Setiap orang
tentu mempunyai keinginan untuk melanjutkan pendidikan. Meskipun sebenarnya
pendidikan bisa didapatkan di mana saja dan kapan saja. Yang terpenting adalah
bagaimana keinginan tersebut berubah menjadi kesadaran bahwa belajar merupakan
kewajiban dari buaian hingga liang lahat. Secara kultural, pendidikan terbaik
ada di tengah-tengah masyarakat. Sedangkan secara structural ada
tingkatan-tingkatan yang harus dilalui setiap manusia berupa ujian atau pembuatan
karya ilmiah. Jika belum mendapatkan kesempatan untuk melalui proses pendidikan
secara structural, maka akan lebih baik untuk belajar menulis ilmiah. Al-Ghazali
dalam kitab Ihya’ Ulumuddin menjelaskan, di zaman terbukanya rahasia seperti sekarang
ini, pengetahuan harus diimbangi dengan pola komunikasi yang baik. Pengetahuan
bisa didapatkan di mana saja, tetapi yang paling menentukan adalah komunikasi.
Salah satu jalan untuk
mempermudah jalan mendapatkan pendidikan structural adalah dengan mendapatkan
beasiswa. Berbagai beasiswa ditawarkan, baik yang bersumber dari dalam maupun
luar negeri. Yang perlu diingat adalah tidak ada makan siang gratis.
Penyedia dana beasiswa mempunyai maksud dan tujuan tertentu. Pihak asing
memberikan sesuatu untuk mendapatkan umpan balik. Sedangkan penyedia dana yang
bersumber dari dalam negeri tujuan utamanya adalah membangun Indonesia ke arah
yang lebih baik.
Sesuai dengan
judul artikel ini, saya akan mengulas tiga pertanyaan pamungkas penyedia dana
pendidikan yang bertujuan untuk membangun Indonesia. Pertanyaan-pertanyaan
tersebut sebagai tahapan akhir seleksi dari sekian banyak tahapan. Namun, pertanyaan-pertanyaan
ini sebenarnya tidak hanya ketika proses beasiswa saja, tetapi juga perekrutan pejabat
negara seperti CPNS, anggota kerohanian Tentara Nasional Indonesia, dll.
Pertanyaan tersebut diantaranya:
Siapa Ustadz
Favoritmu? / Apa buku yang paling kamu sukai?
Setiap orang
tentu mempunyai jawaban masing-masing. Namun, untuk menjawab pertanyaan ini
akan lebih baik jika tidak menyebutkan orang-orang yang dikenal kontroversial
di tengah-tengah masyarakat, atau pimpinan organisasi tertentu dimana
organisasi tersebut membuat kegaduhan di masyarakat. Intinya, masyarakat adalah
koentji. Jika masih kurang, bisa datangi kantor kepolisian terdekat untuk
menanyakan sosok-sosok bermasalah atau dalam pengawasan intelejen.
Bagaimana jika
Indonesia dijadikan Negara Khilafah?
Jika tak mau
berbelit-belit, jawab saja NKRI harga mati. Bisa dikembangkan dengan cerita
pengalaman pribadi menghadapi gerakan-gerakan transnasional yang meresahkan
masyarakat. Awali atau akhiri dengan pernyataan pencetus Resolusi Jihad sebagai
cikal bakal pertempuran 10 November,”Agama dan Nasionalisme adalah dua kutub
yang tidak berseberangan, Nasionalisme bagian dari agama dan keduanya saling
menguatkan.” Rasulullah tidak pernah mewajibkan mendirikan Negara Islam, tapi
memberikan tauladan memimpin negeri kedamaian.
Bagaimana jika
pemerintah melegalkan LGBT?
Tidak Sepakat.
Karena dalam berbagai kitab suci agama-agama, tidak satupun yang memperbolehkan
hubungan sesame jenis. Baru kemudian ceritakan secara panjang lebar
kisah-kisahnya dalam kitab suci masing-masing agama. Jika mempunyai latar
belakang kesehatan, bisa dilengkapi dengan penelitian-penelitian sains.
"Selama kita tidak
pernah mengikuti organisasi-organisasi terlarang dan tidak mengikuti sosok
kontroversial yang meresahkan masyarakat, akan lancar." Demikian pesan salah seorang pimpinan
kerohanian Tentara Nasional Indonesia yang bermarkas di Malang. Dan menjadi
diri sendiri adalah koentji. Semoga sukses! Setelah membaca tulisan ini
berjanjilah untuk belajar secara terus-menerus baik secara structural maupun kultural.
Setiap orang tentu mempunyai keinginan untuk melanjutkan pendidikan. Meskipun sebenarnya pendidikan bisa didapatkan di mana saja dan ka...
Asal usul kesenian Reog berasal dari cerita rakyat yang
berkembang di Jawa Timur sebelum masuknya Islam ke Jawa. Terdapat beberapa
versi ceritanya, namun dua versi utama yaitu pada jaman Kerajaan Bantarangin
dan versi jaman Majapahit. Cerita yang ditulis di atas adalah versi Kerajaan
Bantarangin, yang ada jauh sebelum Kerajaan Majapahit, diceritakan kembali oleh
Bapak Agus Reog, seorang tokoh kesenian Reog yang tinggal di Sukodono Sidoarjo
dan salah satu pendiri perkumpulan Reog di Ponorogo.
Sayembara Dewi Songgolangit inilah yang kita kenal
sekarang sebagai Reog, iring-iringan serah-serahan pengantin yang dibawa oleh
Prabu Kelono Siwandono berupa tontonan yang belum pernah ditampilkan. Tontonan
tersebut terdiri dari 140 prajurit dengan menaiki kuda putih yang seragam
sebagai pembuka jalan Singobarong dengan dadak merak yang ada di kepalanya yang
merupakan jelmaan Pangeran Singobarong dengan abdi kinasinya atau dayang yang
setia kepada Singobarong. Singobarong ini dinaiki oleh Prabu Kelono Siwandono
dengan diiringi patihnya yang menari yaitu Pangeran Kelono Siwanjoyo dan musik
gamelan.
Kisah ini dilatarbelakangi pada masa kerajaan Kadiri
sebelum masuknya pengaruh Islam di Nusantara. Kerajaan Kadiri merupakan pecahan
dari Kerajaan Kahuripan. Disebutkan dalam Prasasti Wurare yang berangka tahun
1211 C atau 1289 M, Airlangga membagi kerajaan menjadi dua yaitu Kerajaan
Janggala dengan ibukota Kahuripan dan Kerajaan Panjalu atau Daha di Kadiri.
Tetapi Serat Kanda menyebutkan Kerajaan Airlangga dipecah menjadi beberapa
kerajaan kecil, namun yang terkenal adalah Kadiri dan Janggala. Serat Kanda
diperkuat dengan prasasti Malenga dan Banjaran (Darmoseotopo, 2013:49). Ini
juga menguatkan asumsi bahwa Kerajaan Bantarangin kemungkinan letaknya ada di
lokasi yang kita sebut sekarang sebagai
kota Ponorogo.
Cerita Reog pada masa Majapahit berbeda dengan cerita
sebelumnya yang berlatarbelakang kerajaan Kadiri. Kisah Reog versi Majapahit
berlatar belakang pada masa masa akhir runtuhnya kerajaan Majapahit dan masuknya
Islam.
Tersebutlah Ki Ageng Kutu Suryongalam, seorang abdi di
Kerajaan Majapahit yang kecewa dengan pemerintahan Brawijaya V yang sibuk
dengan urusan perempuan dan tidak perhatian pada urusan kerajaan. Kekecewaan
ini dilampiaskan dengan membuat kelompok pertunjukan barongan yang terbuat dari
kulit macan, dan diatas kepala macan tersebut bertengger burung merak. Kepala
macan melambangkan Brawijaya V, sedangkan merak yang bertengger di kepala macan
melambangkan para istri Brawijaya V yang sangat mempengaruhi kehidupan
Brawijaya V sehingga lupa akan tugasnya sebagai raja. Untuk melindungi kelompok
kesenian ini dibuatlah pasukan prajurit yang terlatih dan mempunyai ilmu yang
tinggi dalam olah kanuragan yaitu warok. Sementara itu yang berada di balik topeng
dengan wajah merah adalah Ki Ageng Kutu Suryangalam. Kepopuleran kesenian ini
membuat Prabu Brawijaya V marah dan memerintahkan menyerang kelompok kesenian
ini. Meskipun kelompok kesenian ini berhasil dicerai beraikan, para murid Ki
Ageng Suryongalam tetap melanjutkan kesenian ini.
