Spirit saminisme menjaga semangat gerakan masyarakat Samin dalam upayanya
melawan kolonialisme. Perlawanan yang selama ini digambarkan dengan adu fisik
dan senjata yang menumpahkan darah, tidak berlaku dalam spirit saminisme.
Gerakan ini mengajarkan bagaimana menjadi diri sendiri dan gotong royong mencintai
tanah air.
Intisari dari gerakan saminisme adalah sebuah ide
pembebasan sebagai upaya melepaskan masyarakat dari belenggu kolonialisme atau
kekaguman terhadap asing. Saminisme yang selama ini dianggap sebagai suku yang
membangkang kepada negara, sebenarnya gerakan social yang berusaha mengajak
masyarakat sebangsa dan setanah air agar tidak tunduk pada bangsa asing. Isu
negative yang dihembuskan di tengah masyarakat adalah propaganda penjajah agar
masyarakat tidak bersatu dalam spirit saminisme melawan kolonialisme.
Maka sebenarnya perlu adanya penjelasan lebih dalam terkait
devide at impera pada pendidikan dasar. Kisah-kisah yang sebenarnya
tidak terjadi diada-adakan oleh penjajah untuk mengadu domba. Selain isu
negative terhadap masyarakat samin yang berusaha menyatukan persepsi melawan
penjajahan, kisah yang sebenarnya tidak terjadi adalah kisah Perang Bubat dan
penghancuran Majapahit oleh Demak Bintoro yang dipimpin oleh Raden Patah.
Usaha-usaha untuk menyamakan persepsi dengan membekali
generasi Samin keterampilan. Memberikan pendidikan dengan cara dan metode yang
terus beradaptasi dengan perkembangan zaman. Keterampilan pertama yang dipelajari
masyarakat Samin dalam menghadapi penjajah Belanda adalah keterampilan
berpura-pura menjadi orang bodoh. Sehingga hal tersebut cukup merepotkan
penjajah karena merusak sumber pertanian dan tidak mau membayar pajak.
Keterampilan kedua yang diberikan kepada generasi Samin
dengan mengirimkan aji pameling, yaitu sebuah pesan agar para penerus
mempersiapkan garam dan kapas. Keterampilan mengolah kedua bahan ini membuat
masyarakat Samin tidak kelaparan dan mempunyai usaha pengolahan kapas ketika
penjajah Jepang datang. Cukup sandang pangan dalam kehidupan sehari-hari.
Kemudian, ketika masa awal kemerdekaan, masyarakat Samin
masih membangkang terhadap pemerintah karena menganggap pemerintahan masih
dikuasai orang asing. Namun setelah mengetahui bahwa republic telah dipimpin
saudara sendiri, masyarakat Samin mulai membayar dan mendatangkan guru untuk
sekolah. Perlahan lembaga pendidikan masyarakat Samin mulai ramai dan
berdirilah sekolah.
Selain pendidikan formal yang dilakukan di sekolah, para
sesepuh Samin memberikan pendidikan secara kultural. Cerita tutur yang
disampaikan secara berkala turut menyambung ikatan emosional dari generasi
pertama hingga generasi selanjutnya. Tidak ada metode khusus, namun diharapkan
para generasi Samin mampu menangkap cerita dan menyampaikannya kepada generasi
yang lebih muda.
Gotong royong dan toleransi juga menjadi pendidikan
kultural di luar sekolah. Dalam setiap hajatan, masyarakat Samin tidak
diwajibkan untuk membawa uang. Ini ditujukan agar semuanya bisa hadir dan tidak
ada diskriminasi terhadap keluarga dengan perekonomian menengah ke bawah.
Setiap keluarga dibolehkan membawa hasil bumi yang dimilikinya, namun sifatnya
tidak memaksa. Semua berdasarkan kesadaran diri dengan prinsip gotong royong
dan guyup rukun.
Ngalah terhadap saudara sendiri sebagai nasehat yang
dituturkan para sesepuh. Ini disampaikan agar terus menjaga persatuan dan tidak
terpecah belah. Dan yang terpenting dalam prinsip pendidikan masyarakat Samin
adalah apa yang tampak oleh mata harus bisa. Ini yang menjadi pedoman
masyarakat Samin dalam mengarungi kehidupan. Meskipun tidak banyak yang
menempuh jenjang tinggi dalam pendidikan formal, prinsip ini yang akan membawa
masyarakat Samin untuk terus belajar. Apa yang tampak oleh mata harus bisa dan dikuasai
untuk kesejahteraan generasi penerus.
0 Comments