Kedempel resah dan sedih karena kehilangan Kiai Semar. Padahal perannya sangat dibutuhkan saat ini. Masalah-masalah yang kian runyam menunggu turun tangannya. Lurah dan seluruh perangkatnya tak lagi sanggup menjalankan fungsinya sebagai petugas penyejahtera rakyat. Para Punakawan lainnya, Gareng, Petruk, dan Bagong jadi ramai berdebat, merefleksi dan mencari. Di antara menghilangnya Semar dan tertindasnya warga Karang Kedempel, berlangsung berlapis-lapis pemikiran dan pergulatan. Di tengah represi politik, pembungkaman suara, dan penjajahan oleh asing, bergema pertanyaan mengapa Semar pergi sementara rakyat Karang Kedempel tak berdaya. Hakikat politik, kedaulatan rakyat, sejatinya kekuasaan, semuanya dipertanyakan kembali.

Sampailah mereka pada kesimpulan perlunya carangan. Carangan ialah mengubah pakem, menggesernya, merombaknya, atau bahkan menggantikannya sama sekali. Suatu sistem pakem yang menyejahterakan sebagian orang dengan cara menyengsarakan sebagian besar lainnya tak bisa diteruskan. Kaum Punakawan sebagai agen dari Budaya Carangan yang mencoba menyelusupkan paham-paham baru yang membebaskan dalam keniscayaan tragis Mahabharata, menunjukkan bahwa masyarakat Karang Kedempel sebenarnya melontarkan kehendak pembebasan secara autentik.

Zaman terus berjalan, melangkah, dan berubah. Novel-esai berjudul “Arus Bawah” ini dulu pernah terbit di harian Berita Buana pada 28 Januari - 31 Maret 1991. Menggedor kesadaran orang-orang, yang hidup tapi tak selalu berdaya dalam kepungan kekuasaan Orde Baru. Menyusupkan dan menyebarkan virus budaya carangan, di atas berlangsungnya mainstream kekuasaan dan politik kala itu, yang baku, pakem, dan hendak dilanggengkan.

Kini, di awal tahun 2015, novel-esai yang mengajak kita lebih dekat dengan kehidupan negeri Karang Kedempel ini hadir kembali. Dan sejatinya, juga mewartakan hal yang sama. Mungkin lebih dari yang dulu, Karang Kedempel yang sekarang ini dikuasai oleh politik tipu daya pencitraan, pemerintahan yang terbelah dan penuh sandiwara, kamuflase demokrasi, maraknya aliran-aliran penyempitan berpikir, riuh rendahnya ocehan dan hujatan di media sosial, aneka tingkah polah nyelfie dan lebaynya gaya hidup, amat sangat memerlukan kembalinya Kiai Semar. Sekurang-kurangnya para Punakawan lainnya bisa segera menggulingan gerakan carangan baru.

Sebagai sebuah proses, bansa Indonesia belum selesai. Itu sebabnya kita perlu menengok lagi pertanyaan-pertanyaan yang lebih sering bernada gugatan dari para Punakawan dalam novel ini. Apakah kita benar-benar membutuhkan Semar sehingga perlu dicari? Atau, kita sedang berpura-pura membutuhkan semar? Jangan-jangan Semar tak ke mana-mana.

Buku ini memiliki keunggulan dari segi karakteristik tokoh-tokoh di dalamnya yang membuat si pembaca dapat langsung memahami karakter tokoh tersebut. Novel ini juga dibumbui oleh cerita-cerita yang lucu dan jenaka yang membuat pembaca tidak akan bosan membacanya. Dan juga memberikan penyegaran di tengah-tengah kemelut masalah yang terjadi. Namun, pemilihan kata-kata di novel ini menggunakkan bahasa-bahasa Jawa yang menyulitkan pembaca dalam memahami kandungan teks. Sepertinya buku ini dikhususkan pada pemerhati politik dan situasi kenegaraan.

Novel-esai ini sangat bermanfaat untuk menghilangkan stress karena kejenuhan menyaksikan pergulatan politik negeri. Penulis mengajak para pembacanya untuk berani melawan setiap penindasan dan ketidakadilan yang dilakukan penguasa terhadap rakyat. Penulis membungkusnya dengan tokoh jenaka yang sesekali membuat pembaca tertawa dengan keanehan tokohnya.

Arus Bawah

by on 05:07
PENULIS                           : Emha Ainun Nadjib CETAKAN                         : I Februari 2015 TEBAL                               ...
PENULIS                          : Habiburrahman El Shirazy
CETAKAN                        : vii/2015
TEBAL                              : xxxvi/588
ISBN                                : 978 – 602 – 8997 – 95 – 9
                                       
Novel Api Tauhidini adalah novel roman dan sejarah. Sebuah tulisan yang bernada kritik dan saran bagi perbaikan umat kini yang cenderung mengikuti arus budaya Barat. Padahal kemunduran cahaya Islam dimulai dari keroposnya bangunan akidah dan akhlak kaum muslim. Fenomena ini disuguhkan penulis lewat kisah hidup tokohnya. Berawal dari perjuangan anak muda asal Lumajang, Jawa Timur, yang bernama Fahmi. Ia dan beberapa rekannya seperti Ali, Hamza, dan Subki, menuntut ilmu di Universitas Islam Madinah.