Karena ketidakmampuan Raja Brawijaya V dalam memerintah
dan pengaruh kuat dari para istrinya dalam mengambil kebijakan di dalam
Kerajaan Majapahit, maka banyak kerajaan kecil di dalam wilayah kekuasaannya
memisahkan diri, termasuk kerajaan Demak yang dipimpin oleh Raden Patah di
Bintoro yang juga merupakan putranya sendiri
dengan Putri Campa. Demi menghindari pertempuran dengan putranya, Prabu
Brawijaya V mengungsi ke lereng Gunung Lawu, dalam pelariannya Prabu Brawijaya
V disertai oleh abdi kinasih yang
melayaninya sejak kecil yaitu Sabdopalon dan Nayogenggong. Lereng Lawu adalah tempat terakhir Brawijaya
V yang kemudian membuat perguruan dengan dirinya sebagai pemimpinnya dengan
nama Ki Hajar Lawu Brawijaya.
Selain Raden Patah, Brawijaya V mempunyai 50 putra dari
para selirnya, salah satunya Batoro Katong putranya dari selir yang berasal
dari Bagelen Mataram. Batoro Katong berguru pada kakaknya Raden Patah di Demak,
yang dikemudian hari setelah menyelesaikan ilmunya, diutus oleh Raden Patah
untuk ke wilayah timur yaitu Ponorogo. Bataro Katong pada akhirnya dapat
membuat pemerintahan baru di Ponorogo dan menggunakan kelompok kesenian yang
dibuat oleh Ki Ageng Kutu Suryongalam yang pada masa pemerintahan ayahnya
berhasil dibubarkan. Kelompok kesenian yang semula digunakan sebagai media mengkiritik sang penguasa, oleh Batoro
Katong digunakan sebagai alat untuk mengembangkan kekuasaannya yang sudah di
pengaruhi oleh Islam di Kadipaten Ponorogo dengan dibantu oleh Ki Ageng Mirah.
Batoro Katong adalah tokoh legenda karena keaslihan
tokohnya belum dapat dibuktikan dalam sejarah, namun makamnya dapat dijumpai di
kampung Katongan di sebelah timur alun-alun kota Ponorogo, sebagai penanda
lahirnya kota Ponorogo. Kisah versi ini jika ditelusuri dalam sejarah pada
Babad Tanah Jawa menyebutkan kerajaan Majapahit runtuh karena serangan dari
kerajaan Islam Demak dan ditandai dengan sengkalan sirna ilang kertaning bumi
1400 C atau 1478 M, tetapi sumber lain
pada tahun tersebut Bhre Kertabumi gugur di keraton Majapahit karena serangan dari Dyah Ranawijaya, anak
Bhre Pandan Salas. Jadi penguasaan Majapahit bukan oleh Pati Unus dari kerajaan
Islam Demak (Darmoseotopo, 2013:59).
Sedangkan cerita tentang Warok, merupakan cerita yang
berdiri sendiri dan ada sebelum muncul Reog. Warok adalah seorang prajurit
tangguh dengan segala kesaktiannya yang sangat mumpuni. Cerita ini
berlatarbelakang Kadipaten Wengker pada masa Kerajaan Majapahit yang
diceritakan oleh Pak Bandi tokoh budaya dari Trowulan yang juga seniman Reog
dan Pak Agus Reog, tokoh kesenian Reog yang tinggal di Sukodono Sidoarjo dan
salah satu pendiri perkumpulan Reog di Ponorogo.
Grup kesenian Reog Ponorogo terdiri atas penari dan
penabuh gamelan berjumlah sekitar 20
sampai dengan 30 orang, yang pada tampilannya ada urut-urutannya, yaitu warok,
jatilan, ganongan, Prabu Kelono Siwandono dan yang terakhir Barongan atau Reog.
Sebagai urutan pertama penampilan warok menampilakan beberapa warok yang berbadan
besar dengan berpakaian dan berikat kepala hitam serta berikat pinggang yang
terbuat dari tali dengan baju yang kacingnya
terbuka dan memegang cemeti yang dimainkan sesuai dengan iringan
tabuhan. Penampilan warok yang berbadan besar oleh para narasumber dianggap
sebagai kepantasan agar warok tampil angker dan disegani.
Jatilan atau jaran kepang sebagai penampil kedua,
merupakan perwujudan 140 prajurit dengan kuda putih yang seragam dalam
mengiringi Prabu Kelono Siwandono pada waktu melamar putri Kadiri yang bernama
Dewi Songgolangit. Jatilan yang dulu ditarikan oleh pria, namun tahun 1992
ditarikan oleh wanita agar lebih gemulai. Kemudian setelah Jatilan, Ganongan
muncul yang ditarikan oleh pria dengan menggunakan topeng berwajah merah dan
atraksi jungkir balik yang menggambarkan kegembiraan patih dan juga adik Prabu
Kelono Siwandono yaitu Pangeran Kelono Siwanjoyo atas keberhasilan kakaknya
melamar Dewi Songgolangit.
Setelah Ganongan, Prabu Kelono Siwandono menari dengan
menggunakan topeng dan memainkan pecut samandiman yang digunakan untuk
mengalahkan Pangerangan Singobarong. Kemudian Reog atau barongan adalah
penampil terakhir dalam iringan kesenian ini, yaitu dengan 1 sampai 3 orang
pria yang mengenakan topeng besar yang berbobot 50 sampai dengan 60 kilogram
dengan cara menggigit. Tarian Reog ini ditampilkan secara lambat hanya
memainkan topengnya dengan sedikit menganyunkan. Biasanya para tamu yang
terhormat atau pihak yang mempunyai hajatan akan duduk di kepala barongan
dengan menari, menggambarkan Prabu Kelono Siwandono naik kepala Barongan pada
saat masuk Kerajaan Kadiri untuk meminang putri Dewi Songgolangit.
Reog Ponorogo sebagai salah satu kesenian tradisonal
Indonesia mempuyai nilai dalam wujud ide pada proses penciptaaannya yang
menceritakan bahwa kebaikan akan menang melawan kejahatan yaitu pada peperangan
tokoh baik yang diwakili oleh Prabu Kelono Siwandono melawan tokoh jahat yang
diwakili oleh Pangeran Singobarong. Sedangkan pada masa Majapahit diceritakan
bahwa melawan yang berkuasa tidak selalu dengan adu fisik tapi dengan
kiritikan, seperti yang dilakukan oleh Ki Ageng Kutu Suryongalam dalam melawan
Prabu Brawijaya V. Sebagai wujud prilaku, kesenian Reog Ponorogo yang
ditampilkan dalam musik gamelan dan ragam gerak para tokoh yang ditarikan yaitu
Warok, Jatilan, Ganongan, Prabu Kelono Siwandono dan Reog atau Barongan.
Sebagai seni pertunjukan tradisional, Reog Ponorogo
mempunyai beberapa fungsi, yaitu fungsi ritual, fungsi pendidikan, fungsi
penerangan dan fungsi hiburan (Wibisana, 2010:53). Sebagai fungsi ritual, Reog
ditampilkan pada saat upacara-upacara yang berkaitan dengan hajatan seperti
upacara bersih desa dan sebagainya. Fungsi pendidikan, bahwa penonton dapat
memetik nilai-nilai yang baik dan buruk pada penampilan gerak para pelakon
Reog. Fungsi penerangan, tampilnya kesenian Reog selain sebagai pentas seni
untuk kepentingan upacara adat seperti ruwatan, pada saat ini Reog Ponorogo
juga ditampilkan sebagai media penarik warga masyarakat dalam sosialisasi
program pemerintah di daerah. Sebagi fungsi hiburan tentunya tampilan Reog
sangat menghibur penonton dalam ragam gerak penari dan gamelan pengiringnya.
Tantangan bagi Reog di masa depan adalah bagaimana kita
melestarikan Reog agar generasi penerus tetap mengenal kesenian ini. Festival
Reog Ponorogo yang diselenggarakan sebagai salah satu acara peringatan hari
jadi kota Ponorogo merupakan langkah yang besar dalam pelestarian kesenian ini.
Selain itu, seringnya pertunjukan Reog di daerah dan generasi muda sebagai
penari dan penabuh gamelan dalam pertunjukan ini harus tetap ada, dengan
mengenalkannya di sekolah-sekolah, terutama sekolah seni. Dan kerjasama
pemerintah serta masyarakat terutama sesepuh Reog agar tidak lelah dalam
mewujudkan pelestarian ini.
