Bhur Bvah
Swaha. Tat Savitur Varenyam. Bhargo Devasya Dimahi. Dhiyo Yo Nah Paraco Dayat. Bhur
Bvah Swaha. Tat Savitur Varenyam. Bhargo Devasya Dimahi. Dhiyo Yo Nah Paraco
Dayat. Bhur Bvah Swaha. Tat Savitur Varenyam. Bhargo Devasya Dimahi. Dhiyo Yo
Nah Paraco Dayat.
Sayup-sayup
terdengar suara gamelan menyatu dengan syair yang tak jelas apa maknanya. Dengan
baju yang basah kuyup, seorang wanita berjalan gontai menjauhi bibir pantai. Langit
mulai tampak kuning kemerahan, pertanda hari mulai senja. Wanita itu
menyaksikan keadaan sekitarnya, mulai banyak lelaki berbadan kekar mendekati
bibir bantai dengan membawa jaring di
punggungnya. Ketika berpapasan, setiap lelaki yang melewatinya selalu
tersenyum. Senyuman seakan menjadi identitas pulau ini.
Wanita
tersebut berjalan menghampiri sebuah warung. Tanpa pikir panjang, dia berusaha
mencari uang di kantong celananya untuk ditukar dengan beberapa makanan. Namun,
uang yang dikeluarkannya sudah tidak laku lagi. Mbok Inem pemilik warung pun
bertanya kepadanya,”Sampeyan saking pundi, Nak?” Wanita itu hanya
tertegun dengan suara Mbok Inem, berusaha memahami apa arti suara itu. Dia
berbalik arah dan menunjuk jauh ke arah laut. Pikirannya pun kembali ke
peristiwa yang terakhir kali dia alami.
Ingatannya
membayangkan peristiwa terakhir bersama teman-temannya. Berenang, menikmati
terumbu karang yang sangat indah di sekitar Pulau Karang, pulau kecil yang
terbentuk akibat pertemuan arus laut. Puas berenang, dia memutuskan untuk
menepi menikmati matahari yang tampak muram.
“Nggrrrrrrrkkkkkkkkk”
mendengkur. Ketika terbangun dia menyaksikan kondisi sekitar, di mana
teman-teman? Langit mulai senja, tak ada suara manusia, hening dan perahu yang
membawanya ke Pulau Karang pun menghilang. “Toloooooooong,” dia berteriak berulang kali. Sampai akhirnya dia lelah dan
menangis, mengingat kebiasaannya yang suka tidur sembarangan, cerewat dan
menjahili teman-temannya. Dia menenangkan diri dan berusaha menyenandungkan tembang
rumeksa ing wengi karena hari mulai gelap. Tembang yang
diajarkan oleh ayahnya, sebagai perlindungan bagi seorang militer. Tembang karya
Sunan Kalijaga yang selalu disenandungkun Jenderal Besar Panglima Sudirman
ketika dalam kondisi terdesak.
“Nak,
monggo dahar rumiyin!” suara Mbok Inem memecahkan lamunannya. Masih tetap
tidak berbicara, wanita itu melahap makanan yang disiapkan Mbok Inem. Dari
belakang meja, Mbok Inem memperhatikan wanita itu dan bertanya dalam hati,”Anak
ini memang tidak bisa berbicara atau tidak mengerti dengan bahasa yang saya
gunakan?”.
Bertubuh
tinggi, berkulit putih, dan berambut pirang. Sepertinya bukan dari warga daerah
sekitar sini. Selepas makan, dia diantar menuju rumah Mbok Inem untuk membersihkan
tubuh dan berganti pakaian. Sepasang jarik dengan motif yang cukup rumit
dikenakannya. Kemudian bersama putri Mbok Inem mengikuti pengajian. “Kenalkan
nama saya Prya.” Putri Mbok Inem memperkenalkan diri sambil menjulurkan tangannya.
Namun, wanita itu tertawa terbahak-bahak mendengarkan nama putri Mbok Inem.
Dalam pemahamannya Prya adalah sebutan bagi laki-laki. Menyaksikan hal
tersebut, Mbok Inem dan Prya bahagia karena wanita itu akhirnya bisa tertawa.
