Sebuah lagu sederhana berjudul Welcome Indonesia,
menggambarkan situasi alam dan identitas social masyarakat Indonesia. Lagu
tersebut biasa ditampilkan Kementerian Luar Negeri RI dalam menyambut tamu
asing yang datang berkunjung ke Indonesia. Jika dicermati, potongan lirik lagu tersebut
yang berbunyi “dari gunung ke laut wajah tersenyum dimana saja” sangat
filosofis dan bermakna. Pengejawentahan Bhineka Tunggal Ika sebagai semboyan
bangsa Indonesia.
Negeri multicultural yang terbentuk melalui rasa senasib
sepenanggungan. Sebuah harapan bernama Indonesia, dengan senyum yang senantiasa
merekah di bibir masyarakatnya. Namun, setelah apa yang terjadi di zaman
millennial ini, masihkah Indonesia bersama senyuman dan keramahan budaya dalam
identitas sosialnya?
Peringatan maulid Nabi Muhammad SAW sebagai momentum terbaik
mengembalikan senyum Muslim Indonesia. Peringatan akan kelahiran sosok yang
masyhur akan kelembutan budinya, kesantunan akhlaknya dan kejujuran tutur
katanya. Namun, benarkah peringatan maulid Nabi akan mampu mengembalikan senyum
Muslim Indonesia? Faktanya masih ada yang tidak sepakat terkait diadakannya
peringatan maulid Nabi. Setidaknya ada tiga alasan yang mendasarinya, yaitu
Nabi tidak mencontohkan, menyerupai umat terdahulu dan pengultusan berlebihan
terhadap Nabi Muhammad SAW.
Nabi
Tidak Mencontohkan
Awal kali peringatan maulid Nabi dilakukan tahun 604 H, pada masa
Mudzafaruddin Al-Kaukabari atau lebih dikenal dengan Al-Mudhaffar Abu Said,
seorang raja di daerah Irbil, Baghdad. Rangkaian acara peringatan maulid Nabi
diisi dengan membaca Al-Quran, sirah Nabawiah dan syair-syair pujian terhadap
Nabi Muhammad SAW serta ceramah agama. Peringatan tersebut dilakukan
semata-mata untuk meningkatkan kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW.
Peristiwa semacam ini tidak pernah terjadi di masa Nabi dan generasi
sahabat juga tidak melakukannya. Atas dasar inilah sebagian kaum muslimin tidak
mau merayakan maulid Nabi, bahkan menganggap bid’ah pelaku perayaan maulid. Padahal perayaan maulid Nabi hanya sekedar
sarana, bukan tujuan. Hanya sekedar format, hakikatnya adalah bershalawat,
membaca sejarah perjuangan Rasulullah, melantunkan ayat suci Al-Quran dan
ceramah agama. Perbuatan-perbuatan semacam ini sesuai dengan tuntunan Al-Quran
dan Hadis.
Perayaan maulid Nabi sebagai wujud kegembiraan umat Islam sesuai
dengan QS. Yunus ayat 58: “Katakanlah, dengan anugerah Allah dan rahmat-Nya,
hendaklah mereka menyambut dengan riang gembira.” Dan dalam kitab Fathul
Bari karya Ibnu Hajar Al-Asqalani (Juz 11 hal 431) diceritakan bahwa Abu
Lahab mendapat keringanan siksa setiap hari Senin karena dia gembira atas
kelahiran Rasulullah.
Menyerupai
Umat Terdahulu
Agama tumbuh dan berkembang beriringan dengan budaya awal munculnya
agama tersebut. Seringkali agama menyebar luas beriringan dengan budaya. Sangat
penting bagi setiap manusia yang memeluk agama tertentu agar mampu membedakan
antara agama dan budaya. Sehingga tidak mudah terjebak ketika ada oknum yang
menempatkan agama tidak pada fungsinya. Budaya tentu beraneka ragam, dan agama
bersifat universal, bisa masuk dalam berbagai jenis budaya manusia.
Agama yang dibawa Nabi Muhammad SAW bersumber dari kitab suci
Al-Quran. Al-Quran sebagai kitab suci penyempurna umat-umat sebelumnya.
Sehingga ada beberapa pembahasan yang saling berkaitan dengan kitab suci
sebelumnya. Dengan demikian menjadi sebuah keniscayaan ketika ada beberapa
kesamaan yang berhubungan dengan aktivitas social manusia. Terutama dalam hal
kecintaan dan kebanggaan atas Nabi masing-masing.
Setiap umat beragama mempunyai cara tersendiri dalam membangkitkan
kecintaan terhadap Nabinya. Kesamaan cara dalam memperingati hari lahir seorang
nabi merupakan produk budaya dimana seorang manusia tumbuh, sedangkan isinya
adalah ibadah-ibadah berupa pembacaan ayat kitab suci, sanjungan kepada Nabi
dan sejarah perjuangannya. Oleh karena itu, ketika perayaan akan hari lahir
diri sendiri dengan suka cita, kepada Nabi pun sangat penting untuk dimeriahkan.
Pengultusan
Berlebihan
Dalam peringatan maulid Nabi di Indonesia, syair-syair yang dibaca
pada umumnya adalah simtudduror, diba’ atau barzanji. Simtudduror
karya Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi, diba’ karya Abdurrahman bin
Umar ad-Diba’i, dan barzanji atau iqdul jawahir karya Sayyid
Ja’far bin Hasan Al-Barzanji. Seperti halnya syair pada umumnya, tidak lepas
dari penggunaan majaz. Namun, disalahpahami oleh mereka yang tidak sepakat
dengan diadakannya peringatan maulid Nabi. Pengultusan Nabi Muhammad SAW secara
berlebihan ditakutkan generasi mendatang menganggap Nabi Muhammad SAW sebagai
tuhan.
Ada dua kata dalam Bahasa Arab yang berbeda penggunaan namun
diartikan sama dalam bahasa Indonesia, yaitu hamida dan madiha. Kedua kata ini diartikan
terpuji, namun dalam penggunaannya, kata hamida digunakan hanya untuk
Allah. Sedangkan kata madiha digunakan untuk makhluk.
0 Comments