Asal usul kesenian Reog berasal dari cerita rakyat yang berkembang di Jawa Timur sebelum masuknya Islam ke Jawa. Terdapat beberapa ver...
Mendengar kata “reog”, kita segera merujuk pada seni pertunjukan yang
berasal dari Ponorogo yang terdiri dari tari dan musik gamelan dalam satu
rangkaian cerita. Seorang pemain reog memanggul topeng singa yang disebut
dengan ‘singobarong’, yang beratnya mencapai 50-60kg.
Kesenian Reog sering ditampilkan dalam berbagai kesempatan, baik di
dalam negeri maupun luar negeri. Atraksi ini biasanya ditampilkan dalam
penyambutan tamu atau acara budaya yang lain. Bahkan penampilan Reog ini sudah
dijadikan sebagai suatu festival pada hari ulang tahun Kota Ponorogo, diikuti
oleh Reog yang berasal dari grup-grup Reog di wilayah Jawa Timur maupun di luar
Jawa timur. Festival ini dilaksanakan pada tanggal 1 suro, di dahului dengan
‘larung sesaji’ di telaga ngebel,
letaknya di sebelah timur Kecamatan Ngebel, dimulai pukul 10 sampai dengan
pukul 11 siang dan berlangsung selama seminggu.
Alkisah di
Kerajaan Kadiri yang dipimpin oleh Prabu Songgobuwono, mempunyai seorang putri
yang cantik dan halus budinya bernama Dewi Songgolangit. Kecantikan dan
kehalusan budinya menarik banyak para pangeran untuk meminangnya, namun putri
Kadiri tersebut belum berniat untuk menikah. Ayah dan ibunya sangat menginginkan
putrinya untuk segera menikah dan mendapatkan cucu darinya. Setiap saat mereka
menasehati Dewi Songgolangit. Pada akhirnya Dewi Songgolangit bersedia untuk
menikah, namun dengan mengajukan tiga syarat. Syarat pertama adalah pangeran
yang meminangnya harus menampilkan tontonan yang belum pernah ada di Kerajaan
Kadiri, syarat kedua pangeran tersebut juga harus membawa pasukan berkuda
dengan jumlah 140 prajurit yang berwajah tampan dan menaiki kuda yang
seragam. Syarat terakhir calon suaminya
harus membawa binatang berkepala dua. Sangatlah terkejut orangtuanya mendengar
syarat tersebut, yang menurut mereka hampir tidak mungkin untuk dipenuhi.
Akhirnya
ketiga syarat tersebut diumumkan kepada masyarakat, alhasil banyak pangeran
yang mundur karena tidak sanggup memenuhi ketiga syarat tersebut. Hanya dua orang pangeran yang bersedia memenuhi
syarat tersebut, yaitu Prabu Kelono Siwandono dan Pangeran Singobarong.
Keduanya berasal dari Kerajaan Bantarangin dan mempunyai hubungan keponakan dan
paman, namun keduanya terlibat perselisihan perebutan tahta Kerajaan
Bantarangin. Setelah Raja Singolodro mangkat, tahta kerajaan jatuh kepada
putranya Pangeran Kelono Siwandono.
Pangeran Singobarong tidak dapat menerima hal
ini, karena sebagai adik dari Prabu Singolodro, dia merasa lebih berhak atas
tahta Kerajaan Bantarangin. Rakyat sendiri lebih memilih Pangeran Kelono
Siwandono karena sifatnya yang halus dan cakap. Sedangkan sifat Pangeran
Singobarong berbanding terbalik dengan Pangeran Kelono Siwandono. Pangeran
Singobarong ugal-ugalan dan kasar sehingga dianggap tidak layak untuk memimpin
Kerajaaan Bantarangin.
Perselisihan yang semula hanya perebutan tahta
menjadi lebih sengit, ketika keduanya memperebutkan Dewi Songgolangit. Adapun
kedua syarat yang pertama sebetulnya sudah dapat dipenuhi oleh Prabu Kelono
Siwandono, tinggal syarat ketiga yaitu binatang berkepala dua yang masih sulit
diwujudkannya. Pertarungan keduanya tidak dapat terelakkan, Pangeran Singobarong adalah manusia yang
sakti, namun karena hasil dari “ngelmu”,
wajah dan kepalanya berubah menyerupai singa. Pertarungan ini berjalan sangat
sengit, yang pada akhirnya dimenangkan oleh Prabu Kelono Siwandono saat senjata
pusakanya, yaitu pecut samandiman
berhasil mengenai tubuh Pangeran Singobarong. Pangeran Singobarong mengakui
kekalahannya dan bersedia menjadi syarat ketiga untuk meminang Dewi
Songgolangit. Namun yang diminta adalah binatang berkepala dua, untuk memenuhi
syarat ketiga ini, abdi kinasih atau dayang Pangeran Singobarong yang selama
ini setia mendampingi kemanapun Pangeran Singobarong berada diubah wujudnya
menjadi merak yang bertengger di kepala Pangeran Singobarong.
Prabu
Kelono Siwandono masuk ke kerajaan Kadiri dengan menaiki Singobarong dan
diiringi oleh 140 prajurit dengan kuda yang seragam, serta musik gamelan dan
tarian yang meriah. Dewi Songgolangit menerima pinangan Prabu Kelono Siwandono,
hatinyapun sangat senang karena pangeran yang berhasil memenuhi sayembaranya
adalah selain sakti juga tampan, gagah perkasa dan halus budi.
Mendengar kata “reog”, kita segera merujuk pada seni pertunjukan yang berasal dari Ponorogo yang terdiri dari tari dan musik gamelan ...
Tersebutlah pada jaman itu beberapa jawara dengan
sebutan warok yang mempunyai hubungan saudara sepeguruan yang bernama Gunoseco,
Suromenggola dan Surokento yang berguru pada warok Singokubro. Singokubro
adalah sesepuh warok yang tinggal di Gunung Srandil yang jaraknya 24 kilometer
sebelah barat kota Ponorogo (sekarang). Gunoseco mempunyai wilayah kekuasaan di
daerah Kecamatan Sinan (sekarang), Suromenggolo mempuyai wilayah kekuasaan di
Cakromenggalan, sedangkan Surokerto wilayah kekuasaannya di Slahung. Ketiga
kakak beradik sepeguruan ini mempunyai sifatnya berbeda, Gunoseco sikapnya
kasar, Suromenggolo sifatnya lemah lembut sedangkan yang termuda Surokerto sifatnya
ugal-ugalan.
Perselisihan antar warok terjadi, ketika Suromenggolo
diminta bantuan oleh Bupati Trenggalek untuk menjaga keamanan di wilayahnya.
Bupati Trenggalek mempunyai putra yang tampan bernama Raden Mas Broto yang
ketika itu sudah menjalin kasih dengan Suminten putri dari Gunoseco. Namun
ketika melihat Cempluk yang cantik putri dari Suromenggolo, Raden Mas Broto
meninggalkan Suminten. Hal ini membuat marah Gunoseco yang sangat menginginkan
putrinya untuk menikah dengan Raden Mas Broto yang anak Bupati, demi mengangkat
derajat keluarga. Merasa disepelekan, Gunoseco menantang Suromenggolo untuk
bertarung. Tidak ada kekalahan dan kemenangan diantara keduanya. Cerita ini
dalam ketoprak dikenal dengan Suminten edan.
Warok pada jaman sekarang
ditampilkan sebagai sosok yang berbadan besar, berkumis dan kasar, namun
sebetulnya warok adalah seseorang yang keting yaitu berbadan kecil, tinggi
sedang dan lincah, karena tokoh ini sebetulnya orang yang rajin menjalankan
laku tirakat. Warok merupakan
sesepuh yang wajib memberikan wuruk-wulang kepada muridnya tentang kawuruhan
Jawa.
Generasi sekarang mengenal Warok
sebagai bagian dari Reog. Namun, warok merupakan cerita yang berdiri sendiri
dan ada sebelum muncul Reog. Warok adalah seorang prajurit tangguh dengan
segala kesaktiannya yang sangat mumpuni. Cerita ini berlatarbelakang Kadipaten
Wengker pada masa Kerajaan Majapahit yang diceritakan oleh Pak Bandi tokoh
budaya dari Trowulan yang juga seniman Reog dan Pak Agus Reog, tokoh kesenian
Reog yang tinggal di Sukodono Sidoarjo dan salah satu pendiri perkumpulan Reog
di Ponorogo.