Dalam perjalanannya Fahmi, mahasiswa S2 harus menghadapi situasi yang cukup pelik, dalam urusan rumah tangga. Dia menikah dengan Nuzula anak seorang Kiai secara sirri. Karena suatu alasan, Nuzula meminta cerai setelah empat bulan pernikahan. Padahal mereka belum tinggal satu atap. Kyai Arselan, ayah Nuzula memaksa Fahmi untuk menjatuhkan talak. Fahmi depresi. Semua persoalan yang dialaminya itu tak pernah ia ungkapkan dengan teman-temannya. Kegalauannya itu ia tumpahkan dengan cara beri’tikaf di Masjid Nabawi, Madinah, untuk mengkhatamkan hafalan Al-Qur`an sebanyak 40 kali. Sayangnya, upayanya itu hanya mampu dijalani selama 15 hari. Memasuki hari-hari berikutnya, Fahmi pingsan. Ia tak sadarkan diri, hingga harus dibawa ke rumah sakit.

Sahabat-sahabatnya khawatir dengan kondisinya yang pemurung dan tidak seceria dulu. Hamza, temannya yang berasal dari Turki, mengajak Fahmi untuk berlibur ke Turki. Hamza berharap, Fahmi bisa melupakan masa-masa galaunya selama di Turki nanti. Untuk itulah, Hamza mengajak Fahmi menelusuri jejak perjuangan Said Nursi, seorang ulama besar asal Desa Nurs. Ulama terkemuka ini, dikenal memiliki reputasi yang mengagumkan. Berbagai peristiwa di balik runtuhnya khilafah terakhir Turki Ustmani yang mengubah wajah sejarah dan peta politik dunia hingga kini juga tersaji di sini.

Di Turki, Fahmi berkenalan dengan Aysel yang mengalami masa lalu kelam. Tafakkur Aysel akan hadirnya harapan baru membuat ia mengubah penampilannya seperti Emel, sepupunya. Aysel memakai cadar dan abaya, juga rajin shalat di awal waktu. Selama di Turki mereka melakukan perjalanan menyusuri sejarah hidup ulama bernama Said Nursi. Said Nursi adalah bukti keberkahan orang tuanya, Nuriye dan Mirza yang selalu menjaga kehalalan dalam setiap sendi kehidupan. Jejak kehidupan Said Nuris dimulai dari Istanbul, Kayseri, Gaziantep, Sanliurfa, Konya, Isparta, hingga Barla.

Syaikh Said Nursi sudah mampu menghafal 80 kitab karya ulama klasik pada saat usianya baru menginjak 15 tahun. Tak hanya itu, Said Nursi hanya membutuhkan waktu dua hari untuk menghafal Al-Qur`an. Sungguh mengagumkan. Karena kemampuannya itu, sang guru, Muhammed Emin Efendi memberinya julukan ‘Badiuzzaman’ (Keajaiban Zaman). Said Nursi juga gemar berpindah madrasah untuk menuntut ilmu.

Keistimewaan Said Nursi membuat iri teman-teman dan saudaranya. Ia pun dimusuhi. Namun, Said Nursi pantang menyerah. Semua diladeni dengan berani dan lapang dada. Tak cuma itu, rekan-rekan dan saudara-saudaranya yang iri dan cemburu akan kemampuannya, para ulama besar pun merasa terancam. Keberadaan Said Nursi membuat umat berpaling. Mereka mengidolakan Said Nursi. Pemerintah Turki pun merasa khawatir. Sebab, Said Nursi selalu mampu menghadapi tantangan dari orang-orang yang memusuhinya. Ia selalu mengalahkan mereka dalam berdebat.

Tak kurang akal, pejabat pemerintah pun diam-diam berusaha menyingkirkannya. Baik dengan cara mengusirnya ke daerah terpencil, maupun memenjarakannya. Ia pun harus berhadapan dengan Sultan Hamid II hingga Mustafa Kemal Atturk, pada masa awal Perang Dunia I. Selama 25 tahun berada di penjara, Said Nursi bukannya bersedih, ia malah bangga. Karena disitulah ia menemukan cahaya abadi ilahi. Ia menemukan Api Tauhid. Dan melalui pengajian-pengajian yang diajarkannya baik di masjid maupun di penjara, murid-muridnya selalu menyebarluaskannya kepada khalayak. Baik dengan cara menulis ulang pesan-pesan Said Nursi, maupun memperbanyak risalah dakwahnya. Murid-muridnya berhasil merangkum pesan dakwah Said Nursi itu dengan judul Risalah Nur. Murid-muridnya tidak ingin, Api Tauhid yang dikobarkan Said Nursi berakhir.

