Setiap orang
tentu mempunyai keinginan untuk melanjutkan pendidikan. Meskipun sebenarnya
pendidikan bisa didapatkan di mana saja dan kapan saja. Yang terpenting adalah
bagaimana keinginan tersebut berubah menjadi kesadaran bahwa belajar merupakan
kewajiban dari buaian hingga liang lahat. Secara kultural, pendidikan terbaik
ada di tengah-tengah masyarakat. Sedangkan secara structural ada
tingkatan-tingkatan yang harus dilalui setiap manusia berupa ujian atau pembuatan
karya ilmiah. Jika belum mendapatkan kesempatan untuk melalui proses pendidikan
secara structural, maka akan lebih baik untuk belajar menulis ilmiah. Al-Ghazali
dalam kitab Ihya’ Ulumuddin menjelaskan, di zaman terbukanya rahasia seperti sekarang
ini, pengetahuan harus diimbangi dengan pola komunikasi yang baik. Pengetahuan
bisa didapatkan di mana saja, tetapi yang paling menentukan adalah komunikasi.
Salah satu jalan untuk
mempermudah jalan mendapatkan pendidikan structural adalah dengan mendapatkan
beasiswa. Berbagai beasiswa ditawarkan, baik yang bersumber dari dalam maupun
luar negeri. Yang perlu diingat adalah tidak ada makan siang gratis.
Penyedia dana beasiswa mempunyai maksud dan tujuan tertentu. Pihak asing
memberikan sesuatu untuk mendapatkan umpan balik. Sedangkan penyedia dana yang
bersumber dari dalam negeri tujuan utamanya adalah membangun Indonesia ke arah
yang lebih baik.
Sesuai dengan
judul artikel ini, saya akan mengulas tiga pertanyaan pamungkas penyedia dana
pendidikan yang bertujuan untuk membangun Indonesia. Pertanyaan-pertanyaan
tersebut sebagai tahapan akhir seleksi dari sekian banyak tahapan. Namun, pertanyaan-pertanyaan
ini sebenarnya tidak hanya ketika proses beasiswa saja, tetapi juga perekrutan pejabat
negara seperti CPNS, anggota kerohanian Tentara Nasional Indonesia, dll.
Pertanyaan tersebut diantaranya:
Siapa Ustadz
Favoritmu? / Apa buku yang paling kamu sukai?
Setiap orang
tentu mempunyai jawaban masing-masing. Namun, untuk menjawab pertanyaan ini
akan lebih baik jika tidak menyebutkan orang-orang yang dikenal kontroversial
di tengah-tengah masyarakat, atau pimpinan organisasi tertentu dimana
organisasi tersebut membuat kegaduhan di masyarakat. Intinya, masyarakat adalah
koentji. Jika masih kurang, bisa datangi kantor kepolisian terdekat untuk
menanyakan sosok-sosok bermasalah atau dalam pengawasan intelejen.
Bagaimana jika
Indonesia dijadikan Negara Khilafah?
Jika tak mau
berbelit-belit, jawab saja NKRI harga mati. Bisa dikembangkan dengan cerita
pengalaman pribadi menghadapi gerakan-gerakan transnasional yang meresahkan
masyarakat. Awali atau akhiri dengan pernyataan pencetus Resolusi Jihad sebagai
cikal bakal pertempuran 10 November,”Agama dan Nasionalisme adalah dua kutub
yang tidak berseberangan, Nasionalisme bagian dari agama dan keduanya saling
menguatkan.” Rasulullah tidak pernah mewajibkan mendirikan Negara Islam, tapi
memberikan tauladan memimpin negeri kedamaian.
Bagaimana jika
pemerintah melegalkan LGBT?
Tidak Sepakat.
Karena dalam berbagai kitab suci agama-agama, tidak satupun yang memperbolehkan
hubungan sesame jenis. Baru kemudian ceritakan secara panjang lebar
kisah-kisahnya dalam kitab suci masing-masing agama. Jika mempunyai latar
belakang kesehatan, bisa dilengkapi dengan penelitian-penelitian sains.
"Selama kita tidak
pernah mengikuti organisasi-organisasi terlarang dan tidak mengikuti sosok
kontroversial yang meresahkan masyarakat, akan lancar." Demikian pesan salah seorang pimpinan
kerohanian Tentara Nasional Indonesia yang bermarkas di Malang. Dan menjadi
diri sendiri adalah koentji. Semoga sukses! Setelah membaca tulisan ini
berjanjilah untuk belajar secara terus-menerus baik secara structural maupun kultural.
0 Comments