Prya
seringkali mengajaknya berbicara, namun respon wanita itu hanya satu, entung.
Setiap pertanyaan selalu dijawab dengan jawaban yang sama. Prya pun
akhirnya memanggilnya dengan entung. Persahabat mereka semakin erat dan si entung pun mulai
bisa berbicara. Karena kebersamaannya, orang-orang sekitar menamainya Pryntung.
Mereka
berdua berjalan menuju tempat pengajian. Si entung mulai tertarik dengan
aktivitas Prya. Entung pun berniat mengikutinya. Mereka berdua berjalan menuju
tempat pengajian. Ketika memasuki ruangan yang beralaskan kayu, seisi ruangan
tampak memperhatikan entung. Siapa orang ini. Ki Prabu selaku guru ngaji pun
memperkenalkan siapa si entung ini. Setelah perkenalan, pelajaran pun dimulai
seperti biasa. Ki Prabu memulai pelajarannya dengan membaca Al-Fatihah. Materi
pada sore hari ini adalah air suci.
Ki Prabu
menjelaskan bagaimana air akan mengristal ketika dibacakan doa. Maka, para
hadirin dipandu Ki Prabu meminum air suci masing-masing setelah dibacakan
al-Fatihah. Ki Prabu menceritakan bahwa sebelum Demak Bintoro berkuasa
al-Fatihah yang menjadi induk Al-Quran mempunyai kesamaan makna dengan Mantra
Gayatri. Ki Prabu juga menambahkan bahwa sebenarnya kekuasaan Demak tidak diperoleh
dengan penghancuran Majapahit yang dipimpin Prabu Brawijaya oleh Raden Patah
penguasa Demak. Itu adalah kisah yang nggak pernah terjadi, cerita yang dibuat
oleh bangsa asing untuk melemahkan pengaruh Demak. Bissmillahirrahmanirrahim……..
Setelah pengajian usai, semua kembali ke tempat masing-masing. Prya dan
Entung pun pulang. Kemudian makan bersama Mbok Inem yang sedari tadi memasak.
Air suci sisa pengajian pun menjadi pelepas dahaga kedua sejoli ini.
Ketika
malam mencapai sepertiganya, Mbok Inem dan Prya mengawali aktivitasnya
sehari-hari. Sementara Entung masih terlelap dalam selimutnya. Lantunan ayat
suci Al-Quran disenandungkan. Entung terbangun ketika Mbok Inem dan Prya
mengulang-ulang ayat yang sama. Dari belakang Entung bertanya,”Apa yang sedang
kalian baca?”
Mbok
Inem dan Prya tampak kaget dengan suara itu. Dengan segera mereka menatap Entung
dengan berkaca-kaca kemudian memeluknya. Waktu seakan berhenti dan mereka pun
bergembira. Kemudian Mbok Inem menjelaskan bahwa yang kita baca adalah surah
Al-Kahfi dan ayat yang diulang-ulang adalah ayat kedua sebelum akhir yang
artinya: Katakanlah! Sekiranya lautab menjadi tinta untuk menulis
kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis ditulis
kalimat-kalimatnya.
“Tadi
malam sebelum tidur, saya juga mendengar Mbok Inem membaca Al-Quran bersama
orang banyak. Apa yang dibaca?” balas Entung. “Ooooowh, itu adalah surah Yasin, surah memohon kepastian. Ini
pengalaman seorang sufi Andalusia yang bernama Muhyiddin Ibnu ‘Arabi, ketika
mengalami sakit yang tidak ada harapan untuk sembuh, ayahnya membacakan Surah
Yasin untuknya. Keesokan harinya penyakit tersebut berangsur-angsur sembuh dan
untuk mengingat ayahnya yang telah berpulang, Ibnu Arabi selalu membaca surah
Yasin untuk ayahnya.” Jawab Mbok Inem.
