Hom Pim Pa
Akankah kusebut itu hitam
Jika ternyata putih
Hitam kau kabarkan
Putih kau sembunyikan
Gelap kau takuti
Terang kau cintai
Sakit kau hindari
Sehat kau lupa diri

Hom Pim Pa
Akankah kusebut itu Masalembu
Jika tak kurindu
Segitiga bermuda kau kabarkan
Surga kau sembunyikan
Nelayan kau abaikan
Mafia tak terbayangkan
Karang kau hancurkan
ENJ kau hadirkan

Hom Pim Pa
Akankah kusebut dia ksatria
Jika tak tau arah
Penjahat kau lenyapkan
Sahabat kau antarkan
Ombak kau tantang
Badai kau terjang
Ilmu kau amalkan
Hikmah kau dapatkan

Hom Pim Pa
Akankah kusebut itu Kakatua
Jika tak setia
Asing kau waspadai
Keluarga kau lindungi
Terbang kesana kemari demi menafkahi
Menari-nari di angkasa bagaikan bidadari

Hom Pim Pa
Akankah kusebut itu doggy
Jika ternyata kucing
(Ingat kembali soundtrack sinema kera sakti)
Seekor doggy
Terpuruk terpenjara dalam kucing
Di markas bersih indah tempat belajar para wali
Bertindak sesuka hati
Loncat kesana kesini
Hiraukan semua manusia di mushola ini
Dengan lonceng kecil
Dan bulu dari tubuhnya
Dia melangkah meloncat menerjang segala apa yang ada
Walau halangan rintangan
Semakin banyak menghadang
Tak jadi masalah dan tak kan jadi kesulitan
Berkelana setiap hari
Demi mendapat ikan suci
Dengan dukungan dari . . .

Hom Pim Pa
Akankah kusebut itu mente jika ternyata mentor
Akankah kau bilang jelek jika ternyata bagus
Akankah kau bilang hidup jika ternyata telah pergi
Tidakkah kau kagum akan perjuangannya
Tidakkah kau rindu akan tingkahnya
Tidakkah kau ingat jasa-jasanya
Sudahkah kau berdoa untuknya?
Hom Pim Pa


Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya.

Ungkapan tersebut mengajarkan tentang arti pentingnya balas budi. Modernitas zaman, menuntut manusia semakin mandiri, tapi bukan berarti hidup sendiri. Tidak ada manusia yang bisa hidup sendiri, pasti membutuhkan bantuan orang lain. Selalu ada orang yang berjasa dalam hidup ini yang patut kita kenang.

Tidak salah, kan? Jika Bung Karno berkata demikian. Itu sebuah ramalan. Solusi tentang masalah masa depan bangsa ini. Selain terdiri dari banyak suku bangsa, penduduknya mempunyai karakteristik religius. Buktinya? Sebelum datangnya agama-agama, Hindu, Budha, Konghucu, Nasrani dan Islam, orang-orang di tanah ini telah menganut kepercayaan animisme dan dinamisme. Ah, itu kan menurut ilmuwan Walondho. Kepercayaan jaman biyen itu kepercayaan Kapitayan. Nggak percaya? Coba tanya mbahmu kono sing nglakoni.

Perbedaan suku, agama dan ras akan menjadi alasan yang sangat logis terjadinya perpecahan. Menghormati jasa para pahlawan dan mengingat kisah perjuangannya, senasib seperjuangan di bawah kekuasaan penjajah menjadi sebab nyata mempersatukan beragam perbedaan dalam membentuk negara bangsa-bangsa bernama Indonesia.

Nasionalisme Indonesia menjadi rumus yang sangat rumit. Dalam perhitungan harus cermat, salah sedikit saja bisa runyam urusannya. Dalam menentukan simbol-simbol nasional juga harus dipertimbangkan dengan baik, diterima oleh semua pihak, demi menjaga persatuan dan kesatuan. Misalnya, semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Teks suci agama Hindu yang digunakan Bung Karno dalam politik, bisa mempersatukan seluruh Nusantara. Burung Garuda, dalam mitologi Hindu sebagai kendaraan Dewa Wisnu. Semua simbol itu bisa diterima walaupun mayoritas penduduk beragama Islam. Ya, kan?

