Sedulur Sikep Samin: Perlawanan Psikis Ala Mbah Samin Menentang Ideologi Asing

Kehancuran bangsa
dimulai dari hilangnya kepercayaan diri
akan budaya sendiri
dan kebangkitan bangsa
dimulai dari kesadaran
akan kebanggaan budaya sendiri.
(Samin)


Spirit of saminism exposes the Samin community movement in its efforts against colonialism. Resistance which has been portrayed with physical fights and bloodshed weapons does not apply to the spirit of saminism. This movement teaches how to be yourself and mutual cooperation love the homeland. The essence of the saminism movement is an idea of liberation as an effort to release society from the shackles of colonialism. Saminism who has been regarded as a tribe that disobeyed the state, was actually a social movement that tried to persuade the people of the country and the country not to submit to foreigner. The negative issue that is exhaled in the midst of society is colonial propaganda so that society not united in the spirit of saminism against colonialism.


Dewan Kesenian Jawa Timur kembali melakukan kunjungan ke masyarakat adat (27/10). Kali ini kunjungan ke masyarakat adat Samin yang tinggal di ujung barat provinsi Jawa Timur, di daerah Margomulyo Kabupaten Bojonegoro. Kunjungan ini merupakan kunjungan kesekian kalinya setelah Osing, Tengger, Arek, Pandalungan, Mataraman, Panoragan, Madura dan Bawean. Rangkaian kunjungan tersebut merupakan program kerja Dewan Kesenian Jawa Timur dalam menyongsong Kongres Kebudayaan Indonesia 2018.


Rombongan berjumlah kurang lebih 30 orang dengan tugas dan fungsi berbeda-beda. Saya bersama Mas Rino bertugas medokumentasikan masyarakat Samin dalam publikasi ilmiah. Dikomandani Mas Taufik Hidayat alias Mas Monyong, kami merasakan kehangatan di tengah masyarakat Samin. Makanan khas Samin disuguhkan dengan tampilan tari lesung dan musik Seni Gembrung Gaya Baru Tunas Kridho Laras.



Tidak berhenti sampai disitu, kami diajak menyusuri tempat-tempat strategis masyarakat Samin. Dan yang paling mengesankan ketika diskusi mendalam bersama ketua adat masyarakat Samin generasi ke-4, Mbah Hardjo Kardi dan Mas Bambang Sutrisno. Beberapa prinsip dasar yang berhasil saya catat diantaranya perlawanan dom sumurup ing banyu; aji pameling; bumi aji; sukma ngawula raga, raga ngawula swara; ngerti dulure, ngerti bangsane, tunggal rasane. Dan dalam prosesi resepsi pernikahan, masyarakat Samin tidak menerima uang dan mempersilahkan membawa makanan secara sukarela.


Dari penjelasan panjang itu, saya menyimpulkan bahwa perlawanan masyarakat Samin terhadap penjajah seperti apa yang dilakukan Mahatma Gandhi atau Paolo Freire. Sedangkan, isu negative yang menyebar di kalangan masyarakat luas tentang Samin adalah keberhasilan penjajah melakukan adu domba. Spirit perlawanan Samin hanya dilakukan kepada pemerintahan asing pada zaman dahulu, bukan pemerintahan sendiri seperti. Sekarang mereka hidup seperti biasa.

Spirit saminisme memaparkan gerakan masyarakat Samin dalam upayanya melawan kolonialisme. Perlawanan yang selama ini digambarkan dengan adu fisik dan senjata yang menumpahkan darah, tidak berlaku dalam spirit saminisme. Gerakan ini mengajarkan bagaimana menjadi diri sendiri dan gotong royong mencintai tanah air. Intisari dari gerakan saminisme adalah sebuah ide pembebasan sebagai upaya melepaskan masyarakat dari belenggu kolonialisme atau kekaguman terhadap asing. Saminisme yang selama ini dianggap sebagai suku yang membangkang kepada negara, sebenarnya gerakan social yang berusaha mengajak masyarakat sebangsa dan setanah air agar tidak tunduk pada bangsa asing. Isu negative yang dihembuskan di tengah masyarakat adalah propaganda penjajah agar masyarakat tidak bersatu dalam spirit saminisme melawan kolonialisme. 

Siapa Samin Itu?
Bumi Nusantara pernah didekte asing dalam kurun waktu yang tidak sebentar, sejak sebelum perang Diponegoro yang berakhir tahun 1830. Waktu itu di Jawa Timur ada Kabupaten yang cukup besar yaitu Sumoroto yang termasuk wilayah Tulungagung. Bupati Sumoroto yang disebut pangeran saat itu adalah Raden Mas Adipati Brotodiningrat yang berkuasa tahun 1802-1826.

