Moses ben Maimon, dikenal sebagai Rambam atau Maimonides, Rabi Yahudi yang menjabat sebagai dokter pribadi Sultan Saladin (Salahuddin al-'Ayyubi, tokoh Perang Salib terkenal yang menjadi lawan --sekaligus sahabat yang dihormati oleh-- raja Richard I 'The Lionhearted/Si Hati Singa' dari Inggris), menulis untuk mereka yang telah menggeluti ilmu dan filsafat dan berargumen bahwa ilmu/filsafat tidak bertentangan dengan agama.

 

Karya berbahasa Arab berjudul دلالة الحائرين‎ oleh pemikir besar yang di Barat dipanggil Moses Maimonides ini merupakan sumbangsih bagi dunia filsafat yang saat itu masih dilanda kegelapan (abad pertengahan Eropa). Karya-karya besarnya yang lain bertema "Pelajaran Taurat" untuk agamanya sendiri sangat ensiklopedik, rinci dan rasional, yang ia klaim sebagai 'cukup lengkap hingga seseorang tak memerlukan kitab lain' dipelajari hingga saat ini.

 

Maimonides lahir di Cordova, Spanyol, pada tahun 1138. Dia lahir dari keluarga terkenal, yang sangat otoritatif di lingkungan Yahudi di Andalusia. Maimonides belajar beragam sumber intelektual Yahudi, semisal MishnahTalmud, dan Midrashdari ayahandanya, Maimoen, seorang ahli hukum Yahudi. Sejak kecil, Maimonides juga belajar lintas ilmu: astronomi, pengobatan, matematika, filsafat, dan tentu saja mulai belajar bahasa.

 

Pada saat itu, kawasan Andalusia di bawah kepemimpinan politik dari pemimpin muslim. Tentu saja, saat itu, terjadi interaksi yang harmonis antara orang muslim, Yahudi dan Nasrani di Andalusia, masa kegemilangan peradaban muslim. Namun, pada tahun 1148, terjadi kekacauan politik, hingga keluarga Maimonides mengungsi dari Cordova, menetap di Fez, Maroko, sejak 1160.

 

Penguasa Al-Mohad (Al-Muwahhidun), yang berkuasa di kawasan Afrika Utara, mengekspansi wilayah kekuasaan ke kawasan Maroko dan kemudian Andalusia. Abu Ya’qub Yusuf sebagai penguasa pertama Dinasti Muwahhidun, dari tahun 1153-1184.

Sayangnya, kebijakan politik al-Mohad di Andalusia, tidak terlalu bijak dalam keragaman agama. Abu Ya’qub Yusuf memerintah orang-orang Yahudi untuk memeluk Islam, sebagai kebijakan politik.

 

Di tengah kekacauan politik itu, keluarga Maimonides memilih pindah untuk mencari ketentraman. Maimonides kemudian berkelana menyebarkan gagasan. Ia bersama keluarganya pindah ke Mesir pada tahun 1166, dan kemudian menetap di Fustat, di kawasan Kairo.

 

Ia mulai dikenal sebagai pemikir penting yang mayshur di lingkungan Yahudi dan Islam, sejak mempublikasikan Misneh Torah. Kitab ini menjadi karya penting Maimonides, yang membahas tentang hukum dan etika Yahudi, yang bersumber dari kitab suci Taurat. Pada satu bagian di Kitab pertama, “Kitab Pengetahuan”, yang membahas empat landasan dari filsafat Yahudi, Maimonides mengulas tentang moralitas, pentingnya mengkaji kitab suci, hukum penyembahan, serta pentingnya taubat.

 

Maimonides juga menyebut tentang peran penting Messiah, pada kitab keempat belas, tentang hukum. Menurutnya, Messiah atau penyelamat akan muncul di dunia, menata kedaulatan bagi Israel sebagai negara orang Yahudi, membangun perdamaian dengan negara-negara lain, serta memimpin kajian dan riset-riset strategis di bidang sains dan ilmu pengetahuan.

 

Di Mesir, Maimonides mengalami problem ekonomi, setelah ayahandanya meninggal. Ia kemudian menjadi tulang punggung keluarga, dan kemudian memperdalam profesi sebagai ahli pengobatan. Keahliannya sebagai ahli pengobatan, menjadikannya cepat terkenal di kawasan Mesir. Berkat keahlian ini, Maimonides diangkat sebagai penasihat kesehatan Sultan Saladin, pemimpin militer penting dari dunia muslim. Keahliannya di bidang pengobatan, menjadikan Maimonides sebagai rujukan untuk masalah kesehatan bagi warga kawasan Fustat, serta menjadi pengajar dan ahli di sebuah rumah sakit.

 

Maimonides sudah menulis sejak usia muda, 16 tahun. Pada usia itu, ia mempublikasikan karya dalam bahasa Yahudi, Millot ha-Higgayon(karya tentang Terminologi Logika), yakni sebuah karya yang membahas tentang bermacam terminologi teknis di bidang logika dan metafisika. Karya lain yang ia tulis pada usia remaja, yakni Ma’amarha’ibur, esai tentang Kalender.

 

Pondasi intelektual Maimonides yang kuat, mendorong dia menghasilkan karya penting dalam tradisi pengetahuan Yahudi, Islam dan Nasrani. Pada usia 23 tahun, ia menulis Kitab al-Siraj, sebuah komenter terhadap Mishna. Dalam tradisi Yahudi, Mishna, atau disebut juga Mishnah atau Mishnayot, kompilasi hukum Yahudi. Dalam studi tentang hukum, Maimonides juga menulis beberapa karya lain yang lebih ringkas dari Mishneh, yakni: Sefer ha-mizwot(Kitab tentang Ajaran) dan Hilkhot ha-Yerushalmi(Hukum-Hukum Jerusalem), keduanya ditulis dalam bahasa Hebrew/Ibrani.

