Pendidikan dalam kurun waktu belakangan ini, dimaknai
sebagai sebuah institusi. Seseorang akan dianggap berpendidikan jika telah
melewati tingkatan kelas tertentu, yang diatur sedemikian rupa untuk membentuk
sumber daya manusia yang diinginkan. Apakah adanya institusi dalam pendidikan
bisa membantu meningkatkan kualitas sumber daya manusia? Dan apakah seseorang
yang tidak melewati tingkatan kelas tertentu dalam institusi pendidikan akan menjadi
tidak kompeten? Tulisan ini tidak berusaha meragukan apa yang telah Anda yakini
dan tidak akan meyakinkan apa yang sedang Anda ragu-ragukan. Penulis berusaha
menguraikan beberapa hal terkait makna pendidikan dan masa depannya. Dengan
memberikan sudut pandang tentang latar belakang adanya institusi pendidikan.
Dalam kitab Mahabharata, Mahaguru Drona menyebutkan bahwa,
sesuatu yang tidak terduga adalah bagian dari pendidikan. Nabi Muhammad juga
menyatakan bahwa, proses belajar dari buaian hingga liang lahat. Sementara Sang
Buddha menyatakan bahwa kehidupan adalah proses belajar melepaskan diri dari
kemelakatan dunia dengan memurnikan batin. Sedangkan Isa Al-Masih menunjukkan
bahwa pelajaran akan didapatkan dengan perjalanan.
Tokoh-tokoh besar di atas menganggap bahwa pendidikan
sebagai proses belajar secara terus-menerus dan berkesinambungan. Tidak ada
kata terlambat dan tidak mempunyai batas akhir. Pendidikan bukan sekedar melalui
tahapan-tahapan kelas yang diatur sedemikian rupa oleh manusia, melainkan
bagaimana seorang manusia memperoleh kesadaran paripurna dalam hidup sehingga
kembali kepada Tuhannya dengan tenang.
Sementara Ki Hajar Dewantara memandang bahwa pendidikan
sebenarnya adalah pendidikan yang memanusiakan manusia. Sedangkan Soekarno
menganggap bahwa pendidikan bukan sesuatu yang diam di atas menara gading,
melainkan sebagai alat sosial dalam memperjuangkan masyarakat. Berbeda dengan
Tan Malaka yang menganggap jika seorang sarjana merasa enggan memegang cangkul
di sawah, lebih baik pendidikan tidak diberikan sama sekali. Kemudian Cak Nun
mengatakan,”Sekolahlah sampai engkau tau dirimu dibodohi dan kamu tahu sekolah
gagal membodohimu.”
Beragam sikap dan makna tentang definisi pendidikan. Namun,
apakah sebenarnya pendidikan itu dan bagaimana proses terbentuknya institusi
pendidikan sehingga menjadi sebuah keharusan dalam proses belajar? Dalam
falsafah Jawa proses pendidikan manusia dikategorikan menjadi empat tahapan,
yaitu Margoutomo, Malioboro, Margomulyo dan Pangurakan. Tahapan tersebut
menjadi symbol dan nama jalan mulai dari Tugu hingga Keraton Yogjakarta. Dan
kemudian diadopsi menjadi nama-nama jalan di daerah lain.
Margoutomo menjadi tahapan pertama proses pendidikan. Jalan
keutamaan yang harus dicari oleh seorang anak manusia. Seseorang perlu mencari dan
menemukan apa keutamaan atau pembeda abadi yang ada dalam dirinya. Maka
sebenarnya proses yang dilalui dalam institusi pendidikan mampu membantu
seseorang menemukan apa keutamaan yang ada dalam dirinya. Keutamaan yang
dimaksud di sini adalah suatu hal yang diri sendiri semangat dalam
mengerjakannya dan orang lain merasa terbantu atau merasa kemanfaatan.