Ada lagi! Bahasa Indonesia, sebagai bahasa kedua yang berakar dari bahasa Melayu. Bisa diterima dan digunakan dengan baik walaupun mayoritas penduduk adalah suku Jawa. Padahal, secara historis bahasa Jawa-lah yang lebih berhak digunakan sebagai bahasa nasional, bahkan se-Asia Tenggara. Bahasa Jawa Suroboyoan, bahasa yang digunakan Raja Hayam Wuruk dan Patih Gajah Mada dalam mempersatukan seluruh Nusantara di bawah payung Majapahit. Andai Bung Karno, yang berpidato menggunakan bahasa Jawa Suroboyoan, tidak berdebat dengan perwakilan Ngayogyakarta tentang sopan-santun atau halus-kasur penggunaan bahasa Jawa, pasti bahasa Melayu akan terasa sangat asing hingga sekarang.

Okey! Semuanya bisa diterima. Tapi kenapa gambar Frans Kaisiepo di pecahan uang rupiah 10000 terbaru dipermasalahkan? Bukannya beliau juga pahlawan yang sangat berjasa bagi republik ini? Hmmmm, apa karena Papua? Yowes kalau begitu biarlah jadi gambar mata uang kami sendiri dan bintang kejora akan berkibar, boleh? Ho...ho...ho... Kau ini bajingan apa kanibal? Setelah kau keruk habis gunung emas kami, masih saja kau menghujat kami? Ah, emboh lah!

Ingat! Selama kamu bisa memberikan yang terbaik pada kemanusiaan, orang tidak akan bertanya apa agamamu dan dari suku mana kamu berasal.

“Itu bukannya kata-katanya Gus Dur, Mar? Yang katanya wali itu, kan?” sela Gareng yang sedari tadi menyimak penjelasan Semar. Kali ini Semar di atas angin, merasa lebih berwibawa. Selain karena kata-katanya, dia juga sedang memakai peci putih. Sedangkan ketiga rekannya memakai peci hitam yang umum digunakan orang-orang.

“Gus Dur yang diperingati maulidnya kemarin itu, kan?” Tanya Petruk sambil manthuk-manthuk.

“Gundulmu! Maulid itu khusus untuk Kanjeng Nabi Muhammad. Ulama’ atau kiai itu diperingati kematiannya, haul. Paham? Maulid dan haul diperingati dalam rangka mengingat sejarah perjuangan. Acarae yo macem-macem. Kalian gak usah melu-melu debat perkara dalil. Yang penting tahu diri, ulang tahunmu saja dirayakan, masak ulang tahun Nabimu masih perlu diperdebatkan? Ingat ungkapannya Bung Karno?”

“Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya.” Gareng lan Petruk bareng-bareng njawab.

“Gong...Bagong!”
“Om Telolet Om, gitu aja kok repot.” Bagong terbangun dari tidurnya.

Semar selalu mengingat apa yang dikatakan Bagong. Apalagi ketika tidak sadar mengeluarkan istilah-istilah asing. Walupun nyleneh, biasanya apa yang dikatakan Bagong akan benar-benar terjadi. Tanda-tanda peristiwa masa depan, di luar kemampuan dan pikiran manusia biasa.

***

Bulan ini Kang Tris mendapat berkah perayaan kelahiran Isa Al-Masih. Di penghujung tahun ini ternyata banyak orang melahirkan. Kang Tris mendapat banyak pesanan satu set kasur bayi. Haleluya! Puji Tuhan atas segala rahmat-Nya. Alhamdulillah. Di sela-sela kesibukannya, Kang Tris menyempatkan diri menghadiri haul Kanjeng Sunan Giri di Gresik. Lagi-lagi dalam rangka mengingat jasa perjuangan orang yang telah meninggal. Mati tapi hidup, bahkan menghidupkan.

Bagi Kang Tris, mengingat para pahlawan, ulama’, dan orang yang telah berjasa dalam hidup ini menjadi sebuah keharusan. Mengabadikan nama pahlawan sebagai nama jalan atau menjadikan gambar wajahnya sebagai mata uang juga sebagai jalan untuk tetap mengingat jasa-jasanya. Jangan menistakannya, baik gambarnya maupun fisik mata uang. Apalagi nylempitkan uang di bh, seperti perempuan zaman dulu. Jangan yaa!

Dalam perjalanan pulang Kang Tris dikagetkan dengan bunyi terompet yang dijual pedagang di pinggir-pinggir jalan. Ternyata tidak hanya makhluk hidup yang mengalami evolusi, terompet juga. Sekarang tidak hanya bentuk terompet yang mengalami evolusi, bunyinya juga. Telolet...telolet...telolet...Om...telolet..Om... buat persiapan tahun baru untuk putera-puterinya.

