Warisan Sima


Sima merupakan status special sebuah wilayah yang diberikan oleh raja yang masyarakatnya telah berjasa bagi raja ketika dalam keadaan perang atau upah dalam merawat bangunan suci kerajaan yang dibangun di daerah tertentu. Sehingga untuk mendapat status sima tersebut, masyarakat dengan sukarela membela kerajaan walaupun bukan bagian dari pasukan kerajaan yang terlatih.

Spirit membela tanah air inilah yang kita sebut sekarang dengan Strategi Perang Semesta, dimana masyarakat berkewajiban berperan aktif ketika negara dalam kondisi genting. Di sisi lain, masyarakat juga terbiasa memberikan harta, makanan atau tenaga secara sukarela ketika bangunan suci sedang ada perbaikan, kerja bakti atau ritual keagamaan.

Keistimewaan dari daerah sima yaitu mendapatkan hak-hak istimewa dari raja berupa diperbolehkannya menggunakan atau membangun sesuatu yang tidak dimiliki oleh masyarakat daerah lainnya. Selain itu juga mendapat keringanan pajak, sehingga banyak pedagang yang akan masuk di wilayah tersebut. Pemberian hak istimewa kepada suatu wilayah inilah yang kita sebut dengan otonomi daerah.

Keputusan sima tersebut berbunyi tan katamana dening Sang Mangilala Drwyahaji, yang artinya tidak boleh dimasuki oleh abdi dalem kerajaan yang menerima gaji dari raja. Tertulis dalam prasasti-prasasti sima dari Raja Airlangga yang tersebar di Sidoarjo, Surabaya, Tuban, Mojokerto dan sebagaian besar tersebar di wilayah Lamongan sebanyak 14 batu prasasti.

Meskipun demikian, ada aturan-aturan social yang harus dipatuhi di wilayah sima. Aturan social tersebut di dalam prasasti disebut sukhaduhka, yaitu tindak pidana kejahatan yang pantang dilakukan oleh masyarakat yang mendapatkan status sima, jika dilanggar maka akan mendapat denda. Aturan-aturan tersebut diantarnya:
1.       Mayang Tan Pawwah (Tidak Menepati Janji)
2.      Walu Rumambat ing Natar (Melanggar Batas Tanah)
3.      Wipati (Pembunuhan)
4.      Wangkay Kabunan (Pembunuhan Berencana)
5.      Rah Kasawur ing Natar (Perselisihan Berdarah Antar-kelompok)
6.      Hidu Kasirat (Adu Mulut atau Percekcokan)
7.      Duhilaten (Memfitnah Orang Lain)
8.      Sahasah (Memaksa Orang Lain/Bertindak Agresif)
9.      Hastacapala (Perkelahian)
10.  Wakcapala (Berbicara Tidak Sopan)
11.  Mamijilaken Wuri ning Kikir (Mengeluarkan Senjata Tajam)
12.  Mamuk (Marah-Marah)
13.  Mamumpang (Pelecehan Seksual)
14.  Ludan (Teror)
15.  Tutan (Terlibat Masalah)
16.  Angsapratyangsa (Kekisruhan Pembagian Hak Waris)
17.  Dandakudanda (Berpukulan Menggunakan Tongkat)
18.  Mandihaladi (Meracuni Orang Lain)
19.  Palih Kuwu (Berpindah Tempat Tinggal)
20.  Kadal Mati ring Hawan (Main Hakim Sendiri)

Sementara itu dalam bagian Sapatha (kutukan-kutukan) dalam prasasti yang dikeluarkan Raja Airlangga juga terdapat istilah Panca Mahapataka, yang berarti lima dosa besar yang pantang dilakukan oleh masyarakat, yaitu:
1.      Papa ni Mati Brahmana(Kejahatan Membunuh Orang Suci)
2.      Papaning Mawati Lamwukanya(Melakukan Tindak Pemerkosaan)
3.      Papani Gurudrohaka (Durhaka Kepada Guru)
4.      Papani Brunaghna(Kejahatan Aborsi)
5.      Papa Tmu nikanang Wang Umulahulah Ikai Sima(Kejahatan Berhubungan dengan Orang yang Mengganggu Gugat Status Sima)

Aturan-aturan tersebut masih bertahan hingga sekarang, baik berbentuk aturan tertulis oleh negara maupun tak tertulis yang menjadi hokum adat suatu kelompok masyarakat. Oleh karenanya, ketika kita memasuki wilayah atau instansi tertentu ada aturan-aturan yang perlu dibaca sebagai kesepakatan bersama.

Post a Comment

0 Comments