Dalam menemukan keutamaan dalam diri, bukan berarti
seseorang mengabaikan hal lain di luar kemampuannya. Setiap orang tetap
berkewajiban mempelajari segala hal yang tampak oleh mata, namun harus
mengetahui satu hal yang menjadi pembeda abadi atau identitas dirinya. Cara
sederhana untuk mengetahui keberhasilannya adalah sejauh mana orang lain
mengetahui identitas tersebut tanpa menyebutkan nama asli dari dirinya.
Tahapan kedua adalah Malioboro. Sebuah kawasan atau nama
jalan yang menjadi salah satu destinasi wisata kebudayaan. Secara bahasa,
Malioboro tersusun atas dua kata yaitu
malio dan boro. Malio sebagai kata perintah yang berasal dari kata wali yang
bermakna wakil, sedangkan boro bermakna mengembara. Maksudnya, setelah
seseorang mampu menemukan keutamaan dalam dirinya, maka tahapan selanjutnya
adalah menjadi wakil Tuhan Yang Maha Esa dalam memberikan manfaat kepada sesame
yang ditempuh dengan pengembaraan. Mengasah keterampilan dengan jalan
pengabdian untuk mematangkan apa yang telah menjadi keutamaan dalam dirinya.
Hal tersebut dilakukan secara terus-menerus tanpa henti secara rutin hingga
seseorang mencapai tahap Margomulyo.
Margomulyo sebagai fase ketiga proses pendidikan seorang
manusia. Jalan kemulyaan, seseorang yang mengabdikan dirinya secara
berkesinambungan akan sampai kepada tahap kemulyaan. Tahapan ini sebenarnya
akibat dari tahapan sebelumnya, bukan untuk diusahakan apalagi menjadi tujuan. Tahapan
ini tidak bisa dideteksi oleh diri sendiri, melainkan sesuatu yang dirasakan
orang lain ketika mendapat manfaat dalam dirinya. Tahapan ini sebagai akumulasi
dari proses perjalanan panjang dalam menempa diri dalam belajar.
Kemudian Pangurakan sebagai tahap keempat proses
pendidikan. Tahapan ini menjadikan seseorang memahami kehidupan. Menang tanpa
mengalahkan, benar tanpa menyalahkan dan ada tanpa meniadakan. Tak ada sesuatu
yang diingini selain ridho-Nya. Sebagai tahapan akhir dalam proses pendidikan
sehingga seakan-akan Manunggaling Kawula Gusti.
Demikian tahapan proses pendidikan yang akan dilalui
seorang manusia dalam perjalanan hidupnya di muka bumi. Perjalanan tersebut
bisa dilalui secara kultural dalam hubungan sosial kemasyarakatan dan/atau secara
structural dengan menerima pendidikan di sebuah institusi. Institusi pendidikan
yang menjadi pilihan masyarakat secara umum ada tiga hal, yaitu: sekolah,
pesantren dan taman siswa.
Sekolah menjadi institusi pendidikan yang dikenal luas oleh
masyarakat. Seiring berkembangnya zaman, sekolah beradaptasi dalam berbagai
bentuk, diantaranya: homeschooling, les atau bimbel, kursus, dsb.
Sekolah bermakna waktu luang dalam bahasa latin, sedangkan dalam bahasa
Perancis berarti belenggu. Seseorang dibelenggu untuk memenuhi kebutuhan
industry. Hal ini menjadi latar belakang adanya sekolah atau dikenalnya istilah
sekolah ke seluruh dunia.
Revolusi Industri Perancis sebagai tonggak renaissans atau
abad pencerahan Eropa, sebagai awal munculnya sekolah sebagai tempat mencetak
pekerja industry. Sekolah ada karena adanya industry. Sedangkan jauh sebelum
itu, academia yang didirikan oleh Plato mempelajari hal-hal yang berbeda
dengan sekolah. Gerbang academia memberikan pesan kepada setiap orang
yang datang. Hal-hal tentang dzat tunggal atau ganda dan proses ilmiah dari
segala hal metafisik menjadi pembahasan dan jalan hidup yang menentukan arah
kehidupan.