Sisi Positif Warok
by
www.ardiansyahbs.com
on
20:42
Tersebutlah pada jaman itu beberapa jawara dengan sebutan warok yang mempunyai hubungan saudara sepeguruan yang bernama Gunoseco, Su...
Spirit saminisme menjaga semangat gerakan masyarakat Samin dalam upayanya
melawan kolonialisme. Perlawanan yang selama ini digambarkan dengan adu fisik
dan senjata yang menumpahkan darah, tidak berlaku dalam spirit saminisme.
Gerakan ini mengajarkan bagaimana menjadi diri sendiri dan gotong royong mencintai
tanah air.
Intisari dari gerakan saminisme adalah sebuah ide
pembebasan sebagai upaya melepaskan masyarakat dari belenggu kolonialisme atau
kekaguman terhadap asing. Saminisme yang selama ini dianggap sebagai suku yang
membangkang kepada negara, sebenarnya gerakan social yang berusaha mengajak
masyarakat sebangsa dan setanah air agar tidak tunduk pada bangsa asing. Isu
negative yang dihembuskan di tengah masyarakat adalah propaganda penjajah agar
masyarakat tidak bersatu dalam spirit saminisme melawan kolonialisme.
Maka sebenarnya perlu adanya penjelasan lebih dalam terkait
devide at impera pada pendidikan dasar. Kisah-kisah yang sebenarnya
tidak terjadi diada-adakan oleh penjajah untuk mengadu domba. Selain isu
negative terhadap masyarakat samin yang berusaha menyatukan persepsi melawan
penjajahan, kisah yang sebenarnya tidak terjadi adalah kisah Perang Bubat dan
penghancuran Majapahit oleh Demak Bintoro yang dipimpin oleh Raden Patah.
Usaha-usaha untuk menyamakan persepsi dengan membekali
generasi Samin keterampilan. Memberikan pendidikan dengan cara dan metode yang
terus beradaptasi dengan perkembangan zaman. Keterampilan pertama yang dipelajari
masyarakat Samin dalam menghadapi penjajah Belanda adalah keterampilan
berpura-pura menjadi orang bodoh. Sehingga hal tersebut cukup merepotkan
penjajah karena merusak sumber pertanian dan tidak mau membayar pajak.
Keterampilan kedua yang diberikan kepada generasi Samin
dengan mengirimkan aji pameling, yaitu sebuah pesan agar para penerus
mempersiapkan garam dan kapas. Keterampilan mengolah kedua bahan ini membuat
masyarakat Samin tidak kelaparan dan mempunyai usaha pengolahan kapas ketika
penjajah Jepang datang. Cukup sandang pangan dalam kehidupan sehari-hari.
Kemudian, ketika masa awal kemerdekaan, masyarakat Samin
masih membangkang terhadap pemerintah karena menganggap pemerintahan masih
dikuasai orang asing. Namun setelah mengetahui bahwa republic telah dipimpin
saudara sendiri, masyarakat Samin mulai membayar dan mendatangkan guru untuk
sekolah. Perlahan lembaga pendidikan masyarakat Samin mulai ramai dan
berdirilah sekolah.
Selain pendidikan formal yang dilakukan di sekolah, para
sesepuh Samin memberikan pendidikan secara kultural. Cerita tutur yang
disampaikan secara berkala turut menyambung ikatan emosional dari generasi
pertama hingga generasi selanjutnya. Tidak ada metode khusus, namun diharapkan
para generasi Samin mampu menangkap cerita dan menyampaikannya kepada generasi
yang lebih muda.
Gotong royong dan toleransi juga menjadi pendidikan
kultural di luar sekolah. Dalam setiap hajatan, masyarakat Samin tidak
diwajibkan untuk membawa uang. Ini ditujukan agar semuanya bisa hadir dan tidak
ada diskriminasi terhadap keluarga dengan perekonomian menengah ke bawah.
Setiap keluarga dibolehkan membawa hasil bumi yang dimilikinya, namun sifatnya
tidak memaksa. Semua berdasarkan kesadaran diri dengan prinsip gotong royong
dan guyup rukun.
Ngalah terhadap saudara sendiri sebagai nasehat yang
dituturkan para sesepuh. Ini disampaikan agar terus menjaga persatuan dan tidak
terpecah belah. Dan yang terpenting dalam prinsip pendidikan masyarakat Samin
adalah apa yang tampak oleh mata harus bisa. Ini yang menjadi pedoman
masyarakat Samin dalam mengarungi kehidupan. Meskipun tidak banyak yang
menempuh jenjang tinggi dalam pendidikan formal, prinsip ini yang akan membawa
masyarakat Samin untuk terus belajar. Apa yang tampak oleh mata harus bisa dan dikuasai
untuk kesejahteraan generasi penerus.
Spirit saminisme menjaga semangat gerakan masyarakat Samin dalam upayanya melawan kolonialisme. Perlawanan yang selama ini digambarkan ...
Pendidikan dalam kurun waktu belakangan ini, dimaknai
sebagai sebuah institusi. Seseorang akan dianggap berpendidikan jika telah
melewati tingkatan kelas tertentu, yang diatur sedemikian rupa untuk membentuk
sumber daya manusia yang diinginkan. Apakah adanya institusi dalam pendidikan
bisa membantu meningkatkan kualitas sumber daya manusia? Dan apakah seseorang
yang tidak melewati tingkatan kelas tertentu dalam institusi pendidikan akan menjadi
tidak kompeten? Tulisan ini tidak berusaha meragukan apa yang telah Anda yakini
dan tidak akan meyakinkan apa yang sedang Anda ragu-ragukan. Penulis berusaha
menguraikan beberapa hal terkait makna pendidikan dan masa depannya. Dengan
memberikan sudut pandang tentang latar belakang adanya institusi pendidikan.
Dalam kitab Mahabharata, Mahaguru Drona menyebutkan bahwa,
sesuatu yang tidak terduga adalah bagian dari pendidikan. Nabi Muhammad juga
menyatakan bahwa, proses belajar dari buaian hingga liang lahat. Sementara Sang
Buddha menyatakan bahwa kehidupan adalah proses belajar melepaskan diri dari
kemelakatan dunia dengan memurnikan batin. Sedangkan Isa Al-Masih menunjukkan
bahwa pelajaran akan didapatkan dengan perjalanan.
Tokoh-tokoh besar di atas menganggap bahwa pendidikan
sebagai proses belajar secara terus-menerus dan berkesinambungan. Tidak ada
kata terlambat dan tidak mempunyai batas akhir. Pendidikan bukan sekedar melalui
tahapan-tahapan kelas yang diatur sedemikian rupa oleh manusia, melainkan
bagaimana seorang manusia memperoleh kesadaran paripurna dalam hidup sehingga
kembali kepada Tuhannya dengan tenang.
Sementara Ki Hajar Dewantara memandang bahwa pendidikan
sebenarnya adalah pendidikan yang memanusiakan manusia. Sedangkan Soekarno
menganggap bahwa pendidikan bukan sesuatu yang diam di atas menara gading,
melainkan sebagai alat sosial dalam memperjuangkan masyarakat. Berbeda dengan
Tan Malaka yang menganggap jika seorang sarjana merasa enggan memegang cangkul
di sawah, lebih baik pendidikan tidak diberikan sama sekali. Kemudian Cak Nun
mengatakan,”Sekolahlah sampai engkau tau dirimu dibodohi dan kamu tahu sekolah
gagal membodohimu.”
Beragam sikap dan makna tentang definisi pendidikan. Namun,
apakah sebenarnya pendidikan itu dan bagaimana proses terbentuknya institusi
pendidikan sehingga menjadi sebuah keharusan dalam proses belajar? Dalam
falsafah Jawa proses pendidikan manusia dikategorikan menjadi empat tahapan,
yaitu Margoutomo, Malioboro, Margomulyo dan Pangurakan. Tahapan tersebut
menjadi symbol dan nama jalan mulai dari Tugu hingga Keraton Yogjakarta. Dan
kemudian diadopsi menjadi nama-nama jalan di daerah lain.
Margoutomo menjadi tahapan pertama proses pendidikan. Jalan
keutamaan yang harus dicari oleh seorang anak manusia. Seseorang perlu mencari dan
menemukan apa keutamaan atau pembeda abadi yang ada dalam dirinya. Maka
sebenarnya proses yang dilalui dalam institusi pendidikan mampu membantu
seseorang menemukan apa keutamaan yang ada dalam dirinya. Keutamaan yang
dimaksud di sini adalah suatu hal yang diri sendiri semangat dalam
mengerjakannya dan orang lain merasa terbantu atau merasa kemanfaatan.
