Isra’ Mi’raj dan Titik Temu Perjalanan Nyepi

Setiap detik merupakan perjalanan dan setiap perjalanan adalah pelajaran. Perjalanan bukan sekedar perpindahan tanpa arti, melainkan menjaga momentum hijrah dalam hati. Hijrah yang bermakna mempertahankan kebenaran walaupun satu ayat, maupun hijrah yang dimaknai taubat, yaitu berusaha menjadi lebih baik dalam setiap keadaan. Mengambil hikmah dalam setiap kejadian yang terkadang tersembunyi dalam budaya yang berbeda dan bahasa yang tak sama. Abu Hamid Al-Ghazali mengatakan bahwa ketika seseorang tidak menguasai bahasa, maka hilanglah separuh pengetahuan.

Melakukan perjalanan adalah cara sederhana untuk mengambil pelajaran. Berinteraksi dengan berbagai budaya dan bahasa yang berbeda. Apa yang telah tercipta merupakan hitam putih kehidupan. Tidak semua hitam tanpa potensi putih dan tidak semua putih tanpa potensi hitam. Hidup sebagai perjalanan menunggu antrian menghadap kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Perjalanan menghadap kepada Hyang Esa merupakan perjalanan yang tak bisa dijelaskan akal dan tak mampu didefinisakan oleh kata-kata, melainkan bisa dirasakan dan diimani dalam hati. Keterbatasan dan ketidakmampuan manusia diwujudkan dalam berbagai symbol dan ungkapan yang bermakna Maha Suci Allah: subhanallah, haleluyaalleluy. Perbedaan tidak untuk disamakan, namun perlu disatukan dalam Bhinneka Tunggal Ika. Sehingga tidak perlu berebut benar dengan saling menyalahkan, menang tanpa mengalahkan, tinggi tanpa merendahkan, baik tanpa menjelekkan, beriman tanpa mengafirkan dan ada tanpa meniadakan.

Pelajaran dalam Perjalanan
Berbagai perjalanan telah tertulis dalam lembar sejarah manusia. Perjalanan tersebut sebagai jalan keluar dalam menghadapi persoalan hidup dan menjadi hiburan dalam kesedihan. Perjalanan yang telah diyakini kebenarannya oleh sebagian kelompok, tidak meragukan apa yang telah diyakini dan tidak meyakinkan apa yang sedang diragu-ragukan. Yang pasti tidak akan ada manusia yang akan mengulangi perjalanan-perjalanan tersebut.

Perjalanan yang mengingatkan setiap manusia akan puisi Nitzsche: manusia yang mendekati Zarathustra. Langit adalah meja para dewa tempat dadu kahyangan dilontarkan. Hidup ibarat angkasa yang murni, terlepas dari jaring-jaring akal yang mematoknya dengan tujuan dan arah. Akal yang menghubungkan ke dalam hubungan kausalitas. Di angkasa yang telanjang murni bergerak dalam ketidakpastian.

Perjalanan Yudhistira ke kahyangan. Bermula ketika zaman Kaliyuga dan wafatnya Kresna, para Pandawa mengundurkan diri dari urusan duniawi. Meninggalkan tahta, harta dan sifat keterikatan untuk melakukan perjalanan terakhir mengelilingi Bharatawasha menuju puncak Himalaya. Dalam perjalanan menuju puncak, saudaranya berguguran hingga menyisakan Yudhistira dan seekor anjing. Perjalanan menuju kahyangan bersama Dewa Dharma menggunakan kereta Indra. Yudhistira menyaksikan saudara-saudaranya di neraka, sedangkan Kurawa berada di surga. Kondisi yang seakan-akan terbalik tersebut, sebagai ujian terakhir Yudhistira.