Ada lima pilar yang ditawarkan olehnya untuk menjawab tantangan zaman yang makin jauh dari nilai Islam yang terangkum dalam Risalah Nur. Kelima pilarnya yaitu persatuan hati, cinta bangsa, pendidikan, memaksimalkan daya upaya, hingga menghentikan pemborosan di pemerintahan. Turki menghilangkan identitas Islam dan budaya Asia yang melekat lewat bahasa, pakaian, juga agama. Turki membuat dinding pemisah untuk sains dan agama sehingga tidak bercampur. Padahal sains dan Islam tidak boleh dipisahkan, karena akan membuat kerancuan sehingga timbul sikap tak percaya bahwa Allah itu ada sebagai pencipta alam semesta dan seisinya. Kehidupan kesultanan Turki Utsmani yang jauh dari nilai Islam membuatnya tenggelam dari peradaban. Turki terpuruk dan terseret dalam kancah Perang Dunia I yang membuatnya rugi secara moril maupun materiil.

Lewat sejarah Perang Dunia I, banyak efek yang imbasnya sampai kini terasa. Seperti pembantaian di Kurdistan, pencaplokan wilayah Palestina oleh Zionis, penghapusan hukum Islam. Pelarangan aktivitas yang melibatkan agama Islam, seperti pelarangan adzan menggunakan bahasa Arab, hukum waris yang disamakan antara lelaki dan perempuan, hingga pembekuan masjid menjadi museum. Islamofobia mulai digencarkan sehingga umat Islam jauh dari ulama.

Lewat tokoh Fahmi yang hafal Al Qur’an, penulis menunjukkan keistimewaan para penghafal Al Qur’an. Fahmi mengalami keajaiban berkat kasih sayang Allah. Ada beberapa quote favorit dari Said Nursi. Ada pula doa-doa yang diwiridkan oleh Fahmi seperti doa nabi Yunus, doa mendengar pujian, dan doa masuk masjid Nabawi. Penulis menyisipkan ilmu fiqh seperti bahwa sepupu sebenarnya bukan mahram kecuali sepersusuan (117), kewajiban meminta kehalalan dari orang yang digosipkan (124), dan mahar potong kaki yang ditawarkan Emel akan menimbulkan pro dan kontra (553).

Ada kekurangan dalam novel ini. Tidak ada keterangan arti kata ghazi, darwis, pasha, dan efendi. Ada pula typo di beberapa halaman, seperti:
  1. pemerintaan : pemerintahan (347),
  2. ditangan : di tangan (348)
  3. masyarat : masyarakat (356)
  4. apapun : apa pun (388)
  5. ketera : kereta (412)
Ada pula inkonsistensi penggunaan kata ganti dalam kalimat:
Aku akan ikhtiar… Saya akan musyawarah…”(548)
“Baiklah, aku akan coba. Saya harus menemani…”(559)

            Label novel dewasa juga harus disematkan dalam novel ini karena ada dua interaksi Fahmi dan Nuzula sebagai pasangan halal. Karakter dalam novel ini digambarkan seperti manusia biasa dengan sifat abu-abunya. Tujuannya untuk menunjukkan bahwa tidak ada manusia yang bersih di dunia ini. Jika ada dosa, maka bersegeralah untuk bertaubat pada-Nya.

Romansa cinta dalam balutan keshalihan menghadirkan keberkahan pernikahan berawal dari niat suci saat akad. Niat yang dilandasi ibadah akan membuatnya jauh dari godaan dunia. Kelezatan ilmu pun mampu menyingkirkan rasa rindu pada makhluk. Bila cahaya sudah menyinari hati, maka api tauhid akan menyala di dada para penjaga Al Qur’an. Novel ini layak dibaca bagi yang ingin meneladani kehidupan ulama besar, menggelorakan semangat Islam dan perbaikan diri sepanjang hayat.

Api Tauhid

by on 05:04
PENULIS                           : Habiburrahman El Shirazy CETAKAN                         : vii/2015 TEBAL                               ...

Punakawan merupakan tokoh pewayangan yang diciptakan oleh seorang pujangga Jawa. Menurut Slamet Muljana, tokoh Punakawan pertama kali muncul dalam karya sastra Gatotkacasraya karangan Empu Panuluh pada zaman Kerajaan Kadiri di bawah pemerintahan Sri Jayabhaya. Tokoh-tokoh Punakawan pada mulanya dikenal dengan Jurudyah Punta Prasanta. Kemudian pada masa Majapahit nama tokoh-tokoh Punakawan ini bertransformasi menjadi Semar, Gareng Petruk dan Bagong. Namun di Bali, sosok Punakawan digambarkan dengan tokoh Malen dan Merdah yang menjadi abdi Pandawa, sedangkan Delem dan Sengut sebagai abdi Kurawa.