Dalam menemukan keutamaan dalam diri, bukan berarti
seseorang mengabaikan hal lain di luar kemampuannya. Setiap orang tetap
berkewajiban mempelajari segala hal yang tampak oleh mata, namun harus
mengetahui satu hal yang menjadi pembeda abadi atau identitas dirinya. Cara
sederhana untuk mengetahui keberhasilannya adalah sejauh mana orang lain
mengetahui identitas tersebut tanpa menyebutkan nama asli dari dirinya.
Tahapan kedua adalah Malioboro. Sebuah kawasan atau nama
jalan yang menjadi salah satu destinasi wisata kebudayaan. Secara bahasa,
Malioboro tersusun atas dua kata yaitu
malio dan boro. Malio sebagai kata perintah yang berasal dari kata wali yang
bermakna wakil, sedangkan boro bermakna mengembara. Maksudnya, setelah
seseorang mampu menemukan keutamaan dalam dirinya, maka tahapan selanjutnya
adalah menjadi wakil Tuhan Yang Maha Esa dalam memberikan manfaat kepada sesame
yang ditempuh dengan pengembaraan. Mengasah keterampilan dengan jalan
pengabdian untuk mematangkan apa yang telah menjadi keutamaan dalam dirinya.
Hal tersebut dilakukan secara terus-menerus tanpa henti secara rutin hingga
seseorang mencapai tahap Margomulyo.
Margomulyo sebagai fase ketiga proses pendidikan seorang
manusia. Jalan kemulyaan, seseorang yang mengabdikan dirinya secara
berkesinambungan akan sampai kepada tahap kemulyaan. Tahapan ini sebenarnya
akibat dari tahapan sebelumnya, bukan untuk diusahakan apalagi menjadi tujuan. Tahapan
ini tidak bisa dideteksi oleh diri sendiri, melainkan sesuatu yang dirasakan
orang lain ketika mendapat manfaat dalam dirinya. Tahapan ini sebagai akumulasi
dari proses perjalanan panjang dalam menempa diri dalam belajar.
Kemudian Pangurakan sebagai tahap keempat proses
pendidikan. Tahapan ini menjadikan seseorang memahami kehidupan. Menang tanpa
mengalahkan, benar tanpa menyalahkan dan ada tanpa meniadakan. Tak ada sesuatu
yang diingini selain ridho-Nya. Sebagai tahapan akhir dalam proses pendidikan
sehingga seakan-akan Manunggaling Kawula Gusti.
Demikian tahapan proses pendidikan yang akan dilalui
seorang manusia dalam perjalanan hidupnya di muka bumi. Perjalanan tersebut
bisa dilalui secara kultural dalam hubungan sosial kemasyarakatan dan/atau secara
structural dengan menerima pendidikan di sebuah institusi. Institusi pendidikan
yang menjadi pilihan masyarakat secara umum ada tiga hal, yaitu: sekolah,
pesantren dan taman siswa.
Sekolah menjadi institusi pendidikan yang dikenal luas oleh
masyarakat. Seiring berkembangnya zaman, sekolah beradaptasi dalam berbagai
bentuk, diantaranya: homeschooling, les atau bimbel, kursus, dsb.
Sekolah bermakna waktu luang dalam bahasa latin, sedangkan dalam bahasa
Perancis berarti belenggu. Seseorang dibelenggu untuk memenuhi kebutuhan
industry. Hal ini menjadi latar belakang adanya sekolah atau dikenalnya istilah
sekolah ke seluruh dunia.
Revolusi Industri Perancis sebagai tonggak renaissans atau
abad pencerahan Eropa, sebagai awal munculnya sekolah sebagai tempat mencetak
pekerja industry. Sekolah ada karena adanya industry. Sedangkan jauh sebelum
itu, academia yang didirikan oleh Plato mempelajari hal-hal yang berbeda
dengan sekolah. Gerbang academia memberikan pesan kepada setiap orang
yang datang. Hal-hal tentang dzat tunggal atau ganda dan proses ilmiah dari
segala hal metafisik menjadi pembahasan dan jalan hidup yang menentukan arah
kehidupan.
Di Indonesia, sekolah dikenal sejak zaman Hindia-Belanda.
Zaman tersebut sekolah tidak lebih sebagai doktrin bahwa orang-orang pribumi
tidak lebih baik dari Hindia-Belanda. Hanya kalangan bangsawan yang
diperbolehkan belajar di sekolah tinggi. Adanya kasta dalam system pendidikan
di era tersebut memberika efek kepada generasi selanjutnya. Tidak sedikit yang
menganggap bahwa hal-hal yang berasal dari luar lebih baik dari pada dalam
negeri. Banyak yang berlomba-lomba bersekolah di luar negeri, membanggakan apa
yang bukan miliknya, dan lupa berkontribusi membangun daerahnya, tanah airnya.
Sistem sekolah dibuat sedemikian rupa menggunakan standar
materialisme sehingga seakan-akan sekolah dengan peringkat terataslah yang
terbaik. Peringkat atau ranking yang ada dalam proses pembelajaran tentu
sangat banyak manfaatnya untuk tujuan kompetitif dan meningkatkan daya saing.
Namun, di era teknologi dan terbukanya rahasia masihkan ranking relevan
dengan perkembangan zaman?
Manfaat adanya ranking bagi siswa sebenarnya tidak
lebih besar dari efek sampingnya. Guru bisa tidak obyektif dan orang tua akan
menganggap anaknya tak punya kemampuan jika mendapat ranking rendah. Hal
tersebut secara tidak langsung mengonstruk pola piker bahwa keberhasilan orang
lain adalah kegagalan diri sendiri. Padahal tidak demikan, setiap kelahiran
adalah special, warna baru kehidupan dan tak layak diperbandingkan. Maka yang
terpenting adalah bagaimana mencetak generasi penerus yang senantiasa dalam
kebenaran tanpa merasa lebih baik dari sesamanya. Prinsip-prinsip egaliter yang
menumbuhkan kerja sama akan lebih dibutuhkan di era terbunya rahasia seperti
sekarang.
Pendidikan egaliter tersebut telah ada di Nusantara jauh
sebelum adanya sekolah. Pendidikan tersebut dikenal sebagai Mandala di zaman
raja-raja. Mandala sebagai tempat khusus bagi para resi untuk memperdalam
kemampuan dan pengetahuannya. Mandala tentu tidak bisa disamakan dengan sekolah
dan tidak bisa dianggap lebih baik atau lebih buruh dari sekolah, karena
mandala tidak untuk itu dan tidak ada system ranking. Mandala lebih
kepada pembinaan akhlak dan mental yang mendidik budi seseorang.
Seiring berkembangnya zaman, mandala beradaptasi dengan
budaya setempat tanpa meninggalkan ruh pendidikannya. Mandala beradaptasi
menjadi pesantren, dimana lembaga pendidikan yang mendidik akhlak dan
integritas manusia menjadi paripurna. Hal tersebut juga menginspirasi Ki Hajar
Dewantara dalam membangun Taman Siswa, bahwa yang lebih penting dari
keterampilan dan pengetahuan sesorang adalah akhlak dan budi luhur.
Lantas bagaimana masa depan pendidikan kita? Di mana dan
mau kemana perjalanan proses belajar generasi penerus bangsa. Setiap orang
tentu mempunyai pilihan masing-masing, yang perlu dipahami oleh setiap
pembelajar bahwa tugas kita tidak untuk sukses, melainkan untuk terus belajar.
Tugas kita juga bukan untuk pintar, melainkan untuk terus belajar. Belajar
mencintai apa yang sedang dipelajari, belajar menekuni apa yang disukai dan
belajar memahami apa yang tidak dikuasai. Setiap orang adalah guru, setiap
kesempatan adalah waktu belajar dan setiap tempat adalah ruang rindu
persahabatan, menyusun pola kebermanfaatan.
STEM Circle Indonesia: Masa Depan Pendidikan (Graduate School The Ohio State University)
by
www.ardiansyahbs.com
on
21:12
Pendidikan dalam kurun waktu belakangan ini, dimaknai sebagai sebuah institusi. Seseorang akan dianggap berpendidikan jika telah melewat...