 

Karya penting Maimonides yang membahas filsafat agama, Dalalat al-haairin(Moreh nevukim), ditulis sejak tahun 1176, yang menghabiskan waktu sekitar 15 tahun. Karya ini mengkaji secara rasional nilai-nilai Yahudi, yang meliputi sains, filsafat dan agama. Kitab ini awalnya ditulis dalam bahasa Arab, dan kemudian dikirim ke muridnya, Yusuf bin Aknin (Joseph ibnu Aknin), yang kemudian diterjemahkan dalam bahasa Ibrani, Latin dan beberapa bahasa Eropa.

 

Karya-karya Maimonides, terutama dalam bidang filsafat dan logika, mempengaruhi intelektual besar setelahnya, semisal Benedict de Spinoza (1632-1677) dan GW Leibniz (1646-1716). Karya penting Maimonides serta pengabdian hidupnya, juga mempengaruhi karya-karya intelektual yang membangun peradaban Islam. Di samping, ia juga menggali pemikiran-pemikiran dari Ibnu Sina, Alfarabi, dan Ibn-Rusyd, dalam merekonstruksi gagasan orisinalnya.

 

Di kalangan intelektual Yahudi, Moses ibnu Maimon juga diyakini pindah agama, menjadi muslim. Hal ini terjadi, ketika Dinasi Al-Muwahhidun menguasai Maroko dan Spanyol. Akan tetapi, terjadi perdebatan apakah ia meneruskan menjadi muslim atau kembali memeluk Yahudi. Namun, yang jelas, Moses ibn Maimon, memiliki pengaruh penting dalam tradisi intelektual Yahudi dan Islam, dalam disiplin filsafat, logika dan ilmu pengobatan.

 

Kesempurnaan Manusia

Maimonides menawarkan beberapa resep untuk mencapai kesempurnaan diri. Ia sangat menekankan pentingnya bagi orang untuk menjauhkan dirinya dari masyarakat, atau apa yang disebutnya sebagai isolasi sosial (social isolation). Ia juga menekankan pentingnya orang untuk melepaskan diri dari benda-benda inderawi ataupun material. Dengan mencapai kesempurnaan orang akan dapat semakin dekat dengan Tuhan. Persentuhan dengan materi membuat manusia jauh dari Tuhan. Oleh karena itu persentuhan dengan materi, dalam arti bekerja, hanya dilakukan seperlunya saja untuk membantu manusia memenuhi kebutuhannya.

 

Dalam hal ini Maimonides memiliki pandangan yang unik tentang konsep manusia dan konsep kerja. Baginya kedua hal itu tidak bisa dipisahkan. Untuk mencapai kesempurnaan setiap orang haruslah “memandang Tuhan sambil ia beraktivitas dengan tubuhnya.” Artinya sambil ia bekerja dengan tubuh untuk memenuhi kebutuhan tubuhnya, ia tetap terhubung dengan Tuhan secara intelektual. Ini adalah cara berpikir seorang pemimpin. Para pemimpin menjaga terus keseimbangan dua bentuk identitas di dalam kehidupannya. Di satu sisi ia tetap bekerja untuk memenuhi kebutuhan diri dan keluarganya. Dan di sisi lain, ia tetap terhubung dengan Tuhan melalui akal budinya, bahkan ketika tubuhnya bekerja.

 

Orang perlu mati secara fisik, sehingga jiwanya bisa bertemu dan menyentuh Tuhan. Hal ini hanya dapat dicapai, jika orang bersedia meluangkan waktu dan pikirannya untuk melakukan kontemplasi intelektual. Kontemplasi semacam ini sebenarnya bukan hanya kegiatan akal budi semata, tetapi terlebih merupakan tindakan cinta yang penuh hasrat (passionate love). Maimonides menyebutnya sebagai “ciuman Tuhan” (God’s kiss). Orang yang mengalami kematian tubuh sebenarnya tidak mati dalam arti sebenarnya. Sebaliknya ia justru diselamatkan dari kematian, dan mengalami hidup yang sebenarnya. Ia akan mengalami kenikmatan dan kebahagiaan sejati, yang sangat berbeda dari kebahagiaan badaniah yang sifatnya sementara.

 

Dengan demikian dapatlah disimpulkan, bahwa bagi Maimonides, kesempurnaan tertinggi manusia adalah kesempurnaan intelektual. Kesempurnaan ini tidak dapat diperoleh secara kolektif, melainkan hanya secara individual. Dengan kata lain hanya individulah yang bisa memperolehnya, berkat usahanya sendiri. Hukum-hukum di dalam tradisi Yahudi mengajarkan orang untuk mencapai kesempurnaan etis. Kesempurnaan etis ini bisa diperoleh, jika manusia hidup aktif dalam masyarakat. Namun kesempurnaan etis itu bukanlah tujuan, melainkan hanya alat untuk mencapai kesempurnaan intelektual. Tujuan hidup manusia menurut Maimonides, sebagaimana ditafsirkan oleh Kreisel, adalah untuk mengenali dan semakin serupa dengan Tuhan. Itu semua dapat terjadi, jika manusia menjalankan hukum-hukum Tuhan. Secara singkat Kreisel menjabarkan dua inti hukum Yahudi, yakni keadilan dan kebaikan hati.

