Ekspedisi Kota Reog: Kritik Berwujud Kesenian


Asal usul kesenian Reog berasal dari cerita rakyat yang berkembang di Jawa Timur sebelum masuknya Islam ke Jawa. Terdapat beberapa versi ceritanya, namun dua versi utama yaitu pada jaman Kerajaan Bantarangin dan versi jaman Majapahit. Cerita yang ditulis di atas adalah versi Kerajaan Bantarangin, yang ada jauh sebelum Kerajaan Majapahit, diceritakan kembali oleh Bapak Agus Reog, seorang tokoh kesenian Reog yang tinggal di Sukodono Sidoarjo dan salah satu pendiri perkumpulan Reog di Ponorogo.

Sayembara Dewi Songgolangit inilah yang kita kenal sekarang sebagai Reog, iring-iringan serah-serahan pengantin yang dibawa oleh Prabu Kelono Siwandono berupa tontonan yang belum pernah ditampilkan. Tontonan tersebut terdiri dari 140 prajurit dengan menaiki kuda putih yang seragam sebagai pembuka jalan Singobarong dengan dadak merak yang ada di kepalanya yang merupakan jelmaan Pangeran Singobarong dengan abdi kinasinya atau dayang yang setia kepada Singobarong. Singobarong ini dinaiki oleh Prabu Kelono Siwandono dengan diiringi patihnya yang menari yaitu Pangeran Kelono Siwanjoyo dan musik gamelan.

Kisah ini dilatarbelakangi pada masa kerajaan Kadiri sebelum masuknya pengaruh Islam di Nusantara. Kerajaan Kadiri merupakan pecahan dari Kerajaan Kahuripan. Disebutkan dalam Prasasti Wurare yang berangka tahun 1211 C atau 1289 M, Airlangga membagi kerajaan menjadi dua yaitu Kerajaan Janggala dengan ibukota Kahuripan dan Kerajaan Panjalu atau Daha di Kadiri. Tetapi Serat Kanda menyebutkan Kerajaan Airlangga dipecah menjadi beberapa kerajaan kecil, namun yang terkenal adalah Kadiri dan Janggala. Serat Kanda diperkuat dengan prasasti Malenga dan Banjaran (Darmoseotopo, 2013:49). Ini juga menguatkan asumsi bahwa Kerajaan Bantarangin kemungkinan letaknya ada di lokasi  yang kita sebut sekarang sebagai kota Ponorogo.

Cerita Reog pada masa Majapahit berbeda dengan cerita sebelumnya yang berlatarbelakang kerajaan Kadiri. Kisah Reog versi Majapahit berlatar belakang pada masa masa akhir runtuhnya kerajaan Majapahit dan masuknya Islam.

Tersebutlah Ki Ageng Kutu Suryongalam, seorang abdi di Kerajaan Majapahit yang kecewa dengan pemerintahan Brawijaya V yang sibuk dengan urusan perempuan dan tidak perhatian pada urusan kerajaan. Kekecewaan ini dilampiaskan dengan membuat kelompok pertunjukan barongan yang terbuat dari kulit macan, dan diatas kepala macan tersebut bertengger burung merak. Kepala macan melambangkan Brawijaya V, sedangkan merak yang bertengger di kepala macan melambangkan para istri Brawijaya V yang sangat mempengaruhi kehidupan Brawijaya V sehingga lupa akan tugasnya sebagai raja. Untuk melindungi kelompok kesenian ini dibuatlah pasukan prajurit yang terlatih dan mempunyai ilmu yang tinggi dalam olah kanuragan yaitu warok. Sementara itu yang berada di balik topeng dengan wajah merah adalah Ki Ageng Kutu Suryangalam. Kepopuleran kesenian ini membuat Prabu Brawijaya V marah dan memerintahkan menyerang kelompok kesenian ini. Meskipun kelompok kesenian ini berhasil dicerai beraikan, para murid Ki Ageng Suryongalam tetap melanjutkan kesenian ini.