Tibet di mata khalayak dunia, terutama Barat, merupakan sebuah negeri fantasi yang penuh mistis dan tak tergapai oleh pemahaman awam. Hal ini tidak lepas dari penggambaran tentang Tibet dalam budaya pop seperti film ataupun lagu. Tibet diceritakan sebagai shangri-la atau ‘atap dunia’ tempat keajaiban dan hal-hal mistis menjadi nyata. Tak pelak, pembahasan dari kacamata ilmiah mengenai Tibet dikaburkan oleh gempuran budaya pop dan prasangka kultural yang diciptakannya.
Padahal, bila kita melihat Tibet secara objektif tanpa kacamata budaya pop dan spiritualisme new age, kita akan mendapati bahwa Tibet tak pernah luput dari pergaulan dan interaksi dengan orang-orang dan bangsa lainnya; bahwa mistisisme Tibet, sehebat apa pun itu, tetap tak mampu membuatnya lepas dari gerak sejarah. Tibet bukanlah melulu menyoal hal yang eksotik, eksentrik, unik, misterius, atau istilah apa pun yang memungkinkan kita membayangkan Tibet sebagai bangsa yang seolah-olah tidak berbagi planet yang sama dengan kita semua. Faktanya, Tibet bukanlah entitas homogen yang beku dari dinamika dan keragaman.
Demikianlah, buku ini hadir menjadi pembeda dalam dunia yang penuh dengan narasi-narasi mistisisme Tibet, memberikan narasi baru secara objektif tentang Tibet, dimulai dari era kekaisaran dan asal mula Tibet mengenal Buddhisme, sampai Tibet pada masa ditulisnya buku ini, di mana spiritualisme dan Buddhisme Tibet bahkan telah menjadi sebuah trend. Baru. 120 K
TIBET: Sebuah Hikayat
by
www.ardiansyahbs.com
on
21:09
Tibet di mata khalayak dunia, terutama Barat, merupakan sebuah negeri fantasi yang penuh mistis dan tak tergapai oleh pemahaman awam. Hal in...
Di serambi Masjid Ulul Albab UIN Sunan Ampel Surabaya, Badan Student Crisis Center kembali mengadakan diskusi mingguan (18/3). Tema yang dibahas pada sore hari ini terkait penyalahgunaan istilah kafir oleh sebagian kelompok.
Penyalahgunaan ini seringkali menodai nilai-nilai kemanusian yang menjurus kriminalitas dan pertumpahan darah. Oleh karena itu, Nahdlatul Ulama selaku organsasi penjaga perdamaian di Indonesia menggunakan istilah non-muslim dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam anggaran dasar NU menyebutkan bahwa aqidah NU adalah Islam Ahlussunnah Wal Jamaah dan asasnya adalah Pancasila.
Harta yang paling berharga bagi bangsa Indonesia adalah Pancasila. Saripati nilai luhur yang dijadikan pandangan hidup dalam mengolah kekayaan alam dan budaya. Senyuman menjadi wujud syukur rakyat dalam hidup bermasyarakat. Hidup dalam kesataraan bahwa tidak ada yang lebih superior antar-sesama manusia. Sadar bahwa hanya ada satu kekuatan yang menguasai seluruh alam semesta, tak bisa diumpamakan dan digambarkan oleh akal: Ketuhanan Yang Maha Esa.
Nilai Pancasila telah mengakar dalam kehidupan jauh sebelum Pancasila dicetuskan. Nilai yang berasal dari rakyat, bukan ciptaan atau karangan seorang tokoh tertentu. Oleh karena itu kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat, sebagai sumber kebijaksanaan hasil dari permusyawaratan. Bahwa segala masalah, pengambilan keputusan atau penyelesaian sengketa diselesaikan dengan musyawarah untuk mencapai mufakat.
Pancasila bukanlah agama, melainkan kesepakatan hidup bernegara dalam keberagaman dan keber-agama-an. Rakyat tidak semestinya dibenturkan dengan terminologi agama seperti kafir dalam Islam, maitrah dalam Hindu, abrahmacariyavasa dalam Buddha atau domba yang tersesat dalam Kristen. Rakyat adalah sebutan bagi penduduk Indonesia dan memiliki persamaan di depan hukum. Indonesia mengakui enam agama yaitu Hindu, Buddha, Katholik, Kristen, Konghucu dan Penghayat. Oleh karena itu, terminology agama seyogyanya tidak digunakan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dengan tanpa meniadakannya. Terminologi agama tersebut tetap digunakan di agama masing-masing dan tidak merubah satu pun ajaran agama.
Kafir
Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia menjadi percontohan dalam merawat perbedaan menjadi rahmat. Bhinneka Tunggal Ika berhasil menyatukan perbedaan tanpa berusaha menyamakan atau meyeragamkan, karena perbedaan sebagai fitrah manusia untuk saling mengenal.
Tidak ada paksaan dalam beragama. Paksaan tersebut bisa berupa ancaman atau kekerasan, sehingga bisa dimaknai bahwa tidak ada agama dalam kekerasan. Orang yang melakukan kekerasan sebenarnya tidak beragama sekalipun mengaku memeluk agama tertentu. Meskipun dalam Islam mengenal istilah taubat, namun orang yang melanggar hukum tetap wajib menerima konsekuensi terhadap apa yang dilakukannya.
Al-Quran sebagai kitab suci umat Muslim dengan sastra Arab yang cukup tinggi. Ketinggian tata bahasa Al-Quran seringkali tak mampu dipahami oleh umat muslim secara sempurna. Sehingga menyebabkan terciptanya kelompok-kelompok berdasarkan pemahaman masing-masing terhadap kitab suci.
Sepanjang sejarah umat muslim ada beberapa perbedaan sikap kelompok-kelompok dalam menyikapi status kafir. Khawarij menganggap orang Islam yang melakukan dosa besar adalah kafir sehingga harus dibunuh, Syiah, Murjiah menganggap bahwa orang Islam yang melakukan dosa besar tidak kafir, Qadariyah, Syiah dan Muktazilah menganggap orang yang berdosa besar tidak kafir dan bukan mukmin, tetapi fasiq yaitu kekal di neraka. DanSunni menganggap bahwa orang yang melakukan dosa tetaplah mukmin. Di antara beberapa pendapat kelompok tersebut, yang paling berbahaya ketika hidup di Indonesia adalah Khawarij yang mengharuskan membunuh non-muslim dan pelaku dosa besar. Di Indonesia, sudah tidak ada lagi yang menentang atau mengancam umat Muslim karena Non-Muslim hidup berdampingan dengan umat Muslim, bahkan saling bertanggung jawab dalam hidup bernegara.
Organisasi yang seringkali membuat kerusakan dan mengatasnamakan agama diantaranya ISIS, Al-Qaeda dan HTI. Menyebut pemerintah yang sah sebagai kafir, negara thagut, tidak mau mengikuti upacara bendera dan penghormatan, sebagai tanda-tanda kerusakan sosial. Kelompok ini merekrut orang-orang yang memiliki pemahaman agama yang lemah dengan iming-iming surga.
Badan Student Crisis Center Identifikasi Penyalahgunaan Istilah Kafir
by
www.ardiansyahbs.com
on
03:38
Di serambi Masjid Ulul Albab UIN Sunan Ampel Surabaya, Badan Student Crisis Center kembali mengadakan diskusi mingguan (18/3). Tema yang dib...
25 karya dari 25 pemuda dari setiap daerah terkumpul dalam acara bertajuk 'Pelatihan Muballigh Muda untuk Menciptakan Harmoni Intra dan Antarumat Beragama di Indonesia' yang diinisiasi oleh Nur Cholish Madjid Society. Para pemuda berkesempatan belajar langsung dari beberapa narasumber ahli diantaranya: Yudi Latif, Ph.D (Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila Republik Indonesia), Prof. Dr. Azyumardi Azra, CBE (Rektor 2 periode dan Direktur pascasarjana 2 periode UIN Syarif Hidayatullah Jakarta), Dr. Budhy Munawar-Rachman (The Asia Foundation), Prof. Dr. K. H. Nasarudin Umar, M.A (Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta), M. Wahyuni Nafis, M.A, (Ketua Dewan Pembina NCMS), Dr. Abdul Muqsith Ghazali, (LBM PBNU), Muhammad Monib dan Sadrah Prihatin Rianto.
25 karya dari 25 pemuda dari setiap daerah terkumpul dalam acara bertajuk 'Pelatihan Muballigh Muda untuk Menciptakan Harmoni Intra...
Rais al-Jalsah (MC Bahasa Arab)
by
www.ardiansyahbs.com
on
06:27
Just like creative writing, academic writing is divided into several types. It is important to know how to produce each type. This is crucial even if you’re not planning to study rocket science. Every research study needs to be documented and if you want it to be recognized, you have to write it. After all, thinking and sounding like a professional begin with you and only you. Carve your skills without doubt. Learn with us.