Bagaimana pun bunyinya, yang terpenting bisa membuat banyak orang bahagia. Tingkat kebahagiaan rakyat Indonesia juga meningkat menjadi lebih baik. Nggak hanya arek cilik-cilik yang beraksi di pinggir jalan, orang-orang dewasa juga ikut ambil bagian dalam kebahagiaan ini. Banyak orang terhibur. Ternyata suara juga bisa ngemong. Ha...ha...ha...

Ahlinya ngemong yaa Ronggohadi. Saking ahlinya ngemong, dia dijuluki Mbah Lamong. Bapake wong Lamongan. Tetangga-tetangganya juga pasti pandai ngemong, sabar dan penuh kasih sayang. Tapi kenapa tetangganya Mbah Lamong kok terkenal kasar dan suka kekerasan? Mulai dari Bom Bali hingga kekerasan dalam pesantren. Duh...duh...duh...

Bapak Proklamator: Ir.Sukarno, Bapak Ekonomi: Moh. Hatta, Bapak Pembangunan: Suharto, Bapak Demokrasi: SBY, Bapak Toleransi: Gus Dur, dan masih banyak lagi bapak-bapak lain yang berjasa, pahlawan bangsa. Nek, buapakmu? Bapak kehidupan, tanpanya kau tak mungkin ada di dunia ini. He...he...he...

Seneng yaa punya bapak...hiks...hiks...Dari kecil aku tak pernah melihat bapakku. Dia sama sekali tidak mau memberikan perhatian padaku atau telah tiada? Lantas, salahkah aku mencari bapak? Aku menemukannya dalam agama, nyaman bersamanya. Kenapa banyak orang menghujatku ketika aku memutuskan untuk lebih mengenal bapakku? Junjunganku pun terlahir tanpa bapak. Di sinilah aku merasa tenang, memiliki bapak seutuhnya. Mereka yang menghujatku tentu nggak pernah merasakan bagaimana rasanya merindukan kehadiran seorang ayah. Eh....eh....eh....ngomong-ngomong pimpinan superdamai dikabarkan terkena kasus menistakan agama bapa? Benar nggak sih? Katanya cinta damai, kok buat ulah. Sungguh terlalu....nggak bisa jadi pahlawan deh. Bapak damai, superdamai. Ops!

Soal pahlawan, tentu perjuangannya luar biasa mengorbankan seluruh jiwa raga. Penjara dan pengasingan sudah biasa. Tapi ada pahlawan-pahlawan yang kematiannya tragis, penyiksaan luar biasa dialami sebelum kematiannya. Sekujur tubuh disilet-silet, telinga dipotong, mata dicongkel, sebelum ditimbun di lubang buaya. Masya Allah!

Ternyata penjahat-penjahat yang berlaku demikian bereinkarnasi. Cliiiing! Mereka melakukan hal yang sama. Membantai sebuah keluarga, menyiksanya dan kemudian disekap dalam kamar mandi. Berebut oksigen sebelum satu per satu merenggut nyawa. Beruntung masih ada yang bertahan dan bisa melanjutkan kehidupan walaupun dengan trauma yang pedih. Kabarnya gara-gara perebutan proyek ASIAN Games, atau perampokan biasa?

Duh....duh....duh....Semoga Tuhan memberkati, menempatkan para pahlawan di tempat yang lebih baik.

Yesus
Dialah Kristus
Sang junjungan
Penyelamat akhir zaman
Penerima Injil sebagai pedoman

Kesejahteraan bersamanya
Pada hari kelahiran
Keselamatan bersamanya
Pada hari peristirahatan
Kebahagiaan bersamanya
Pada hari kebangkitan

Ruhul Qudus
Terlahir dari wanita suci
Yang senantiasa menjaga diri
Yang selalu berbakti kepada orang tua
Dialah Maria

Haleluya
Segala puji bagi Allah
Dialah Yang Mahaesa
Dialah tempat meminta
Mahasuci Dia
Tidak ada yang setara dengan-Nya
Dia tidak beranak
Tidak pula diperanakkan
Dan Muhammad utusan-Nya


Bagi kakak para Pandawa, Bung Karna, ajining raga saka busana. Kehormatan fisik dari pakaiannya. Terbukti banyak orang berebut pakaian. Penjual pakaian dengan berbagai branding juga sangat menjamur di pasar-pasar modern bernama market. Bahasa gaulnya mall, atau biar nggak dibilang jadul sama Insinyur Tedjo, musti pakai super, supermarket. Hare gene gitu loh! Sekarang zamannya super, superdamai. Oleh karena itu, kita pun katanya jadi gaul kalau mainnya di supermarket.