 

Tujuan hidup manusia adalah mencapai kesempurnaan, dan kesempurnaan itu hanya dapat dicapai, jika manusia semakin menyerupai sifat-sifat Tuhan yang baik hati sekaligus adil. Kesempurnaan intelektual juga merupakan perwujudan dari Tuhan. Maka usaha manusia untuk mendekati Tuhan dan untuk mencapai kesempurnaan intelektual adalah dua hal yang saling terkait. Dapat pula disimpulkan bahwa manusia yang sempurna mampu memancarkan keadilan dan kebaikan hati Tuhan di dalam aktivitas kesehariannya menghadapi masalah-masalah dunia. Manusia yang sempurna mampu menjalankan kehidupan dunia yang imanen dengan keutamaan ilahi yang transenden.


Hikayat Banjar memberikan banyak inspirasi bagi banyak orang. Hal ini bisa dilihat dari bagaimana upaya mereka dalam mengulas naskah. Upaya tersebut ditandai dengan adanya beragam penelitian dengan judul yang berbeda. Tentu, setiap penelitian mempunyai kelebihan masing-masing, kelebihan tersebut menjadi pelengkap antara satu penelitian dengan penelitian lain sehingga memberikan wawasan yang komprehensif bagi generasi selanjutnya. Namun, apa yang membuat mereka tertarik mengungkap naskah ini? Tercatat sejak awal abad ke-19, cerita ini menarik perhatian sarjana-sarjana Eropa.

Objectives & Related Variables
Hikayat Banjar bertransformasi dalam berbagai judul penelitian. Bermula dari Sir Stamford Raffles yang meminta salinan naskah ini kepada Sultan Pontianak, ternyata naskah milik sultan juga merupakan salinan yang didapat dari kota Waringin. Setelah proses penyalinan selesai, naskah diberikan kepada John Crawfurd  selaku Residen di Yogyakarta. Karena Raffles telah kembali ke Eropa, J. Crawfurd menyimpannya untuk dirinya sendiri. Pada tahun 1845, koleksi manuskrip miliknya dijual ke Museum British London.

Hikayat Banjar dipertuturkan hingga sekarang merujuk pada dua sumber, yaitu resensi I dan resensi II. Dua sumber tersebut diturunkan dari 8 naskah koleksi Indonesia dan 12 naskah koleksi Eropa. Teks yang disunting dalam Hikayat Bandjar merupakan Resensi I yang berisi 9 naskah yang berusaha mmbandingkan varian dan karakteristiknya.

Penerbitan pertama yang membincangkan secara terperinci ialah Contibution to the History of Borneo (Sumbangan kepada Sejarah Borneo) oleh J. Hageman tahun 1857. Merujuk pada Resensi I dengan beberapa perbedaan tanggal dan penyebutan Lambung Mangkurat sebagai mangkubumi. Penerbitan kedua tahun 1860 oleh A. van der Ven dengan judul Notes on the Realm of Bandjarmasin (Catatan Tentang Kerajaan Bandjarmasin). Mengandung Resensi II dengan peta Kalimantan Tenggara.

Penerbitan ketiga oleh  J. Hageman pada tahun 1861 dengan judul Historical Notes on Southern Borneo (Nota-nota Sejarah Tentang Kalimantan Selatan). Memberikan penjelasan tentang silsilah keturunan dinasti Banjar. Selanjutnya, tahun 1877 FSA de Clerq menerbitkan Earliest History of Bandjarmasin(Sejarah Terawal Bandjarmasin). Kemudian tahun 1899, J.J. Meyer menerbitkan Contibution to our Knowledge of the History of the former Realm of Bandjar (Sumbangan kepada Pengetahuan Kita tentang Sejarah Bekas Kerajaan Banjar). Merupakan gabungan dari unsur-unsur Resensi I dan II dan beragam tradisi lisan. 

Findings
Temuan terakhir hingga kini disertasi tentang The Chronicle of Bandjarmasin oleh A.A. Cense tahun 1928. Menjelaskan ringkasan secara terperinci kedua versi utama hikayat tersebut. Kedua versi utama Hikayat Bandjar diperbandingkan untuk pertama kali.

Methodology
Melalui pendetan historis, membandingkan antara Resensi I dan Resensi II dengan cerita-cerita Melayu dan Jawa lain, diantaranya: Salasilah Kutai, Cerita Sukadana, Sejarah Melayu, Hikayat Marong Mahawangsa, Hikayat Raja-Raja Pasai, Hikayat Acheh.

Problem
Peneliti tidak menentukan hubungan yang tepat antara kedua versi ini, tetapi setidaknya telah memperlihatkan kepada semua pelajar. Maka, penelitian selanjutnya perlu kiranya memperhatikan hubungan yang tepat antara kedua versi naskah.

Research Question
1.   Bagaimana keadaan manuskrip?
2.   Apakah bahasa teks merupakan satu bahasa yang kabur?
3.   Mengapa teks genre ini kurang apresiasi?
Seorang filsuf Perancis, Blaise Pascal pernah menyatakan bahwa semua masalah kemanusiaan berasal dari ketidakmampuan manusia untuk duduk sendirian dalam sebuah ruang. Ketidakmampuan tersebut muncul dari kesadaran akan keterbatasan gerak dalam kebebasan bertindak. Menciptakan diskursus melalui asumsi-asumsi masyarakat yang membangun konsep suatu kultur, sehingga mempengaruhi perilaku dan kebiasaan masyarakat tertentu. 