#academicwriting #academic #writing #writenow #tjpwritingcenter
The Jakarta Post Writing Center
by
www.ardiansyahbs.com
on
05:49
Just like creative writing, academic writing is divided into several types. It is important to know how to produce each type. This is cruc...
Seminar Internasional bertajuk ijazahan kitab-kitab karya Dr.
Syaikh Abdul Fattah Shalih Muhammad Qudaisy Al-Yafi’I berlangsung di aula Salsabila
gedung PWNU Jawa Timur (7/4). Sekitar 200 peserta perwakilan dari setiap
pengurus cabang di Jawa Timur dan masyarakat umum menyimak penjelasan dari
ulama Yaman tersebut. Ada 23 kitab karangan beliau bermanhaj Ahlussunah Wal
Jamaah yang menjadi pembahasan dalam seminar. Dua diantaranya yang menjadi
fokus pembahasan adalah kitab tentang istighatsah dan tabarukan kepada ulama
shalih. Download Kitab.
Acara dibuka dengan lantunan ayat suci Al-Quran oleh Ust. Thobib
selaku muadzin Masjid Al-Akbar Surabaya. Kemudian sambutan oleh Dr. Afifuddin
Dimyathi, Lc, MA mewakili Aswaja NU Center Jatim dilanjutkan dengan Prof.
Shonhaji Soleh selaku perwakilan Pengurus Wilayah Nahdlatul Uama Jawa Timur.
Beliau menyampaikan pentingnya manhaj Ahlussunah Wal Jamaah dan
pentingnya adab bagi seorang penuntut ilmu.
Dr. Latief Malik mengawali acara dengan membacakan silsilah
keilmuan Dr. Syaikh Abdul Fattah. Indonesia bukan tempat yang asing lagi bagi
beliau, karena beberapa kali melakukan kunjungan ilmiah ke pesantren-pesantren
di Nusantara.
“Syukur alhamdulillah untuk kesekian kalinya kami bisa
berkunjung ke Indonesia, negeri dengan penduduk yang sangat sopan. Ini sebagai
salah satu ciri ahlullah,” Syaikh mengawali penjelasannya.
“Ahlussunah Wal Jamaah sebagai manhaj moderat dalam menjalankan
syariat Islam sangat dibutuhkan dewasa ini. Perkembangan dunia yang mendorong
umat ekstrim kiri liberalisme dan ekstrim kanan radikalisme, sedikit banyak
mempengaruhi pola pikir umat. Aswaja sebagai jalan tengah antara mujassimah dan
muaqqidah.”
Beliau mengritisi terkait bentuk pemerintahan umat Islam dan ideology
khilafah yang berkembang belakangan ini di dunia. Bahwa sebenarnya Nabi Muhammad
tidak mengharuskan model pemerintahan tertentu. Sejak awal, umat Islam selalu
mengedepankan musyawarah dalam menyelesaikan persoalan terutama perihal
kenegaraan. Beliau juga memberikan nasehat agar tidak mudah mengafirkan dan
berperilaku baik kepada setiap orang meskipun non-muslim.
Dalam kitabnya, beliau menulis tentang anjuran istighatsah dan
diperbolehkannya tabarukan kepada ulama shalih. Ini sebagai bentuk kesadaran
bahwa manusia tak punya kekuatan apapun dan penghormatan kepada guru. Upaya
pelarangan amaliah tersebut baru terjadi ketika munculnya Ibnu Taimiyah. Hanya
sedikit orang yang mengikutinya, karena tidak mengetahui secara lengkap riwayat
Ibnu Taimiyah.
Di penghujung acara, beliau mengijazahkan kitab-kitabnya dan
hadirin menerimanya untuk disampaikan kepada umat. Setelah prosesi pengijazahan
selesai, acara dilanjutkan dengan konsolidasi pengurus Aswaja NU Center
se-Jatim dalam upaya membentengi umat dari pemahaman takfiri dan ekstrim. Sebagai
upaya preventif menghalau terorisme yang belakangan ini bersembunyi di belakang
symbol-simbol agama.
Seminar Internasional Bertajuk Ijazahan Kitab, NU Jatim Terima Sanad Istighatsah
by
www.ardiansyahbs.com
on
08:27
Seminar Internasional bertajuk ijazahan kitab-kitab karya Dr. Syaikh Abdul Fattah Shalih Muhammad Qudaisy Al-Yafi’I berlangsung di aula ...
Bhur Bvah
Swaha. Tat Savitur Varenyam. Bhargo Devasya Dimahi. Dhiyo Yo Nah Paraco Dayat. Bhur
Bvah Swaha. Tat Savitur Varenyam. Bhargo Devasya Dimahi. Dhiyo Yo Nah Paraco
Dayat. Bhur Bvah Swaha. Tat Savitur Varenyam. Bhargo Devasya Dimahi. Dhiyo Yo
Nah Paraco Dayat.
Sayup-sayup
terdengar suara gamelan menyatu dengan syair yang tak jelas apa maknanya. Dengan
baju yang basah kuyup, seorang wanita berjalan gontai menjauhi bibir pantai. Langit
mulai tampak kuning kemerahan, pertanda hari mulai senja. Wanita itu
menyaksikan keadaan sekitarnya, mulai banyak lelaki berbadan kekar mendekati
bibir bantai dengan membawa jaring di
punggungnya. Ketika berpapasan, setiap lelaki yang melewatinya selalu
tersenyum. Senyuman seakan menjadi identitas pulau ini.
Wanita
tersebut berjalan menghampiri sebuah warung. Tanpa pikir panjang, dia berusaha
mencari uang di kantong celananya untuk ditukar dengan beberapa makanan. Namun,
uang yang dikeluarkannya sudah tidak laku lagi. Mbok Inem pemilik warung pun
bertanya kepadanya,”Sampeyan saking pundi, Nak?” Wanita itu hanya
tertegun dengan suara Mbok Inem, berusaha memahami apa arti suara itu. Dia
berbalik arah dan menunjuk jauh ke arah laut. Pikirannya pun kembali ke
peristiwa yang terakhir kali dia alami.
Ingatannya
membayangkan peristiwa terakhir bersama teman-temannya. Berenang, menikmati
terumbu karang yang sangat indah di sekitar Pulau Karang, pulau kecil yang
terbentuk akibat pertemuan arus laut. Puas berenang, dia memutuskan untuk
menepi menikmati matahari yang tampak muram.
“Nggrrrrrrrkkkkkkkkk”
mendengkur. Ketika terbangun dia menyaksikan kondisi sekitar, di mana
teman-teman? Langit mulai senja, tak ada suara manusia, hening dan perahu yang
membawanya ke Pulau Karang pun menghilang. “Toloooooooong,” dia berteriak berulang kali. Sampai akhirnya dia lelah dan
menangis, mengingat kebiasaannya yang suka tidur sembarangan, cerewat dan
menjahili teman-temannya. Dia menenangkan diri dan berusaha menyenandungkan tembang
rumeksa ing wengi karena hari mulai gelap. Tembang yang
diajarkan oleh ayahnya, sebagai perlindungan bagi seorang militer. Tembang karya
Sunan Kalijaga yang selalu disenandungkun Jenderal Besar Panglima Sudirman
ketika dalam kondisi terdesak.
“Nak,
monggo dahar rumiyin!” suara Mbok Inem memecahkan lamunannya. Masih tetap
tidak berbicara, wanita itu melahap makanan yang disiapkan Mbok Inem. Dari
belakang meja, Mbok Inem memperhatikan wanita itu dan bertanya dalam hati,”Anak
ini memang tidak bisa berbicara atau tidak mengerti dengan bahasa yang saya
gunakan?”.
Bertubuh
tinggi, berkulit putih, dan berambut pirang. Sepertinya bukan dari warga daerah
sekitar sini. Selepas makan, dia diantar menuju rumah Mbok Inem untuk membersihkan
tubuh dan berganti pakaian. Sepasang jarik dengan motif yang cukup rumit
dikenakannya. Kemudian bersama putri Mbok Inem mengikuti pengajian. “Kenalkan
nama saya Prya.” Putri Mbok Inem memperkenalkan diri sambil menjulurkan tangannya.
Namun, wanita itu tertawa terbahak-bahak mendengarkan nama putri Mbok Inem.
