Dianalogikan, orang Jawa mengatakan suara ayam jantan dengan kukuruyuk,
tapi menurut orang Sunda kongkorongok.
Sedangkan menurut orang German, kikeriki. Spanyol, quiquiriqi.
Rumania dan Bulgaria, cucurigu. Italia, chicchirici. Tiongkok, gue-gue.
Jepang, kou-kou-kou-kou. Dan Rusia, kou-ka-re-kau. Lantas siapa yang paling benar? Yang paling benar adalah suara
ayam itu sendiri. Ayam pun tak pernah marah suaranya dipermainkan manusia,
mungkin ayam akan tertawa ketika melihat manusia saling menyalahkan terkait
sesuatu yang bukan miliknya (suara ayam).
Ini baru persoalan sederhana, orang-orang Nusantara tentu lebih
dewasa menyikapi setiap perbedaan. Perbedaan tidak perlu disamakan, tapi perlu
disatukan. Bersatu dalam teks bahasa dan berbeda cara bacanya, bukan sesuatu
yang aneh, bahkan semakin menunjukkan kemukjizatan bahasa Al-Qur’an. Rasulullah
pun membenarkan demikian adanya. Suara Ilahi tentu lebih kompleks dari pada
suara ayam yang masih mampu diindera.
Cara baca Al-Qur’an mayoritas umat Muslim Indonesia pada umumnya
mengikuti riwayat Hafsh. Namun kali ini saya berkesempatan mempelajari cara
baca Al-Qur’an riwayat Khalaf dari Imam Hamzah Al-Kufi. Yang perlu diingat,
mempelajari Al-Qur’an tidak cukup dengan teori, harus praktek dihadapan guru.
Sederhananya, tidak boleh belajar sendiri tanpa koreksi dari para ahli yang
sanadnya bersambung. Latihan mandiri tentu kewajiban setiap individu.
Secara umum tidak banyak ikhtilaf. Perbedaan terletak pada
penyikapan ketika waqaf (berhenti) atau washal (lanjut), selain
itu beberapa persoalan terkait panjang-pendek dan pertemuan al-ta’rif dengan
hamzah. Riwayat Khalaf dari Imam Hamzah Al-Kufi membaca Al-Fatihah dalam
satu nafas, dilanjutkan awal surat Al-Baqarah dengan tanpa basmalah. Huruf shad
pada kata shirath ayat keenam dibaca ishmam dengan mempertahankan
karakter isti’la’ pada huruf shad. Dhomir him pada kata alaihim
ayat setelahnya dibaca sesuai haknya yaitu ‘alaihum.
Masih dari periwayatan yang sama, kata yang berakhiran huruf
alif layyinah dibaca imalah ketika waqaf. Seperti dalam surat Al-Baqarah
ayat 2, dibaca hudee ketika berhenti dan dibaca seperti biasa ketika washal. Mad Jaiz Munfasil atau Mad Wajib Muttasil sama-sama dibaca enam
harakat, sama seperti riwayat Warsy. Sedangkan riwayat Hafsh ada tiga pilihan,
mad jaiz munfasil lebih sering dibaca dua harakat oleh Imam Saudi. Tetapi Imam
Indonesia lebih sering membaca empat harakat.
Ketika ada al-ta’rif bertemu hamzah seperti kata bil akhirati,
ada dua wajah. Dibaca sukun seperti biasa atau dibaca saktah, berhenti
sejenak tanpa bernafas. Kemudian pada kata laa yu’minun Al-Baqarah ayat 6, hamzah
dibaca tashil. Hamzah dibaca separuh, sehingga terdengar suara wawu, yuuminuun.
Kata man yaquulu pada ayat 8 dibaca idgham bi ghunnah dalam
riwayat Hafsh, namun dalam riwayat Khalaf dari Imam Hamzah ini dibaca tanpa
ghunnah alias idgham bila ghunnah. Fazaada pada ayat 10 dibaca fazeeda. Dan
kata sufaha’ pada ayat 13 pada riwayat jalur ini dibaca seperti biasa
ketika washal. Namun ada 5 wajah ketika waqaf, selain perbedaan panjang-pendek,
juga perbedaan pembacaan huruf hamzah, ada tashil dan isymam.
Kemudian kata mustahziuun pada ayat 14, pada riwayat ini
bias dibaca dalam tiga wajah. Tashil, hamzah dibaca separuh. Isymam,
hamzah berganti ya’ menjadi mustahziyuun, atau dibaca isyqa’, hamzah
dihapus dan huruf zai’ diganti harakat dhammah menjadi mustahzuun.
Masjid Al-Akbar Surabaya
Senin, 23 April 2018
0 Comments