Dalam Madness and Civilization, Michel Foucault mengembangkan konsep diskursus dalam menyingkap perubahan suatu masalah. Kegilaan di abad pertengahan dianggap memiliki kebijaksanaan batiniah, sedangkan pada abad ke-20 orang gila dianggap sakit sehingga membutuhkan perawatan. Kini di era milenial, ketika jarak dipandang sebelah mata dan ruang dianggap tak lagi bermakna, corona hadir menciptakan diskursus. Jarak menjadi sangat penting dan ruang menjadi tantangan.

Istilah corona bemakna mahkota, diambil dari bentuk fisik virus yang menyerupai mahkota. Coronavirus Disease2019 atau Covid-19 dikenal sebagai virus yang muncul pertama kali di Wuhan. Sejak 11 Maret 2020 Organisasi Kesehatan Dunia, World Health Organization (WHO), menetapkan keadaan pandemic akibat penyebaran virus ini yang meluas ke berbagai negara. Pandemic berasal dari Bahasa Yunani, pan yang berarti semua dan demos yang bermakna orang. Status sebuah penyakit menular akan ditingkatkan dari epidemic menjadi pandemic ketika penyebarannya sudah meluas melewati batas negara hingga benua dan dampak mematikannya membahayakan manusia dalam jumlah tak terhingga.

Akibat dari meluasnya virus ini, beberapa negara menerapkan isolasi ataulockdown agar penyebarannya tidak semakin meluas dan membahayakan manusia. Jalanan menjadi sepi, disinfektan mencegah infeksi dan manusia mengisolasi diri. Hal tersebut membuat udara bersih dari polusi dan air kanal terlihat jernih, bumi seakan terlahir kembali. Corona dianggap virus mematikan bagi manusia, namun menjadi vaksin efektif dalam membersihkan bumi.

Status pandemic bukan hal baru dalam sejarah umat manusia, sudah berulang kali situasi tersebut ada. Michael W. Dols dalam Plague in Early Islamic History, mengulas tiga pandemic besar yang menimpa umat manusia, yaitu: Wabah Yustinianus (Plague of Justinian) 541-542 M, Maut Hitam (Black Death)1347 – 1351 M dan Wabah Bombay (Bombay Plague)1896 – 1897 M. 

Ruang Beragama 
Pemerintah melalui kementerian, lembaga dan aksi berbagai pihak berusaha menanggulangi dampak Covid-19 sesuai standar kesehatan dunia. Tenaga medis sebagai garda terdepan dalam penanganan wabah ini masih berupaya menemukan vaksin yang dapat mengobati Covid-19. Otoritas kesehatan menghimbau agar masyarakat melakukan isolasi diri agar terhindar dari infeksi. Para dokter sepakat bahwa pola penularan Covid-19 ini adalah melalui kontak antar-orang baik secara langsung atau melalui media perantara. 

Oleh karena itu, pemerintah menyeru agar belajar dari rumah, bekerja dari rumah dan ibadah dari rumah selama 14 hari sampai krisis wabah mereda. Instusi pendidikan mengganti segala aktivitas belajar-mengajar secara online, otoritas perusahaan menjaga jarak pekerjanya dan Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa nomor 14 tahun 2020 tentang “Penyelenggaraan Ibadah dalam Situasi Terjadi Wabah Covid-19”.  Dalam fatwa itu MUI menyerukan untuk meniadakan salat Jumat dan ibadah berjamaah lainnya di masjid yang terletak di zona merah Covid-19 dan menggantinya dengan salat Zuhur di rumah masing-masing.

Terselip narasi dan aksi atas nama agama yang justru kontra produktif dengan logika dan edukasi para ahli medis berikan. ‘Saya lebih takut pada Tuhan, kalau sudah takdir-Nya di manapun akan mati’. Jangankan mematuhinya, sebagian kelompok kecil masyarakat justru menyeru menggalakkan  gerakan salat berjamaah meski di tengah wabah. Di salah satu masjid, salat Jumat ditiadakan, tapi sekelompok kecil masyarakat tersebut tetap ke masjid untuk melakukan salat zuhur yang melibatkan kerumunan.

Virus Corona pun dinarasikan sebagai konspirasi iblis, jin dan setan untuk menjerumuskan manusia. ‘Kami tidak takut corona, kami lebih takut pada Tuhan’, ungkapan ini berkali-kali digelorakan. Sepintas tampak semangat beragama, tapi sesungguhnya menjauhkan dari esensi agama, yakni memuliakan manusia dan mencegah tersebarnya virus.

Agama datang untuk kemaslahatan. Fatwa telah tersampaikan atas dasar kemaslahatan umat, akankah umat masih mempercayai seruan sekelompok kecil masyarakat yang tidak bertanggung jawab dan bertingkah tanpa dasar ilmu? Kemaslahatan dapat tegak dengan terlindungnya tiga aspek, dharuriyah, hajiyah dan tahsiniyh. Dalam aspek dharuriyah terkandung lima keniscayaan yang harus dipelihara, yaitu agama, jiwa, keturunan, harta dan kehormatan.

Mendahulukan agama tanpa mempertimbangkan kerusakan dan kehancuran semua dimensi dharuri yang lain tidak dapat dibenarkanPenghentian sementara kegiatan keagamaan yang melibatkan massa dapat dipertanggungjawabkan secara syar’i. Keputusan tersebut berimbas bukan hanya melindungi nyawa saja, tetapi juga keturunan, menjaga harta dan juga memelihara kehormatan kemanusiaan dan agama.