Karena ketidakmampuan Raja Brawijaya V dalam memerintah dan pengaruh kuat dari para istrinya dalam mengambil kebijakan di dalam Kerajaan Majapahit, maka banyak kerajaan kecil di dalam wilayah kekuasaannya memisahkan diri, termasuk kerajaan Demak yang dipimpin oleh Raden Patah di Bintoro yang juga merupakan putranya sendiri  dengan Putri Campa. Demi menghindari pertempuran dengan putranya, Prabu Brawijaya V mengungsi ke lereng Gunung Lawu, dalam pelariannya Prabu Brawijaya V disertai oleh   abdi kinasih yang melayaninya sejak kecil yaitu Sabdopalon dan Nayogenggong.  Lereng Lawu adalah tempat terakhir Brawijaya V yang kemudian membuat perguruan dengan dirinya sebagai pemimpinnya dengan nama Ki Hajar Lawu Brawijaya.

Selain Raden Patah, Brawijaya V mempunyai 50 putra dari para selirnya, salah satunya Batoro Katong putranya dari selir yang berasal dari Bagelen Mataram. Batoro Katong berguru pada kakaknya Raden Patah di Demak, yang dikemudian hari setelah menyelesaikan ilmunya, diutus oleh Raden Patah untuk ke wilayah timur yaitu Ponorogo. Bataro Katong pada akhirnya dapat membuat pemerintahan baru di Ponorogo dan menggunakan kelompok kesenian yang dibuat oleh Ki Ageng Kutu Suryongalam yang pada masa pemerintahan ayahnya berhasil dibubarkan. Kelompok kesenian yang semula digunakan sebagai  media mengkiritik sang penguasa, oleh Batoro Katong digunakan sebagai alat untuk mengembangkan kekuasaannya yang sudah di pengaruhi oleh Islam di Kadipaten Ponorogo dengan dibantu oleh Ki Ageng Mirah. 

Batoro Katong adalah tokoh legenda karena keaslihan tokohnya belum dapat dibuktikan dalam sejarah, namun makamnya dapat dijumpai di kampung Katongan di sebelah timur alun-alun kota Ponorogo, sebagai penanda lahirnya kota Ponorogo. Kisah versi ini jika ditelusuri dalam sejarah pada Babad Tanah Jawa menyebutkan kerajaan Majapahit runtuh karena serangan dari kerajaan Islam Demak dan ditandai dengan sengkalan sirna ilang kertaning bumi 1400 C atau 1478 M,  tetapi sumber lain pada tahun tersebut Bhre Kertabumi gugur di keraton Majapahit  karena serangan dari Dyah Ranawijaya, anak Bhre Pandan Salas. Jadi penguasaan Majapahit bukan oleh Pati Unus dari kerajaan Islam Demak (Darmoseotopo, 2013:59).

Sedangkan cerita tentang Warok, merupakan cerita yang berdiri sendiri dan ada sebelum muncul Reog. Warok adalah seorang prajurit tangguh dengan segala kesaktiannya yang sangat mumpuni. Cerita ini berlatarbelakang Kadipaten Wengker pada masa Kerajaan Majapahit yang diceritakan oleh Pak Bandi tokoh budaya dari Trowulan yang juga seniman Reog dan Pak Agus Reog, tokoh kesenian Reog yang tinggal di Sukodono Sidoarjo dan salah satu pendiri perkumpulan Reog di Ponorogo.

Grup kesenian Reog Ponorogo terdiri atas penari dan penabuh gamelan berjumlah  sekitar 20 sampai dengan 30 orang, yang pada tampilannya ada urut-urutannya, yaitu warok, jatilan, ganongan, Prabu Kelono Siwandono dan yang terakhir Barongan atau Reog. Sebagai urutan pertama penampilan warok menampilakan beberapa warok yang berbadan besar dengan berpakaian dan berikat kepala hitam serta berikat pinggang yang terbuat dari tali dengan baju yang kacingnya  terbuka dan memegang cemeti yang dimainkan sesuai dengan iringan tabuhan. Penampilan warok yang berbadan besar oleh para narasumber dianggap sebagai kepantasan agar warok tampil angker dan disegani.