“Pembacaan
surah Yasin merupakan amalan sufi. Pada zaman dahulu, kaum sufi selalu
berseberangan dengan fuqaha, namun berhasil didamaikan oleh Al-Ghazali bahwa syariat
dan hakikat haruslah berjalan bersama. Para fuqaha tidak bisa menerimanya dan
menganggap al-Ghazali dan kaum sufi sebagai orang gila. Oleh karena itu jangan
heran jika tidak semua muslim membaca surah Yasin.” Lajut Mbok Inem.
Menjelang
siang Prya dan Entung pergi ke sanggar untuk belajar memainkan wayang. Naskah
lakon yang diperankan kali ini berjudul “Peryntung” sebuah kisah panjang
perjalanan Cheven dalam melawan Jayaningrat, trek tek tek tek tek. Kisah
dimulai, Prya dan Entung mulai beraksi.
“Hey,
Mas Joko, siapakah cinta pertamamu?”, Prya memulai aksinya.
“Perlu
kubantu mensyenin? Biar yang dipertuan agung menjawab keraguanmu.” Entung
menunjukkan kebolehannya.
“Jikalaupun
jawaban baginda Sri dipertuan agung ternyata ‘iya’, sungguh berat mengatakan
bahwasanya aku khawatir tak mampu merasa cukup berbuat untuk menunaikan bakti
dan membalas cintanya, wahai Saudariku.”
“Sungguh
aku selama ini silau atas dosamu, ternyata engkau orang yang sangat bijak, Saudariku.”
“Makanya
semingguan ini hamba tidak ganti baju lain selain hitam ini, khawatir pesona
dan silauku membuat orang mengalami mata minus dan silinder yang berlebihan.”
“Sungguh
aku kagum atas semua pemikiranmu.”
“Aku pun
juga terheran-heran sendiri.”
“Apakah
Mas Joko titisan Jayaningrat penulis Babad Kraton itu?”
“Yaaa,
Mas Joko yang kelak akan mempersunting
Hayu Wisnuwardhani Puntadewi.”
“Kerajaan
putri akan ditaklukkan oleh Sang Prabu. Penguasa yang kesaktiannya tidak akan
tertandingi, harga diri dan kehormatannya adalah kesatuan santri, tidak akan
terkiks oleh khilafah palsu pemberontak negara.”
“Trek
tek tek tek tek tek.”
“Wahai
saudariku, selama persatuan dan kesatuan kita terjaga, niscaya kita
tidak akan runtuh di tangan Sang Prabu.”
“Secepat
ini baginda kita berganti, dari Hilmi ke Mas Joko. Apakah saudariku yakin
baginda Hilmi akan jatuh selanjutnya ke tangan-tangan suci seperti sebelumnya?”
“Wahai
saudariku, sungguh aku tak paham mengapa kau sebut sang baginda di lapak ini.
Apakah engjau salah memasuki kerajaan?”
“Iya
sepertinya salah masuk zona kekuasaan. Lantas apakah saya harus membalik
celana, wahai dayangku?”
“Sang
ratu pun memerintahkan agar engkau segera pergi ke dalam hutan, berteduh di
bawah pohon lain yang sekiranya paparazzi memasukkan gambarku ke majalah kota
akan bagus gitu di mata netizen.”
“Janganlah
kau melihat segala sesuatu dari sisi estetika, tapi pikirkan manfaat yang kau
dapat. Pohon pisang akan mengajarkanmu ilmu tangkis manki. Sungguh kelak ilmu
itu akan berguna melindungi harta benda kerajaanmu.”
“Trenng
teng teng teng teeeeng”
Akankah
Cheven akan memenangkan pertarungan melawan Jayaningrat? Siapakah Sang Cheven? Sosok
yang diidolakan itu, namun membuat pusing banyak orang. Chevening. Memperjuangkanmu
hingga menunda penyempurnaan separuh imanmu. Demi mendapatkan tiket menuju
Kerajaan Tanah Eng, Sang Avatar itu? Bukankah telah tertulis bahwa engkau
sedang berdiri di tanah surga dengan seperangkat pengendalian di dalam kitab-kitab suci?
Si Prya tiba-tiba tak sadarkan diri. Ketika terbangun suaranya hilang. Namanya pun tak tahu. Apa yang terjadi? Mulutnya hanya bisa bekomat-kamit dengan satu kata, chevening.
0 Comments