Ruang Masa Lalu
Bangsa Eropa pernah mengalami masa kelam akibat sikap fanatik sebagian umat beragama menyikapi pandemic The Black Death.Saat otoritas Eropa kehabisan ide dalam mengatasi wabah, masyarakat putus asa. Mereka mulai mengaitkan bahwa umat Yahudi adalah pembawa petaka, hingga Tuhan pun murka. Narasi ini berhasil memprovokasi kelompok ekstrem dalam menafsir agama. Hal ini senada dengan narasi ‘corona sebagai azab’ yang digaungkan untuk membenci kelompok, golongan, ras atau negara tertentu.

Sumber-sumber Arab sesungguhnya telah mencatat dengan baik bagaimana Nabi Muhammad SAW dan para sahabat menyikapi pandemic. Sebagaimana Umar bin Khattab yang kembali ke Madinah dan membatalkan kunjungannya ke Damaskus yang sedang diserang wabah. Nabi dan orang-orang suci tidak kemudian menantang wabah atas nama tauhid atau bersikap sembrono atas kebodohan ‘hanya takut pada Allah’
Filolog Oman Fathurrahman kemudian menjelaskan bagaimana Ibnu Hajar al-‘Asqalani menulis kitab Badzl al-Ma’un fi Fadhl al-Tha’un. Ia menjauhi sikap pasrah dan menyerah pada takdir Allah. Memperlakukan pandemic sebagai inspirasi dan menuangkan pandangan keber-agama-annya dalam bersikap secara rasional dalam menghadapi wabah. Karya tersebut dipersembahkan untuk mengingatkan sesama tentang wabah yang mematikan. Sekaligus tidak ingin kematian ketiga putrinya sia-sia, Fatimah, Aliyah dan Zin Khatun yang sedang hamil. Mereka menjadi martir bagi nyawa manusia lainnya.

Karya al-‘Asqalani ini telah ditahqiqoleh seorang filolog bernama Ahmad Ishom Abd al-Qadir al-Katib. Ia mengulas detil tentang definisi tha’un(wabah) termasuk Black Death di Eropa, baik secara metafisis maupun medis, jenis-jenisnya, cara menghindarinya, hukum syahid bagi korban dan yang paling penting bagaimana beragama tanpa mengabaikan kemanusiaan dalam menyikapi wabah.



Baca Juga: http://matagarudalpdp.org/2020/04/01/religious-spaces-in-covid-19-discourse/
Setiap detik merupakan perjalanan dan setiap perjalanan adalah pelajaran. Perjalanan bukan sekedar perpindahan tanpa arti, melainkan menjaga momentum hijrah dalam hati. Hijrah yang bermakna mempertahankan kebenaran walaupun satu ayat, maupun hijrah yang dimaknai taubat, yaitu berusaha menjadi lebih baik dalam setiap keadaan. Mengambil hikmah dalam setiap kejadian yang terkadang tersembunyi dalam budaya yang berbeda dan bahasa yang tak sama. Abu Hamid Al-Ghazali mengatakan bahwa ketika seseorang tidak menguasai bahasa, maka hilanglah separuh pengetahuan.

Melakukan perjalanan adalah cara sederhana untuk mengambil pelajaran. Berinteraksi dengan berbagai budaya dan bahasa yang berbeda. Apa yang telah tercipta merupakan hitam putih kehidupan. Tidak semua hitam tanpa potensi putih dan tidak semua putih tanpa potensi hitam. Hidup sebagai perjalanan menunggu antrian menghadap kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Perjalanan menghadap kepada Hyang Esa merupakan perjalanan yang tak bisa dijelaskan akal dan tak mampu didefinisakan oleh kata-kata, melainkan bisa dirasakan dan diimani dalam hati. Keterbatasan dan ketidakmampuan manusia diwujudkan dalam berbagai symbol dan ungkapan yang bermakna Maha Suci Allah: subhanallah, haleluyaalleluy. Perbedaan tidak untuk disamakan, namun perlu disatukan dalam Bhinneka Tunggal Ika. Sehingga tidak perlu berebut benar dengan saling menyalahkan, menang tanpa mengalahkan, tinggi tanpa merendahkan, baik tanpa menjelekkan, beriman tanpa mengafirkan dan ada tanpa meniadakan.

Pelajaran dalam Perjalanan
Berbagai perjalanan telah tertulis dalam lembar sejarah manusia. Perjalanan tersebut sebagai jalan keluar dalam menghadapi persoalan hidup dan menjadi hiburan dalam kesedihan. Perjalanan yang telah diyakini kebenarannya oleh sebagian kelompok, tidak meragukan apa yang telah diyakini dan tidak meyakinkan apa yang sedang diragu-ragukan. Yang pasti tidak akan ada manusia yang akan mengulangi perjalanan-perjalanan tersebut.

Perjalanan yang mengingatkan setiap manusia akan puisi Nitzsche: manusia yang mendekati Zarathustra. Langit adalah meja para dewa tempat dadu kahyangan dilontarkan. Hidup ibarat angkasa yang murni, terlepas dari jaring-jaring akal yang mematoknya dengan tujuan dan arah. Akal yang menghubungkan ke dalam hubungan kausalitas. Di angkasa yang telanjang murni bergerak dalam ketidakpastian.