Gelar pangeran pada penguasa tersebut merupakan pemberian pemerintahan asing. RM Dipati Brotodiningrat juga mempunyai sebutan Pangeran Kusumaningayu, yang mengandung arti “orang ningrat yang mendapat anugerah wahyu kerajaan untuk memimpin negara”.

RM Adipati Brotodiningrat mempunyai 2 (dua) anak yaitu: Raden Ronggowirjodiningrat dan Raden Surowidjojo. Raden Ronggowirjodiningrat berkuasa di Tulungagung sebagai Bupati Wedono pada tahun 1826 – 1844, sedangkan Raden Surowidjojo bukan bendoro Raden Mas, tetapi cukup Raden Aryo. Menurut kebiasaan orang-orang Jawa Timur, Raden Surowidjojo memiliki “kemuliaan dan kewibawaan yang besar”.

Menurut lingkungan ningrat Jawa, Raden Surowidjojo adalah nama tua, sedang nama kecilnya adalah Raden Surosentiko atau Suratmoko yang memakai julukan “SAMIN” yang artinya “ SAMI- SAMI AMIN” atau dengan arti lain bila semua setuju dianggap sah karena mendapat dukungan rakyat banyak.

Raden Surowidjojo sejak kecil dididik oleh orang tuanya Pangeran Kusumaningayu di lingkungan kerajaan dengan dibekali ilmu yang berguna, keprihatinan, tapa brata dan lainnya dengan maksud agar mulia hidupnya. Namun Raden Surowidjojo tidak suka karena tahu bahwa rakyat sengsara, dihisap dan dijajah oleh bangsa asing. Selanjutnya R. Surowidjojo pergi dari Kabupaten hingga terjerumus dalam kenakalan, bromocorah, merampok, mabuk, madat dan lain-lain.

R. Surowidjojo sering merampok orang kaya yang menjadi antek (kaki tangan) asing. Hasil rampokan tersebut dibagi-bagikan kepada orang yang miskin, sedang sisanya digunakan untuk mendirikan kelompok/gerombolan pemuda yang dinamakan “Tiyang Sami Amin” tepatnya pada tahun 1840. nama kelompok tersebut diambil dari nama kecil Raden Surowidjojo yaitu Samin.

Sejak tahun 1840 nama Samin dikenal oleh masyarakat, sebab kelompok tersebut adalah kelompok orang berandalan, rampok. Namun ajaran tersebut bila dirasakan memang baik, karena ajaran tersebut dilakukan untuk menolong orang miskin, mempunyai rasa belas kasihan kepada sesama manusia yang sangat membutuhkan. Hal ini merupakan tingkah laku dan perbuatan yang baik.

“Tiyang Sami Amin“ memberi pelajaran kepada anak buahnya mengenai kanuragan, olah budi, cara berperang dengan melalui tulisan huruf Jawa yang dirancang menjadi sekar macapat dalam tembang Pucung.

“Golong manggung, ora srambah ora suwung,
Kiate nang glanggang, lelatu sedah mijeni, 
Ora tanggung, yen lena kumerut pega, 
Naleng kadang, 
kadhi paran salang sandhung, 
Tetege mrng ingwang, jumeneng kalawan rajas,
Lamun ginggang sireku umajing probo”.

Yang artinya adalah salah satunya yang utuh, tidak dijarah dan tidak sepi, tetapi kuat dalam perang seperti kobaran api yang mengudang datangnya badan, tidak tahu apabila nantinya kejayaan tersebut akan hilang bersama asap. Hati tidak luntur seperti apa kira-kira datangnya kesulitan meski begitu terus kepada aku juga larinya. Oleh sebab itu kamu dan aku tidak dapat berpisah, karena kamu dan aku akan menjadi satu dalam kebenaran.

Tahun 1859 lahirlah Raden Kohar di Desa Ploso, Kabupaten Bloro cucu dari Pangeran Kusumaningayu/Raden Mas Adipati Brotodiningrat Bupati Sumoroto. Raden Kohar ini putra dari Raden Surowidjojo. Raden Surowidjojo merasa kecewa sampai generasi Raden Kohar karena banyak orang yang sengsara.

Pada saat itu Raden Surowidjojo menghilang tak tahu kemana, sehingga Raden Kohar hidupnya morat-marit tanpa harta benda. Akhirnya Raden Kohar menyusun strategi baru untuk meneruskan ajaran ayahnya. Raden Surowidjojo dinamakan Samin Sepuh, begitu juga Raden Kohar memakai sebutan Samin Surosentiko atau Samin Anom.

Raden Kohar (Samin Surosentiko) setelah memiliki gagasan yang baik mendekati masyarakat mengadakan perkumpulan di Balai Desa atau lapangan. Semakin lama temannya semakin banyak, karena mereka tahu bahwa gagasan Ki Samin Surosentiko adalah baik.