Nabi Musa membelah laut merah, berawal dari Bani Israil yang di bawah kekuasaan Firaun Mesir. Nabi Musa mendapatkan perintah Ilahi untuk keluar dari tanah Mesir di waktu malam bersama Bani Israil menuju tanah perjanjian. Perjalanan tersebut merupakan perlawanan terhadap Firaun atas kedzalimannya, ditandai dengan penyembelihan domba yang darahnya dicurahkan ke pintu-pintu rumah Bani Israil. Domba pada waktu itu dipercayai Firaun sebagai symbol dewa. Perjalanan Nabi Musa seakan terhenti di tepi Laut Merah, namun atas izin Allah lautan terbelah menjadi jalan tol setelah Nabi Musa memukulkan tongkatnya. Nabi Musa dan Bani Israil selamat sedangkan Firaun dan pasukannya tenggelam di Laut Merah.

Kenaikan Isa Al-Masih. Perjalanan yang sangat panjang dilalui oleh Nabi Isa. Kemunculannya sebagai Sang Penyelamat menjadi akhir perjalanan panjangnya, diharapkan kedatangannya oleh umat manusia. Namun, awal perjalanan tersebut membuat manusia berdebat akan sosok dirinya. Nabi Isa memang sosok misterius, ketika bayi mampu berbicara hingga menggemparkan umat, ketika dewasa mampu menghidupkan orang mati dan kenaikannya tak akan habis dibicarakan. 

Isra Miraj Nabi Muhammad. Perjalanan malam dari Masjid al-Harammenuju Masjid al-Aqsadilanjutkan menuju Sidratul Muntaha. Perjalanan yang dimulai dari dua hal dan menyisakan dua hal. Kematian sang paman yang merawatnya sejak kecil dan istri yang senantiasa mendukung dakwahnya tutup usia: Abu Thalib dan Khadijah. Kesedihan menyelimuti hari-hari Sang Nabi sampai Allah memperjalankan hamba-Nya di suatu malam. Perjalanan yang tak biasa dilakukan oleh manusia, sehingga hanya satu orang yang membenarkan perjalanan tersebut: Abdullah bin Abu Quhafah. Kesaksian yang menjadikan namanya dikenal sebagai As-Shiddiq. Buah dari perjalanan tersebut sebagai pondasi kebenaran: salat. Mencegah perbuatan keji dan munkar, baik ketika sendirian maupun dalam keramaian. 

Titik Temu Nyepi
Landasan dari keterhubungan manusia adalah adanya harapan. Harapan tersebut bergerak ke segala arah dan tak teratur. Maka agar harapan tersebut tercapai dan tidak saling berseberangan, perlu aturan-aturan yang mengatur jalannya harapan. Tidak jarang adanya aturan-aturan tersebut membuat manusia menahan diri sejenak. Dalam sejarah perkembangan manusia, banyak tertulis manusia-manusia yang bersusah payah menahan diri dengan caranya masing-masing.

Sidharta Gautama menenangkan diri dengan nyepi di bawah pohon Bodhi. Maria mengasingkan diri nyepi dari keramaian manusia ke Baitul Maqdis, Nabi Muhammad SAW beruzlah, nyepi di Goa Hira’ dan Ibnu Hajar al-Asqalani menahan diri dengan merenungkan tetesan air dalam kesepian. Beruntung siapa saja yang meluangkan waktu untuk nyepi seperti orang-orang terdahulu. Mengasingkan diri melakukan Catur Brata Penyepian: amati geni, amati lelanguan, amati pakaryan dan amati lelungan.

Nyepi ibarat spasi di antara barisan kata dalam kalimat. Nyepi adalah puasa, menahan diri sejenak untuk meraih kepuasan. Nyepi adalah jalan keluar untuk melangkah lebih jauh memaknai kehidupan, Bukan sebuah kebetulan kata puasa berdekatan dengan kata puas, alam seakan memberikan isyarat bahwa dengan puasalah kepuasan itu dapat dirasakan. Orang-orang terdahulu berhasil memperoleh pencerahan setelah melakukan nyepi, menaklukkan dua kekuatan besar yang menguasai manusia. Dua kekuatan besar itu menurut Al-Ghazali disimbolkan dengan anjing dan babi. Anjing sebagai symbol manusia yang gandrung akan kekuasaan, pengaruh atau agresi, sedangkan babi sebagai symbol perut yang seringkali rakus dan tak pernah puas dengan apa yang ada.