Jatilan atau jaran kepang sebagai penampil kedua, merupakan perwujudan 140 prajurit dengan kuda putih yang seragam dalam mengiringi Prabu Kelono Siwandono pada waktu melamar putri Kadiri yang bernama Dewi Songgolangit. Jatilan yang dulu ditarikan oleh pria, namun tahun 1992 ditarikan oleh wanita agar lebih gemulai. Kemudian setelah Jatilan, Ganongan muncul yang ditarikan oleh pria dengan menggunakan topeng berwajah merah dan atraksi jungkir balik yang menggambarkan kegembiraan patih dan juga adik Prabu Kelono Siwandono yaitu Pangeran Kelono Siwanjoyo atas keberhasilan kakaknya melamar Dewi Songgolangit.

Setelah Ganongan, Prabu Kelono Siwandono menari dengan menggunakan topeng dan memainkan pecut samandiman yang digunakan untuk mengalahkan Pangerangan Singobarong. Kemudian Reog atau barongan adalah penampil terakhir dalam iringan kesenian ini, yaitu dengan 1 sampai 3 orang pria yang mengenakan topeng besar yang berbobot 50 sampai dengan 60 kilogram dengan cara menggigit. Tarian Reog ini ditampilkan secara lambat hanya memainkan topengnya dengan sedikit menganyunkan. Biasanya para tamu yang terhormat atau pihak yang mempunyai hajatan akan duduk di kepala barongan dengan menari, menggambarkan Prabu Kelono Siwandono naik kepala Barongan pada saat masuk Kerajaan Kadiri untuk meminang putri Dewi Songgolangit.

Reog Ponorogo sebagai salah satu kesenian tradisonal Indonesia mempuyai nilai dalam wujud ide pada proses penciptaaannya yang menceritakan bahwa kebaikan akan menang melawan kejahatan yaitu pada peperangan tokoh baik yang diwakili oleh Prabu Kelono Siwandono melawan tokoh jahat yang diwakili oleh Pangeran Singobarong. Sedangkan pada masa Majapahit diceritakan bahwa melawan yang berkuasa tidak selalu dengan adu fisik tapi dengan kiritikan, seperti yang dilakukan oleh Ki Ageng Kutu Suryongalam dalam melawan Prabu Brawijaya V. Sebagai wujud prilaku, kesenian Reog Ponorogo yang ditampilkan dalam musik gamelan dan ragam gerak para tokoh yang ditarikan yaitu Warok, Jatilan, Ganongan, Prabu Kelono Siwandono dan Reog atau Barongan.

Sebagai seni pertunjukan tradisional, Reog Ponorogo mempunyai beberapa fungsi, yaitu fungsi ritual, fungsi pendidikan, fungsi penerangan dan fungsi hiburan (Wibisana, 2010:53). Sebagai fungsi ritual, Reog ditampilkan pada saat upacara-upacara yang berkaitan dengan hajatan seperti upacara bersih desa dan sebagainya. Fungsi pendidikan, bahwa penonton dapat memetik nilai-nilai yang baik dan buruk pada penampilan gerak para pelakon Reog. Fungsi penerangan, tampilnya kesenian Reog selain sebagai pentas seni untuk kepentingan upacara adat seperti ruwatan, pada saat ini Reog Ponorogo juga ditampilkan sebagai media penarik warga masyarakat dalam sosialisasi program pemerintah di daerah. Sebagi fungsi hiburan tentunya tampilan Reog sangat menghibur penonton dalam ragam gerak penari dan gamelan pengiringnya.


Tantangan bagi Reog di masa depan adalah bagaimana kita melestarikan Reog agar generasi penerus tetap mengenal kesenian ini. Festival Reog Ponorogo yang diselenggarakan sebagai salah satu acara peringatan hari jadi kota Ponorogo merupakan langkah yang besar dalam pelestarian kesenian ini. Selain itu, seringnya pertunjukan Reog di daerah dan generasi muda sebagai penari dan penabuh gamelan dalam pertunjukan ini harus tetap ada, dengan mengenalkannya di sekolah-sekolah, terutama sekolah seni. Dan kerjasama pemerintah serta masyarakat terutama sesepuh Reog agar tidak lelah dalam mewujudkan pelestarian ini.

Post a Comment

0 Comments