Eh...eh... usut punya usut, acara superdamai juga ada bau-bau rebutan busana loh. Busana DKI Jakarta. Ops! Entahlah. Kesaktian shaolin diuji dengan berbagai jurus pencak silat. Siapa yang menang? Kita serahkan permasalahan ini kepada wasit ae yoo. Katanya biar dibilang bangsa yang beradab, super-beradab. He...he...he... Apa-apa ya harus pakai wasit dan pengadilan, eh si super jangan dilupakan.

Hmmmm...aneh...Siapa yang aneh? Cak Nun, nggak mementingkan busana. Hla, kok bisa? Cak Nun lebih mementingkan isi BH dari pada BH itu sendiri. Kalau dipikir-pikir benar juga ya. Ha...ha...ha....Ah, itu kan Cak Nun. Nyatanya masih banyak yang rebutan busana. Hla, BH itu tergolong pakaian atau pelindung hayooo?!?!?!

Kuy...kuy...kuy...ke rumahnya Bang Arjuna kuy!
Bagi Bang Arjuna, ­ajining diri saka lathi. Kehormatan diri dari lidah. Ketangkasan dalam berbicara atau kewaspadaan dalam berkata menentukan kehormatan seseorang. Kalau bukan karena lidah yang tak henti-hentinya menikmati al-maidah, kata damai, market, man, nggak akan jadi jadul tanpa tambahan super, kan?

 Banyak orang ngaji, hafal Al-Qur’an dan hadis, sinau tafsir, yoo ben disebut ustad, ceramah setiap hari, undangan di mana-mana, tapi korupsi? Menteri Agama menjadi tersangka kasus korupsi. Wah...wah...wah...hmmmm. Eh, jadul itu bro. Oh iya ya.

Beda lagi sama mahasiswa, pacakane kaya Arjuna. Belajar tanpa ketakutan dan kepura-puraan. Yang dicari keunggulan dan keahlian di bidangnya, bukan ijazah atau sekedar bisa cas cis cus, pinter debat tapi nol karya. Semboyannya talk less do more atau talk last do first. Benar kan itu mahasiswa? Makhluk super saat kuliah, tapi kebingungan setelah wisuda.

Gawat...darurat....Indonesia pecah. Gonjang-ganjing. Lebih berbahaya dari gonjang-ganjinge tanah rencong. Bukan karena polisi yang salah sangka, menarik bendera negera asal pemain asing Persipura yang merayakan kegembiraan setelah menjuarai turnamen kopi. Dikiranya bendera kelompok separatis. Sabar pak polisiiiii! Hormaaat grak! Tapi anehnya kok semakin banyak insiden bendera merah yaaa? Semacam ada pembiaran dari pemerintah, apa pemerintahnya yang sudah jadiiiiii.....

Teror bulan Desember. Aksi sweeping pakaian non-muslim oleh pasukan pengawal fatwa. Karepe umat muslim tidak boleh memakai busana non-muslim. Akhirnya Kangmas Jokowi memanggil Dhimas Tito Karnavian, karena anggotanya ada yang menggunakan fatwa sebagai dasar hukum untuk bertindak, dijadikan sebagai hukum positif.

Lha..dalaaah... apa hukum positif itu?
Kuy...kuy...kuy...ke markasnya Dhimas Tito Karnavian! Pasti paham masalah hukum positif.

Tapi, Dhimas Tito Karnavian kan lagi sibuk.
Sibuk nyapo to?
Sibuk mengamankan persiapan perayaan Natal atau sibuk mencari peneror laser kiper Thailand di leg pertama final AFF Suzuki Cup 2016 di stadion Pakansari lalu?

Di negeri antah berantah sudah banyak terjadi aksi teror. Paman Adolf Hitler pekarangan rumahnya sudah porak-poranda akibat terorisme. Beda lagi di teras rumahnya Sultan Muhammad Al-Fatih, terjadi penembakan Duta Besar Rusia. Oh, Rusia! Bukannya Rusia itu negara yang tergabung dan terlibat perseteruan di konflik Suriah? Loh, iyo ta?

Cerita lain di Nusantara, serem tapi lucu. Aksi penangkapan teroris malah jadi tontonan. Itu bom, bukan bakso granat loh. Bom panci seberat tiga kilogram yang diperkirakan daya ledaknya bisa mengalahkan bom berteknologi tinggi buatan Paman Sam dan Masha and the bear.

Teror juga dialami Mas Kurnia Meiga. Teror kepercayaan. Tapi teror itu tidak cukup ampuh untuk membunuh karakter bermainnya. Buktinya? Mas Kurnia Meiga jadi kiper terbaik selama turnamen Piala AFF Suzuki Cup 2016 kemarin looooo.