Punakawan akan terus hidup di tanah Jawa. Sosoknya menenangkan dan senantiasa membimbing umat manusia dalam segala kondisi. Terlepas dari status pengakuan yang diberikan, kehadiran Punakawan sangat terasa di tengah masyarakat. Generasi Z mengenal Punakawan Milenial berikut ini:

Gus Mus

Sosok kharismatik yang ketika berbicara meneduhkan, menenangkan dan memberikan kedamaian kepada pendengarnya. Bersyair adalah kebiasaan, kesenangan dan kebanggaannya. Seringkali ketika berada di panggung, Gus Mus menampilkan kebolehannya dalam bersyair. Sehari-hari Gus Mus bertapa di Pesantren Raudlatut Tholibin Rembang meneruskan kepemimpinan ayahnya sendiri dalam mengurus pesantren. Jauh dari hiruk pikuk perebutan kekuasaan politik.


Masa mudanya, Gus Mus pernah belajar di Universitas Al-Azhar Mesir. Kewibawaannya teruji ketika menjadi penengah dalam pertikaian sebuah musyawarah organisasi yang mengorganisir para ulama’. Alkisah ketika para ulama’ berkumpul dalam rangka memilih pemimpin para ulama, terjadilah perbedaan pendapat bagaimana proses memilih pemimpin diantara mereka. Perbedaan pendapat tersebut menyebabkan pertikaian antara para ulama’. Gus Mus berpidato hingga seisi ruangan diam dan meneteskan air mata.


Cak Nun

Sosok yang akrab dengan orang-orang jalanan. Budayawan yang membawa spirit Islam dalam orasi-orasinya. Penyair yang menggunakan syair-syairnya sebagai alat perlawanan terhadap ketidakadilan penguasa. Seringkali dalam setiap panggungnya didampingi grup music yang mengombinasikan gamelan dan alat music modern. Cak Nun senantiasa menemani orang-orang pinggiran atau terpinggirkan. Orang-orang ini menyebut dirinya sebagai Jamaah Maiyah yang setiap bulan berkumpul di tempat belajarnya masing-masing.


Jalan hidup Cak Nun tidak dilalui dengan mudah. Sekalipun pernah merasakan pendidikan di perguruan tinggi, masa belajarnya dihabiskan di pinggiran kota Yogyakarta di bawah asuhan Umbu Paringgi. Jiwa perlawanannya sudah terlihat sejak kecil. Alkisah ketika orang tuanya menyediakan makanan yang cukup lezat di atas meja makanan, seketika diobrak-abrik karena Cak Nun kecil melihat kelaparan di kanan-kirinya. Pendidikan formalnya sering berpindah-pindah karena sering melancarkan protes terhadap ketidakadilan system yang ada.


Tedjo

Dikenal sebagai Presiden Jancukers. Sosok Tedjo memahami kawan dalam sudut pandang kebudayaan. Tidak sedikit karya-karyanya berupa sindiran atau bahkan kritikan terhadap penguasa, namun dibalut dengan kebudayaan yang indah. Falsafah kebudayaan yang adiluhung seringkali disampaikan dalam berbagai cara, mulai dari music, tari atau drama. Oleh karenanya, Tedjo dalam masyarakat dikenal sebagi sosok yang multitalent.


Gus Dur

Sosok yang dianggap nyleneh, namun dianggap wali. Mampu memahami bahasa asing yang tidak sedikit. Pernah memegang tahta menjadi Presiden Republik Indonesia. Keputusan-keputusannya seringkali disalahpahami oleh sebagian rakyatnya. Namun sepeninggalnya dari muka bumi, karya-karyanya meneduhkan dan mendamaikan orang-orang yang sedang bertikai. Fotonya ada di setiap rumah ibadah. Sosoknya yang jenaka, membuatnya diterima di semua kalangan. Tidak jarang sosok Gus Dur dipersepsikan seperti Bagong, terlihat lamban tetapi sakti. Senjata andalannya, gitu aja kok repot.

Punakawan terus bertransformasi dalam berbagai wujud. Punakawan tidak hanya sekedar cerita masa lalu, melainkan harus terus dimunculkan dalam setiap zaman. Penghargaan kepada siapa saja yang mampu memberikan konstribusi di tengah masyarakat. Sosok yang melanjutkan penokohan Punakawan sebagai Duta Punakawan. Wujud aktualisasi Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan nomor 83 tahun 2014 tentang Pedoman Pemberian Penghargaan di bidang kebudayaan.


SUBSCRIBE & FOLLOW