Ruang Beragama dalam Diskursus Corona

Seorang filsuf Perancis, Blaise Pascal pernah menyatakan bahwa semua masalah kemanusiaan berasal dari ketidakmampuan manusia untuk duduk sendirian dalam sebuah ruang. Ketidakmampuan tersebut muncul dari kesadaran akan keterbatasan gerak dalam kebebasan bertindak. Menciptakan diskursus melalui asumsi-asumsi masyarakat yang membangun konsep suatu kultur, sehingga mempengaruhi perilaku dan kebiasaan masyarakat tertentu. 

Dalam Madness and Civilization, Michel Foucault mengembangkan konsep diskursus dalam menyingkap perubahan suatu masalah. Kegilaan di abad pertengahan dianggap memiliki kebijaksanaan batiniah, sedangkan pada abad ke-20 orang gila dianggap sakit sehingga membutuhkan perawatan. Kini di era milenial, ketika jarak dipandang sebelah mata dan ruang dianggap tak lagi bermakna, corona hadir menciptakan diskursus. Jarak menjadi sangat penting dan ruang menjadi tantangan.

Istilah corona bemakna mahkota, diambil dari bentuk fisik virus yang menyerupai mahkota. Coronavirus Disease2019 atau Covid-19 dikenal sebagai virus yang muncul pertama kali di Wuhan. Sejak 11 Maret 2020 Organisasi Kesehatan Dunia, World Health Organization (WHO), menetapkan keadaan pandemic akibat penyebaran virus ini yang meluas ke berbagai negara. Pandemic berasal dari Bahasa Yunani, pan yang berarti semua dan demos yang bermakna orang. Status sebuah penyakit menular akan ditingkatkan dari epidemic menjadi pandemic ketika penyebarannya sudah meluas melewati batas negara hingga benua dan dampak mematikannya membahayakan manusia dalam jumlah tak terhingga.

Akibat dari meluasnya virus ini, beberapa negara menerapkan isolasi ataulockdown agar penyebarannya tidak semakin meluas dan membahayakan manusia. Jalanan menjadi sepi, disinfektan mencegah infeksi dan manusia mengisolasi diri. Hal tersebut membuat udara bersih dari polusi dan air kanal terlihat jernih, bumi seakan terlahir kembali. Corona dianggap virus mematikan bagi manusia, namun menjadi vaksin efektif dalam membersihkan bumi.

Status pandemic bukan hal baru dalam sejarah umat manusia, sudah berulang kali situasi tersebut ada. Michael W. Dols dalam Plague in Early Islamic History, mengulas tiga pandemic besar yang menimpa umat manusia, yaitu: Wabah Yustinianus (Plague of Justinian) 541-542 M, Maut Hitam (Black Death)1347 – 1351 M dan Wabah Bombay (Bombay Plague)1896 – 1897 M. 

Ruang Beragama 
Pemerintah melalui kementerian, lembaga dan aksi berbagai pihak berusaha menanggulangi dampak Covid-19 sesuai standar kesehatan dunia. Tenaga medis sebagai garda terdepan dalam penanganan wabah ini masih berupaya menemukan vaksin yang dapat mengobati Covid-19. Otoritas kesehatan menghimbau agar masyarakat melakukan isolasi diri agar terhindar dari infeksi. Para dokter sepakat bahwa pola penularan Covid-19 ini adalah melalui kontak antar-orang baik secara langsung atau melalui media perantara. 

Oleh karena itu, pemerintah menyeru agar belajar dari rumah, bekerja dari rumah dan ibadah dari rumah selama 14 hari sampai krisis wabah mereda. Instusi pendidikan mengganti segala aktivitas belajar-mengajar secara online, otoritas perusahaan menjaga jarak pekerjanya dan Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa nomor 14 tahun 2020 tentang “Penyelenggaraan Ibadah dalam Situasi Terjadi Wabah Covid-19”.  Dalam fatwa itu MUI menyerukan untuk meniadakan salat Jumat dan ibadah berjamaah lainnya di masjid yang terletak di zona merah Covid-19 dan menggantinya dengan salat Zuhur di rumah masing-masing.