Perjalanan Yudhistira ke kahyangan. Bermula ketika zaman Kaliyuga dan wafatnya Kresna, para Pandawa mengundurkan diri dari urusan duniawi. Meninggalkan tahta, harta dan sifat keterikatan untuk melakukan perjalanan terakhir mengelilingi Bharatawasha menuju puncak Himalaya. Dalam perjalanan menuju puncak, saudaranya berguguran hingga menyisakan Yudhistira dan seekor anjing. Perjalanan menuju kahyangan bersama Dewa Dharma menggunakan kereta Indra. Yudhistira menyaksikan saudara-saudaranya di neraka, sedangkan Kurawa berada di surga. Kondisi yang seakan-akan terbalik tersebut, sebagai ujian terakhir Yudhistira.

Nabi Musa membelah laut merah, berawal dari Bani Israil yang di bawah kekuasaan Firaun Mesir. Nabi Musa mendapatkan perintah Ilahi untuk keluar dari tanah Mesir di waktu malam bersama Bani Israil menuju tanah perjanjian. Perjalanan tersebut merupakan perlawanan terhadap Firaun atas kedzalimannya, ditandai dengan penyembelihan domba yang darahnya dicurahkan ke pintu-pintu rumah Bani Israil. Domba pada waktu itu dipercayai Firaun sebagai symbol dewa. Perjalanan Nabi Musa seakan terhenti di tepi Laut Merah, namun atas izin Allah lautan terbelah menjadi jalan tol setelah Nabi Musa memukulkan tongkatnya. Nabi Musa dan Bani Israil selamat sedangkan Firaun dan pasukannya tenggelam di Laut Merah.

Kenaikan Isa Al-Masih. Perjalanan yang sangat panjang dilalui oleh Nabi Isa. Kemunculannya sebagai Sang Penyelamat menjadi akhir perjalanan panjangnya, diharapkan kedatangannya oleh umat manusia. Namun, awal perjalanan tersebut membuat manusia berdebat akan sosok dirinya. Nabi Isa memang sosok misterius, ketika bayi mampu berbicara hingga menggemparkan umat, ketika dewasa mampu menghidupkan orang mati dan kenaikannya tak akan habis dibicarakan. 

Isra Miraj Nabi Muhammad. Perjalanan malam dari Masjid al-Harammenuju Masjid al-Aqsadilanjutkan menuju Sidratul Muntaha. Perjalanan yang dimulai dari dua hal dan menyisakan dua hal. Kematian sang paman yang merawatnya sejak kecil dan istri yang senantiasa mendukung dakwahnya tutup usia: Abu Thalib dan Khadijah. Kesedihan menyelimuti hari-hari Sang Nabi sampai Allah memperjalankan hamba-Nya di suatu malam. Perjalanan yang tak biasa dilakukan oleh manusia, sehingga hanya satu orang yang membenarkan perjalanan tersebut: Abdullah bin Abu Quhafah. Kesaksian yang menjadikan namanya dikenal sebagai As-Shiddiq. Buah dari perjalanan tersebut sebagai pondasi kebenaran: salat. Mencegah perbuatan keji dan munkar, baik ketika sendirian maupun dalam keramaian. 

Titik Temu Nyepi
Landasan dari keterhubungan manusia adalah adanya harapan. Harapan tersebut bergerak ke segala arah dan tak teratur. Maka agar harapan tersebut tercapai dan tidak saling berseberangan, perlu aturan-aturan yang mengatur jalannya harapan. Tidak jarang adanya aturan-aturan tersebut membuat manusia menahan diri sejenak. Dalam sejarah perkembangan manusia, banyak tertulis manusia-manusia yang bersusah payah menahan diri dengan caranya masing-masing.

Sidharta Gautama menenangkan diri dengan nyepi di bawah pohon Bodhi. Maria mengasingkan diri nyepi dari keramaian manusia ke Baitul Maqdis, Nabi Muhammad SAW beruzlah, nyepi di Goa Hira’ dan Ibnu Hajar al-Asqalani menahan diri dengan merenungkan tetesan air dalam kesepian. Beruntung siapa saja yang meluangkan waktu untuk nyepi seperti orang-orang terdahulu. Mengasingkan diri melakukan Catur Brata Penyepian: amati geni, amati lelanguan, amati pakaryan dan amati lelungan.

Nyepi ibarat spasi di antara barisan kata dalam kalimat. Nyepi adalah puasa, menahan diri sejenak untuk meraih kepuasan. Nyepi adalah jalan keluar untuk melangkah lebih jauh memaknai kehidupan, Bukan sebuah kebetulan kata puasa berdekatan dengan kata puas, alam seakan memberikan isyarat bahwa dengan puasalah kepuasan itu dapat dirasakan. Orang-orang terdahulu berhasil memperoleh pencerahan setelah melakukan nyepi, menaklukkan dua kekuatan besar yang menguasai manusia. Dua kekuatan besar itu menurut Al-Ghazali disimbolkan dengan anjing dan babi. Anjing sebagai symbol manusia yang gandrung akan kekuasaan, pengaruh atau agresi, sedangkan babi sebagai symbol perut yang seringkali rakus dan tak pernah puas dengan apa yang ada.

Dua kekuatan besar di era revolusi industry 4.0 ini menjelma menjadi cebong dan kampret. Cebong sebagai symbol manusia yang memposisikan pemilu sebagai upaya memperpanjang jalan tol dan kampret sebagai symbol manusia yang memposisikan pemilu sebagai Perang Badar. Mungkinkah untuk tidak golput tanpa menjadi cebong atau kampret? Realitanya, ketika seseorang bercerita tentang pemandangan indah sepanjang tol akan dianggap dalam barisan cebong, sedangkan ketika seseorang bercerita tentang anggaran penelitian dan pengembangan yang sangat memprihatinkan akan dianggap sebagai barisan kampret. 