Di Indonesia, sekolah dikenal sejak zaman Hindia-Belanda.
Zaman tersebut sekolah tidak lebih sebagai doktrin bahwa orang-orang pribumi
tidak lebih baik dari Hindia-Belanda. Hanya kalangan bangsawan yang
diperbolehkan belajar di sekolah tinggi. Adanya kasta dalam system pendidikan
di era tersebut memberika efek kepada generasi selanjutnya. Tidak sedikit yang
menganggap bahwa hal-hal yang berasal dari luar lebih baik dari pada dalam
negeri. Banyak yang berlomba-lomba bersekolah di luar negeri, membanggakan apa
yang bukan miliknya, dan lupa berkontribusi membangun daerahnya, tanah airnya.
Sistem sekolah dibuat sedemikian rupa menggunakan standar
materialisme sehingga seakan-akan sekolah dengan peringkat terataslah yang
terbaik. Peringkat atau ranking yang ada dalam proses pembelajaran tentu
sangat banyak manfaatnya untuk tujuan kompetitif dan meningkatkan daya saing.
Namun, di era teknologi dan terbukanya rahasia masihkan ranking relevan
dengan perkembangan zaman?
Manfaat adanya ranking bagi siswa sebenarnya tidak
lebih besar dari efek sampingnya. Guru bisa tidak obyektif dan orang tua akan
menganggap anaknya tak punya kemampuan jika mendapat ranking rendah. Hal
tersebut secara tidak langsung mengonstruk pola piker bahwa keberhasilan orang
lain adalah kegagalan diri sendiri. Padahal tidak demikan, setiap kelahiran
adalah special, warna baru kehidupan dan tak layak diperbandingkan. Maka yang
terpenting adalah bagaimana mencetak generasi penerus yang senantiasa dalam
kebenaran tanpa merasa lebih baik dari sesamanya. Prinsip-prinsip egaliter yang
menumbuhkan kerja sama akan lebih dibutuhkan di era terbunya rahasia seperti
sekarang.
Pendidikan egaliter tersebut telah ada di Nusantara jauh
sebelum adanya sekolah. Pendidikan tersebut dikenal sebagai Mandala di zaman
raja-raja. Mandala sebagai tempat khusus bagi para resi untuk memperdalam
kemampuan dan pengetahuannya. Mandala tentu tidak bisa disamakan dengan sekolah
dan tidak bisa dianggap lebih baik atau lebih buruh dari sekolah, karena
mandala tidak untuk itu dan tidak ada system ranking. Mandala lebih
kepada pembinaan akhlak dan mental yang mendidik budi seseorang.
Seiring berkembangnya zaman, mandala beradaptasi dengan
budaya setempat tanpa meninggalkan ruh pendidikannya. Mandala beradaptasi
menjadi pesantren, dimana lembaga pendidikan yang mendidik akhlak dan
integritas manusia menjadi paripurna. Hal tersebut juga menginspirasi Ki Hajar
Dewantara dalam membangun Taman Siswa, bahwa yang lebih penting dari
keterampilan dan pengetahuan sesorang adalah akhlak dan budi luhur.
Lantas bagaimana masa depan pendidikan kita? Di mana dan
mau kemana perjalanan proses belajar generasi penerus bangsa. Setiap orang
tentu mempunyai pilihan masing-masing, yang perlu dipahami oleh setiap
pembelajar bahwa tugas kita tidak untuk sukses, melainkan untuk terus belajar.
Tugas kita juga bukan untuk pintar, melainkan untuk terus belajar. Belajar
mencintai apa yang sedang dipelajari, belajar menekuni apa yang disukai dan
belajar memahami apa yang tidak dikuasai. Setiap orang adalah guru, setiap
kesempatan adalah waktu belajar dan setiap tempat adalah ruang rindu
persahabatan, menyusun pola kebermanfaatan.
0 Comments