Terselip narasi dan aksi atas nama agama yang justru kontra produktif dengan logika dan edukasi para ahli medis berikan. ‘Saya lebih takut pada Tuhan, kalau sudah takdir-Nya di manapun akan mati’. Jangankan mematuhinya, sebagian kelompok kecil masyarakat justru menyeru menggalakkan  gerakan salat berjamaah meski di tengah wabah. Di salah satu masjid, salat Jumat ditiadakan, tapi sekelompok kecil masyarakat tersebut tetap ke masjid untuk melakukan salat zuhur yang melibatkan kerumunan.

Virus Corona pun dinarasikan sebagai konspirasi iblis, jin dan setan untuk menjerumuskan manusia. ‘Kami tidak takut corona, kami lebih takut pada Tuhan’, ungkapan ini berkali-kali digelorakan. Sepintas tampak semangat beragama, tapi sesungguhnya menjauhkan dari esensi agama, yakni memuliakan manusia dan mencegah tersebarnya virus.

Agama datang untuk kemaslahatan. Fatwa telah tersampaikan atas dasar kemaslahatan umat, akankah umat masih mempercayai seruan sekelompok kecil masyarakat yang tidak bertanggung jawab dan bertingkah tanpa dasar ilmu? Kemaslahatan dapat tegak dengan terlindungnya tiga aspek, dharuriyah, hajiyah dan tahsiniyh. Dalam aspek dharuriyah terkandung lima keniscayaan yang harus dipelihara, yaitu agama, jiwa, keturunan, harta dan kehormatan.

Mendahulukan agama tanpa mempertimbangkan kerusakan dan kehancuran semua dimensi dharuri yang lain tidak dapat dibenarkanPenghentian sementara kegiatan keagamaan yang melibatkan massa dapat dipertanggungjawabkan secara syar’i. Keputusan tersebut berimbas bukan hanya melindungi nyawa saja, tetapi juga keturunan, menjaga harta dan juga memelihara kehormatan kemanusiaan dan agama.

Ruang Masa Lalu
Bangsa Eropa pernah mengalami masa kelam akibat sikap fanatik sebagian umat beragama menyikapi pandemic The Black Death.Saat otoritas Eropa kehabisan ide dalam mengatasi wabah, masyarakat putus asa. Mereka mulai mengaitkan bahwa umat Yahudi adalah pembawa petaka, hingga Tuhan pun murka. Narasi ini berhasil memprovokasi kelompok ekstrem dalam menafsir agama. Hal ini senada dengan narasi ‘corona sebagai azab’ yang digaungkan untuk membenci kelompok, golongan, ras atau negara tertentu.

Sumber-sumber Arab sesungguhnya telah mencatat dengan baik bagaimana Nabi Muhammad SAW dan para sahabat menyikapi pandemic. Sebagaimana Umar bin Khattab yang kembali ke Madinah dan membatalkan kunjungannya ke Damaskus yang sedang diserang wabah. Nabi dan orang-orang suci tidak kemudian menantang wabah atas nama tauhid atau bersikap sembrono atas kebodohan ‘hanya takut pada Allah’
Filolog Oman Fathurrahman kemudian menjelaskan bagaimana Ibnu Hajar al-‘Asqalani menulis kitab Badzl al-Ma’un fi Fadhl al-Tha’un. Ia menjauhi sikap pasrah dan menyerah pada takdir Allah. Memperlakukan pandemic sebagai inspirasi dan menuangkan pandangan keber-agama-annya dalam bersikap secara rasional dalam menghadapi wabah. Karya tersebut dipersembahkan untuk mengingatkan sesama tentang wabah yang mematikan. Sekaligus tidak ingin kematian ketiga putrinya sia-sia, Fatimah, Aliyah dan Zin Khatun yang sedang hamil. Mereka menjadi martir bagi nyawa manusia lainnya.

Karya al-‘Asqalani ini telah ditahqiqoleh seorang filolog bernama Ahmad Ishom Abd al-Qadir al-Katib. Ia mengulas detil tentang definisi tha’un(wabah) termasuk Black Death di Eropa, baik secara metafisis maupun medis, jenis-jenisnya, cara menghindarinya, hukum syahid bagi korban dan yang paling penting bagaimana beragama tanpa mengabaikan kemanusiaan dalam menyikapi wabah.



Baca Juga: http://matagarudalpdp.org/2020/04/01/religious-spaces-in-covid-19-discourse/

Post a Comment

0 Comments