Amati Geni
Mengendalikan api kebencian yang bisa membakar persatuan dan kesatuan. Pemilu bukan tentang kalah atau menang, pemilu juga bukan siapa yang terbaik atau siapa lebih baik dari siapa melainkan tentang musyawarah mufakat. Digitalisasi teknologi bukan untuk siapa menyindir siapa, melainkan fokus pada kelebihan diri dengan menyimpan kekurangan yang lain. Jika tak bisa berkomentar dengan baik, maka lebih baik untuk nyepi dari keramaian informasi yang bertebaran di jagat dunia maya.

Amati Lelanguan
Mengendalikan diri dari perdebatan yang berujung konfrontasi. Nyepi dari lalu lintas penafsiran sepihak atau pentasrifan tanpa pedoman. Berusaha untuk tidak membohongi diri sendiri dengan mengatakan bahwa orang lain pembohong. Setiap manusia dalam proses pembelajaran yang tidak ada habisnya. Kekafiran diri sendiri seringkali tidak terasa, namun memaafkan orang lain dengan membiasakan diri bertutur dan senyum teratur membuat hidup terasa lebih indah.

Amati Pakaryan
Bersikap adil terhadap diri sendiri dan orang lain secara seimbang. Membangun moderasi sejak dalam pikiran sebagai modal awal untuk tidak berlebihan dalam mengumpat atau  menyanjung, bekerja atau berlibur dan mencari atau menjadi. Mencarisebagai upaya mengeksplorasi kemampuan dan kemauan untuk berbuat yang terbaik, sementara menjadisebagai upaya untuk berfikir, merenungi, merencanakan dan menjadikan setiap apa yang terjadi adalah yang terbaik. Sampai kapan manusia terus berlari untuk mencari? Menjadilah, pasti akan dicari.

Amati Lelungan
Apa yang telah pergi tidak akan kembali. Pergi bukan sekedar perpindahan tanpa arti, melainkan menyucikan hati menjadi berarti. Tidak semua yang pergi ditandai dengan perpindahan yang berarti, maka berhenti untuk memaknai arti kata suci lebih terpatri. Diam tanpa henti dalam suatu detik yang terus berlari mengejar mentari esok hari.

Agama adalah jalan, bukan tujuan. Jalannya orang-orang yang telah selesai dengan dirinya sendiri. Memperoleh pencerahan dari Sang Maha Kuasa, sehingga menjadi manusia paripurna. Memberikan kabar gembira kepada orang-orang yang taat dalam menjalankan dharma dan senantiasa mengingatkan jiwa-jiwa yang masih terpenjara dalam dunia. Tidak ada jalan selain kemanusiaan, saling tolong-menolong dan menebarkan kasih kepada sesama. Setiap kehidupan pasti akan berakhir, tidak ada jalan lain selain kasih Tuhan. Mengandalkan kemampuan diri tanpa berharap kepada Sang Maha Kuasa adalah pondasi kesombongan. Nyepi sebagai jalan untuk merawat kemampuan diri dengan untaian mantra-mantra suci.
Mengatur hubungan sosial dan memberikan makna simbolis pada aktivitas manusia sebagai tujuan dalam menjalankan fungsi sosial. Inilah kehidupan dunia material yang menekankan bagaimana benda-benda mati dalam lingkungan bertindak terhadap manusia, dan ditindaklanjuti oleh orang-orang.

Dengan mempelajari budaya sebagai sesuatu yang diciptakan dan hidup melalui objek, kita dapat lebih memahami struktur sosial dan dimensi sistem yang lebih besar seperti ketimpangan dan perbedaan sosial, dan juga tindakan manusia, emosi dan makna.Bidang studi budaya material (selanjutnya disingkat MCS) adalah nomenklatur baru-baru ini yang menggabungkan serangkaian penyelidikan ilmiah tentang penggunaan dan makna objek.

Penegasan utama MCS adalah bahwa objek memiliki kemampuan untuk menandakan sesuatu - atau membangun makna sosial - atas nama orang, atau melakukan 'pekerjaan sosial', meskipun kapasitas komunikatif budaya ini tidak boleh secara otomatis diasumsikan.

Bagian ini, menekankan kapasitas dari objek  untuk melakukan pekerjaan sosial dan budaya. Secara khusus, studi kasus berikut ini menunjukkan kapasitas beragam objek untuk memberikan makna, menunjukkan hubungan kekuasaan, dan membangun selfhood. Tiga bagian menunjukkan bagaimana benda-benda dapat digunakan sebagai:
1.   Penanda nilai
2.   Penanda identitas
3.   Penanda jaringan kekuasaan, budaya dan politik

Objek Sebagai Penanda Sosial
Bourdieu menulis bahwa gagasan benda sebagai penanda nilai estetika dan budaya, selera atau peran pilihan seseorang mereproduksi kesenjangan sosial. Penilaian selera didasarkan pada kriteria objektif dan mutlak dengan menunjukkan bahwa kondisi sosial tertentu dan kelas cenderung memiliki preferensi rasa yang khas. Kelompok dominan memiliki kewenangan untuk menentukan parameter dari nilai budaya. Rasa menjadi penanda yang membedakan dan menilai struktur posisi sosial dan status.