Dua kekuatan besar di era revolusi industry 4.0 ini menjelma menjadi cebong dan kampret. Cebong sebagai symbol manusia yang memposisikan pemilu sebagai upaya memperpanjang jalan tol dan kampret sebagai symbol manusia yang memposisikan pemilu sebagai Perang Badar. Mungkinkah untuk tidak golput tanpa menjadi cebong atau kampret? Realitanya, ketika seseorang bercerita tentang pemandangan indah sepanjang tol akan dianggap dalam barisan cebong, sedangkan ketika seseorang bercerita tentang anggaran penelitian dan pengembangan yang sangat memprihatinkan akan dianggap sebagai barisan kampret. 

Amati Geni
Mengendalikan api kebencian yang bisa membakar persatuan dan kesatuan. Pemilu bukan tentang kalah atau menang, pemilu juga bukan siapa yang terbaik atau siapa lebih baik dari siapa melainkan tentang musyawarah mufakat. Digitalisasi teknologi bukan untuk siapa menyindir siapa, melainkan fokus pada kelebihan diri dengan menyimpan kekurangan yang lain. Jika tak bisa berkomentar dengan baik, maka lebih baik untuk nyepi dari keramaian informasi yang bertebaran di jagat dunia maya.

Amati Lelanguan
Mengendalikan diri dari perdebatan yang berujung konfrontasi. Nyepi dari lalu lintas penafsiran sepihak atau pentasrifan tanpa pedoman. Berusaha untuk tidak membohongi diri sendiri dengan mengatakan bahwa orang lain pembohong. Setiap manusia dalam proses pembelajaran yang tidak ada habisnya. Kekafiran diri sendiri seringkali tidak terasa, namun memaafkan orang lain dengan membiasakan diri bertutur dan senyum teratur membuat hidup terasa lebih indah.

Amati Pakaryan
Bersikap adil terhadap diri sendiri dan orang lain secara seimbang. Membangun moderasi sejak dalam pikiran sebagai modal awal untuk tidak berlebihan dalam mengumpat atau  menyanjung, bekerja atau berlibur dan mencari atau menjadi. Mencarisebagai upaya mengeksplorasi kemampuan dan kemauan untuk berbuat yang terbaik, sementara menjadisebagai upaya untuk berfikir, merenungi, merencanakan dan menjadikan setiap apa yang terjadi adalah yang terbaik. Sampai kapan manusia terus berlari untuk mencari? Menjadilah, pasti akan dicari.

Amati Lelungan
Apa yang telah pergi tidak akan kembali. Pergi bukan sekedar perpindahan tanpa arti, melainkan menyucikan hati menjadi berarti. Tidak semua yang pergi ditandai dengan perpindahan yang berarti, maka berhenti untuk memaknai arti kata suci lebih terpatri. Diam tanpa henti dalam suatu detik yang terus berlari mengejar mentari esok hari.

Agama adalah jalan, bukan tujuan. Jalannya orang-orang yang telah selesai dengan dirinya sendiri. Memperoleh pencerahan dari Sang Maha Kuasa, sehingga menjadi manusia paripurna. Memberikan kabar gembira kepada orang-orang yang taat dalam menjalankan dharma dan senantiasa mengingatkan jiwa-jiwa yang masih terpenjara dalam dunia. Tidak ada jalan selain kemanusiaan, saling tolong-menolong dan menebarkan kasih kepada sesama. Setiap kehidupan pasti akan berakhir, tidak ada jalan lain selain kasih Tuhan. Mengandalkan kemampuan diri tanpa berharap kepada Sang Maha Kuasa adalah pondasi kesombongan. Nyepi sebagai jalan untuk merawat kemampuan diri dengan untaian mantra-mantra suci.

Post a Comment

0 Comments