Hmmmmm..... Dhimas Tito sibuk. Terus tanya siapa?
Pye, kalau tanya Kangmas Jokowi?
Oh, iya! Tapi bukannya Kangmas Jokowi ngurus pesawat hercules TNI yang jatuh di Wamena ya?
Hah! TNI lawan Hercules?
Bukaaaaaan! Anggota TNI yang mengendarai pesawat hercules nabrak salah satu gunung di wilayah Wamena.
Haaaaaaaa?!?!?!?!?!!!
Lha terus tanya siapa?

Kan masih ada wakil rakyat, mereka pasti tahu. Kalau nggak tahu, buat apa mewakili kita?! Kalau sekedar tidur ketika rapat, jalan-jalan ke luar negeri, mengulur waktu biar dapat anggaran lebih, kita yang nggak kuliah juga bisa.

Merasa bersalah, Rama Ma’ruf Amin mengunjungi keponakannya, Dhimas Tito Karnavian. Meninjau kembali fatwa yang telah dikeluarkan dan membahas aksi sweeping yang telah dilakukan sekelompok orang. Menindak tegas siapa saja yang melakukan kekerasan.

Hlaaa, terus?
Lebih penting mana, busana apa isinya? Busana yang mempengaruhi iman atau iman yang mempengaruhi busana?

Ingat! Tidak semua orang bisa memahami dirinya sendiri, tapi banyak orang yang berusaha mempengaruhi orang lain untuk mengikuti dirinya. Contohnya yaaa Kanjeng Dimas Taat Pribadi

Jaman edan. Banyak orang pamer kesaktian, tapi tidak peduli dengan benar atau salah, yang penting bisa selfie. Lantas mana yang lebih sakti, Bung Karna atau Bang Arjuna? Hayoooo pilih manaaaa.......
***
Demikian dialog Kang Tris dengan dirinya sendiri. Bekal batinnya sudah cukup mengimbangi fisiknya yang renta tetapi masih kuat membelah bukit Warung Penceng, menggembala kambing. Seringnya menyaksikan pemberitaan aksi teror dan penangkapan terduga teroris, cukup membuatnya hati-hati dengan orang asing. Juga lembaga asing berlabel pribumi, berteriak asing kepada lembaga asing. Asing teriak asing, hmmmmmm.....
Pagi yang cerah itu bertepatan dengan Hari Bela Negara, hari memperingati semangat melawan Agresi Militer Walondo II di Nusantara. Peristiwa yang diyakini sebagai pemersatu bangsa. Hla, bukannya hanya Timnas bal-balan Indonesia yang bisa mempersatukan bangsa? Hohoho... huuuooong wilaheng.... Kesaktian Kanjeng Dimas Taat Pribadi tidak bisa menggandakan gol Timnas Indonesia ke gawang Thailand. Andai Kanjeng masih bebas, he...he...he....he....he.......

Para peramal amatir juga musti kecewa. Ilmu othak athik mathuk tidak menjadi kenyataan. Timnas Indonesia yang berlambang burung garuda diprediksi akan mengalahkan Timnas Thailand  yang mempunyai lambang gajah. Final berlangsung di bulan maulid, bulan di mana Kanjeng Nabi Muhammad dilahirkan ke dunia yang ketika itu terjadi usaha penghancuran Ka’bah. Tetapi dengan gagahnya, burung-burung ababil bisa memporak-porandakan pasukan gajah pimpinan Abrahah. Daaaaan, kenyataannyaaaaa, untuk kelima kalinya Timnas Indonesia harus puas di posisi runner up. Burung garuda dan ababil ya sudah jelas bedanya toh leeee....le. Kok disama-samakan. Hmmmmmm.....


Masih ingat sinetron Jono dan Lono? Kembar tapi beda. Kita itu sama, Indonesia, tapi beda suku bangsa, agama, dan adat istiadat. Menggunakan perbedaan itu untuk gotong-royong. Bukan untuk saling lapor. Bhinneka, ya, bhinneka, tapi mbok ya jangan kebablasan. Akidah agama kok dicampur-campur. Agama jangan disamakan dengan es campur. Teroris, ya, teroris. Itu kejahatan. Bukan karena teroris itu berjenggot dan berpeci, lantas disangka Islam itu ajaran kejahatan. Setelah penduduk Rohingya terusir dari tanahnya, masih menyangka Islam itu teroris?

T E R O R

by on 22:09
Bagi kakak para Pandawa, Bung Karna, ajining raga saka busana. Kehormatan fisik dari pakaiannya. Terbukti banyak orang berebut pa...

SUBSCRIBE & FOLLOW