Berikut studi kasus dimana objek bertindak sebagai penanda nilai estetika dan identitas diri, terlihat tidak hanya pada apa, tapi mengapa dan bagaimana.
Helen menggambarkan tingkat kompetensi yang tinggi estetika, dia telah menguasai 'simetri dan korespondensi terkait dengan pilihannya. Akibatnya, dia mampu kontekstualisasi pilihan sendiri dalam tren sosial dan estetika yang lebih luas dengan tingkat otoritas budaya yang tinggi, membawa berbagai pengetahuan budaya dan keahlian pada dirinya. 

Sebuah benda yang menandakan, dan merangkum, gaya pemiliknya dan suasana yang diinginkan dari seluruh rumah. kesederhanaan kursi ini, netralitas dan gaya abadi klasik adalah instruktif:
Christina bergerak untuk menjauhkan diri dari ide-ide utama tentang rasa dan gaya, atas dasar sifat elitis, kurangnya keaslian orang-berpusat, dan kurangnya dirasakan relevansi padanya kepentingan kunci luang: televisi kabel, budaya pub, sepak bola dan pakaian perbelanjaan. posisi anti-gaya ini tercermin dalam salah satu objek Christina lagi memilih untuk membahas dalam wawancara - apa yang dia sebut sebagai 'wartishog':

Objek Sebagai Pembuat Identitas
Memisahkan klaim estetika dari narasi atau kalim tentang identitas diri dalam studi benda-benda. Seperti teks agama suci, kasus utama dari objek yang diproduksi secara massal dalam mempertahankan aura kuat. Meskipun merupakan teks rohani yang penting, juga merupakan obyek produksi massal dengan sirkulasi yang luas.  Namun, berhasil mempertahankan aura otoritas.

Sarah. Iman Kristennya merupakan aspek penting dari identitas yang mendefinisikan arah dan makna hidupnya. Dia ingin menjalani hidupnya konsisten dengan keyakinan Kristen dan merasakan sebuah perbedaan signifikan antara pilihan-pilihan hidupnya dan pilihan hidup mereka dari orang-orang yang tidak memiliki keyakinan seperti itu. Al-Kitab adalah symbol dari keyakinan dan menawarkan di acara melawan tekanan sosial yang bisa menariknya jauh dari keyakinan tersebut.

Objek Sebagai Situs Budaya dan Kekuasaan Politik
Hubungan antara manusia dan teknologi, benda-benda yang dibangun oleh hubungan kekuasaan tertentu, pada gilirannya juga aktif membangun hubungan tersebut. Bagian berikutnya membahas contoh yang terkenal Foucault dari penjara yg bentuknya bundar untuk menjelaskan bagaimana objek berada di pusat wacana dan jaringan kekuasaan, dan bagaimana mereka 'bertindak' untuk mempengaruhitindakan manusia.

Mengartikan Material Culture
Studi tentang material culturemempunyai keterkaitan dengan hubungan timbal balik manusia sebagai subjek dengan objek-objek kebudayaan. Apa yang menyebabkan manusia menggunakan suatu objek, atau untuk apa objek itu dipakai dan fungsinya untuk manusia.Istilah ‘material culture’ merujuk pada material apa pun (sepatu, pena, cangkir) atau jaringan benda-benda material (rumah, mobil, atau pusat perbelanjaan) yang manusia rasakan, gunakan, atau sentuh. Sering dihubungkan dengan ‘things’, ‘objects’, ‘artefact’, ‘goods’, ‘commodities’, dan baru-baru ini istilah ‘actants’. Namun, ada beberapa nuansa penting dalam arti setiap istilah, yang membantu untuk membatasi konteks dimana istilah itu harus digunakan.
-       Things: sesuatu yang bersifat konkret namun mati dan harus dihidupkan oleh pelaku kebudayaan dengan imajinasi atau konseptual.
-       Object: komponen kebudayaan yang mampu disentuh dan dilihat, atau sesuatu yang lebih nyata.
-       Artefak: produksi fisik atau peninggalan dari aktivitas manusia
-       Goods: objek yang ada diproduksi dibawah hubungan pasar yang diberi nilai dan sistem pertukaran.
-       Komoditas: konvensi umum yang menunjukan pada hal-hal baik dan luhur.  

Objek tidak hanya ditentukan oleh kualitas materialnya, tetapi olehlokasinyadalam sistem narasi dan logika yang ditata oleh wacana sosiaterkait dengan teknologi, budaya, ekonomi dan politik.Dengan kata lain, objek ada karena sosial, budaya dankekuatan politik mendefinisikan mereka sebagai objek dalam sistem hubungan denganbenda lainnya.Istilah apa pun yang dipilih seseorang untuk diterapkan dalam konteks tertentu - apakah itu objects, actantsmaterial culturethingsatau goods- seseorang itu hanya perlu melihatnya dalam lingkungan sekitar mereka atau melihat ke dalam konteksnya.


Materi ini sangat penting dipelajari sebagai modal dasar dalam mengidentifikasi bagaimana benda bekerja mempengaruhi tingkah laku manusia disekelilingnya. Sebuah benda material culture bisa menjadi pusat relasi wacana atau diskursus, karena ia memiliki fungsi social di masyarakat. Memiliki makna simbolis di dalamnya dan berada dalam konteks masyarakat penggunanya. Ada makna dibalik sebuah benda, wacana yang dibangunnya bukan sesuatu yang diam melainkan terus bergerak menembus ruang dan waktu, melintasi zaman dan kondisi yang berbeda-beda.

SUBSCRIBE & FOLLOW