Ajaran Ki Samin mengenai Kejatmikaan atau ilmu untuk jiwa dan raga, jasmani dan rohani mengandung 5 (lima) saran yaitu:
1. Jatmiko kehendak yang didasari usaha pengendalian diri.
2. Jatmiko dalam beribadah kepada Tuhan Yang Maha Esa dan menghormati sesama makhluk Tuhan.
3. Jatmiko dalam mawas diri, melihat batin sendiri setiap saat, dapat menyelaraskan dengan lingkungan.
4. Jatmiko dalam menghadapi bencana/bahaya yang merupakan cobaan dari Tuhan Yang Maha Esa.
5. Jatmiko untuk pegangan budi sejati.

Andalan Ki Samin adalah Kitab Jamus Kalimosodo yang di tulis oleh Kyai Surowidjojo atau Samin Sepuh. Terlebih lagi pribadi Ki Samin Sepuh juga terdapat dalam Kitab tersebut. Kitab Jamus Kalimosodo ditulis dengan bahasa Jawa baru yang berbentuk prosa, puisi, ganjaran, serat mocopat seperti tembang-tembang yang telah ditulis di atas yang isinya bermacam-macam ilmu yang berguna yang saat sekarang ini banyak disimpan sesepuh Masyarakat Samin yang berada di Tapelan (Bojonegoro), Kropoduwur (Blora), Kutuk (Kudus), Gunung Segara (Brebes), Kandangan (Pati) dan Tlaga Anyar (Lamongan) yang berbentuk lembaran tulisan huruf Jawa yang dipelihara dengan baik.

Ki Samin Surosentiko memang nekat ingin memperlihatkan gagasannya, ingin mengusir bangsa asing secara halus dan ingin punya negara yang tentram. Ki Samin Surosentiko hidup seperti halnya rakyat kecil. Daerah kekuasaan Ki Samin Surosentiko semakin luas hingga desa-desa lain. Pada suatu hari masyarakat Desa Tapelan, Ploso dan juga Tanjungsari mengangkat Ki Samin menjadi Raja dengan gelar “Prabu Panembahan Suryongalam” yang dapat menerangi orang sedunia dan yang diangkat sebagai patih merangkap senopati, kamituwo (Kepala Dusun) Bapangan yang diberi gelar “Suryo Ngalogo” yang mengajarkan tentang perang. Ini membuktikan bahwa orang pribumi dengan sah memiliki tekad yang utuh berjuang secara tenang (halus).

Ki Samin Surosentiko dalam menentang penjajah dapat dilihat dalam bermacam-macam cara. Cara yang dipakai melawan dengan menolak membayar pajak, menolak menyumbang tenaga untuk pemerintahan asing dan membantah terhadap peraturan colonial. Ki Samin belum sempat berpamitan kepada rakyatnya, terlanjur dibuang pemerintah kolonial karena dia secara terus terang mendirikan kerajaan dan memiliki gagasan membangun negara asli peribumi tanpa campur tangan orang kulit putih.

Aji Pameling
Ki Samin Surosentiko selama dalam hukuman meninggalkan putra 2 (dua) orang yang bernama Karto Kemis dan Saniyah. Saniyah dinikahi oleh Suro Kidin. Semakin lama perbuatan orang-orang asing makin menjengkelkan, bersumpah bahwa orang Samin akan dihabiskan semua. Orang Samin bingung mencari cara bagaimana memberantas bangsa penjajah tersebut.

Tahun 1939 pada suatu hari Ki Suro Kidin (menantu Ki Surosentiko) bersemedi. Dalam semedinya tersebut Ki Suro Kidin mendapat wangsit (Paweling/wisik) yang oleh orang Samin dinamakan “Aji Pameling” yang isinya supaya Ki Suro Kidin mengebur “ Sendang Lanang /Sendang Malaikat”. Setelah dikebur yang ada hanya “suara para lelembut” yang bunyinya adalah sebagai berikut :

“Jangan khawatir aku akan membantu kamu untuk mengusir Belanda, hanya syaratnya berat. Aku akan mencari “Jago Trondol” dari timur laut untuk sarana kamu merdeka. “Jago Trondol” juga akan menjajah, malah lebih kejam. Menghabiskan semuanya. “Larang sandang, larang pangan” itu sarananya. Oleh karena itu kamu lekas pulang beritahu anak cucumu agar “cawis uyah karo nandur kapas” (menyediakan garam dan menanam kapas) karena akan terjadi larang sandang lan larang pangan (mahal pakaian dan mahal makanan).

Memang sungguh nyata setelah Ki Surokarto Kamidin berkeliling, tidak lama kemudian Nippon/Jepang datang yang lebih ganas daripada Belanda. Hingga semua yang dimiliki penduduk misalnya entong, irus, siwur disita atau dirampas. Dan yang paling dikhawatirkan hanya “Londo Mondolan” yang artinya orang peribumi yang menjadi kaki tangan penjajah.

Post a Comment

1 Comments