Dalam pemahamannya Prya adalah sebutan bagi laki-laki. Menyaksikan hal
tersebut, Mbok Inem dan Prya bahagia karena wanita itu akhirnya bisa tertawa.
Prya
seringkali mengajaknya berbicara, namun respon wanita itu hanya satu, entung.
Setiap pertanyaan selalu dijawab dengan jawaban yang sama. Prya pun
akhirnya memanggilnya dengan entung. Persahabat mereka semakin erat dan si entung pun mulai
bisa berbicara. Karena kebersamaannya, orang-orang sekitar menamainya Pryntung.
Mereka
berdua berjalan menuju tempat pengajian. Si entung mulai tertarik dengan
aktivitas Prya. Entung pun berniat mengikutinya. Mereka berdua berjalan menuju
tempat pengajian. Ketika memasuki ruangan yang beralaskan kayu, seisi ruangan
tampak memperhatikan entung. Siapa orang ini. Ki Prabu selaku guru ngaji pun
memperkenalkan siapa si entung ini. Setelah perkenalan, pelajaran pun dimulai
seperti biasa. Ki Prabu memulai pelajarannya dengan membaca Al-Fatihah. Materi
pada sore hari ini adalah air suci.
Ki Prabu
menjelaskan bagaimana air akan mengristal ketika dibacakan doa. Maka, para
hadirin dipandu Ki Prabu meminum air suci masing-masing setelah dibacakan
al-Fatihah. Ki Prabu menceritakan bahwa sebelum Demak Bintoro berkuasa
al-Fatihah yang menjadi induk Al-Quran mempunyai kesamaan makna dengan Mantra
Gayatri. Ki Prabu juga menambahkan bahwa sebenarnya kekuasaan Demak tidak diperoleh
dengan penghancuran Majapahit yang dipimpin Prabu Brawijaya oleh Raden Patah
penguasa Demak. Itu adalah kisah yang nggak pernah terjadi, cerita yang dibuat
oleh bangsa asing untuk melemahkan pengaruh Demak. Bissmillahirrahmanirrahim……..
Setelah pengajian usai, semua kembali ke tempat masing-masing. Prya dan
Entung pun pulang. Kemudian makan bersama Mbok Inem yang sedari tadi memasak.
Air suci sisa pengajian pun menjadi pelepas dahaga kedua sejoli ini.
Ketika
malam mencapai sepertiganya, Mbok Inem dan Prya mengawali aktivitasnya
sehari-hari. Sementara Entung masih terlelap dalam selimutnya. Lantunan ayat
suci Al-Quran disenandungkan. Entung terbangun ketika Mbok Inem dan Prya
mengulang-ulang ayat yang sama. Dari belakang Entung bertanya,”Apa yang sedang
kalian baca?”
Mbok
Inem dan Prya tampak kaget dengan suara itu. Dengan segera mereka menatap Entung
dengan berkaca-kaca kemudian memeluknya. Waktu seakan berhenti dan mereka pun
bergembira. Kemudian Mbok Inem menjelaskan bahwa yang kita baca adalah surah
Al-Kahfi dan ayat yang diulang-ulang adalah ayat kedua sebelum akhir yang
artinya: Katakanlah! Sekiranya lautab menjadi tinta untuk menulis
kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis ditulis
kalimat-kalimatnya.
“Tadi
malam sebelum tidur, saya juga mendengar Mbok Inem membaca Al-Quran bersama
orang banyak. Apa yang dibaca?” balas Entung. “Ooooowh, itu adalah surah Yasin, surah memohon kepastian. Ini
pengalaman seorang sufi Andalusia yang bernama Muhyiddin Ibnu ‘Arabi, ketika
mengalami sakit yang tidak ada harapan untuk sembuh, ayahnya membacakan Surah
Yasin untuknya. Keesokan harinya penyakit tersebut berangsur-angsur sembuh dan
untuk mengingat ayahnya yang telah berpulang, Ibnu Arabi selalu membaca surah
Yasin untuk ayahnya.” Jawab Mbok Inem.
“Pembacaan
surah Yasin merupakan amalan sufi. Pada zaman dahulu, kaum sufi selalu
berseberangan dengan fuqaha, namun berhasil didamaikan oleh Al-Ghazali bahwa syariat
dan hakikat haruslah berjalan bersama. Para fuqaha tidak bisa menerimanya dan
menganggap al-Ghazali dan kaum sufi sebagai orang gila. Oleh karena itu jangan
heran jika tidak semua muslim membaca surah Yasin.” Lajut Mbok Inem.
Menjelang
siang Prya dan Entung pergi ke sanggar untuk belajar memainkan wayang. Naskah
lakon yang diperankan kali ini berjudul “Peryntung” sebuah kisah panjang
perjalanan Cheven dalam melawan Jayaningrat, trek tek tek tek tek. Kisah
dimulai, Prya dan Entung mulai beraksi.
“Hey,
Mas Joko, siapakah cinta pertamamu?”, Prya memulai aksinya.
“Perlu
kubantu mensyenin? Biar yang dipertuan agung menjawab keraguanmu.” Entung
menunjukkan kebolehannya.
“Jikalaupun
jawaban baginda Sri dipertuan agung ternyata ‘iya’, sungguh berat mengatakan
bahwasanya aku khawatir tak mampu merasa cukup berbuat untuk menunaikan bakti
dan membalas cintanya, wahai Saudariku.”
“Sungguh
aku selama ini silau atas dosamu, ternyata engkau orang yang sangat bijak, Saudariku.”
“Makanya
semingguan ini hamba tidak ganti baju lain selain hitam ini, khawatir pesona
dan silauku membuat orang mengalami mata minus dan silinder yang berlebihan.”
“Sungguh
aku kagum atas semua pemikiranmu.”
“Aku pun
juga terheran-heran sendiri.”
“Apakah
Mas Joko titisan Jayaningrat penulis Babad Kraton itu?”
“Yaaa,
Mas Joko yang kelak akan mempersunting
Hayu Wisnuwardhani Puntadewi.”
“Kerajaan
putri akan ditaklukkan oleh Sang Prabu. Penguasa yang kesaktiannya tidak akan
tertandingi, harga diri dan kehormatannya adalah kesatuan santri, tidak akan
terkiks oleh khilafah palsu pemberontak negara.”
“Trek
tek tek tek tek tek.”
“Wahai
saudariku, selama persatuan dan kesatuan kita terjaga, niscaya kita
tidak akan runtuh di tangan Sang Prabu.”
“Secepat
ini baginda kita berganti, dari Hilmi ke Mas Joko. Apakah saudariku yakin
baginda Hilmi akan jatuh selanjutnya ke tangan-tangan suci seperti sebelumnya?”
“Wahai
saudariku, sungguh aku tak paham mengapa kau sebut sang baginda di lapak ini.
Apakah engjau salah memasuki kerajaan?”
“Iya
sepertinya salah masuk zona kekuasaan. Lantas apakah saya harus membalik
celana, wahai dayangku?”
“Sang
ratu pun memerintahkan agar engkau segera pergi ke dalam hutan, berteduh di
bawah pohon lain yang sekiranya paparazzi memasukkan gambarku ke majalah kota
akan bagus gitu di mata netizen.”
“Janganlah
kau melihat segala sesuatu dari sisi estetika, tapi pikirkan manfaat yang kau
dapat. Pohon pisang akan mengajarkanmu ilmu tangkis manki. Sungguh kelak ilmu
itu akan berguna melindungi harta benda kerajaanmu.”
“Trenng
teng teng teng teeeeng”
Akankah
Cheven akan memenangkan pertarungan melawan Jayaningrat? Siapakah Sang Cheven? Sosok
yang diidolakan itu, namun membuat pusing banyak orang. Chevening. Memperjuangkanmu
hingga menunda penyempurnaan separuh imanmu. Demi mendapatkan tiket menuju
Kerajaan Tanah Eng, Sang Avatar itu? Bukankah telah tertulis bahwa engkau
sedang berdiri di tanah surga dengan seperangkat pengendalian di dalam kitab-kitab suci?
Si Prya tiba-tiba tak sadarkan diri. Ketika terbangun suaranya hilang. Namanya pun tak tahu. Apa yang terjadi? Mulutnya hanya bisa bekomat-kamit dengan satu kata, chevening.
J A Y A N I N G R A T
by
www.ardiansyahbs.com
on
13:47
Bhur Bvah Swaha. Tat Savitur Varenyam. Bhargo Devasya Dimahi. Dhiyo Yo Nah Paraco Dayat. Bhur Bvah Swaha. Tat Savitur Varenyam. Bharg...