Maaf dan Memori Kolektif Hindia-Belanda

Keinginan dan ambisi leluhur mewariskan prasangka. Hubungan satu orang dengan orang lain, suatu masyarakat dengan masyarakat lain, suatu bangsa dengan bangsa lain, bisa hancur dengan prasangka. Hal tersebut memicu kecurigaan, perselisihan, permusuhan, pembunuhan, hingga pertumpahan darah. Akibatnya, resistensi dan balas dendam menjadi warisan dari generasi ke generasi, mulai dari skala terkecil hingga gelombang pergerakan. 

Sebuah keputusan berasal dari pemikiran, intisari sumpah berbuah kesetiaan, permintaan maaf dan penyesalan menjadi sebuah kekuatan. Keputusan Raja Belanda, Willem-Alexander, untuk meminta maaf kepada bangsa Indonesia atas tragedi masa lalu memunculkan beragam pertanyaan. Bukan untuk melanggengkan prasangka negatif, tetapi mengingatkan arti penting kedaulatan sbuah bangsa. Apa kepentingan Belanda terhadap negara yang pernah mereka duduki? Sebuah pertanyaan sejarawan Belanda, Marjolein Van Pagee, kepada negerinya dalam sebuah surat kabar Indonesia berbahasa Inggris. 

Pemerintah Belanda sampai saat ini menolak untuk mengakui proklamasi kemerdekaan  Republik Indonesia 17 Agustus 1945 secara hukum. Undang-Undang Belanda menyebut tahun 1949 sebagai tahun kemerdekaan Indonesia belum pernah direvisi. Belanda masih menggunakan dasar hukum penyerahan kedaulatan tahun 1949. Hal ini melanggar prinsip-prinsip konstitusional Indonesia dan belum terselesaikan. 

Pada tahun 2005, dalam peringatan 60 tahun kemerdekaan Indonesia, Menteri Luar Negeri Belanda, Ben Bot, hanya mengungkapkan penyesalan atas aksi kekerasan pada akhir masa kolonial tahun 1945-1949. Karena khawatir akan tuntutan hukum atas semua pelanggaran hak asasi manusia oleh Belanda, dia tidak meminta maaf. Demikian juga Ratu Beatrix, pada tahun 1995 menunda keberangkatan sehingga sampai di Indonesia 4 hari setelah peringatan 17 Agustus.

Minta Maaf
Kunjungan Willem-Alexander sebagai generasi baru, tidak bertanggung jawab secara langsung atas kolonialisme di masa lalu. Namun posisinya sebagai raja, secara tidak langsung mewarisi kekayaan masa lalu. Keluarga Kerajaan Belanda telah mendapatkan milyaran dari menindas orang-orang Indonesia selama berabad-abad, tanpa pernah bertanggung jawab. Sekarang, seolah-olah semua sudah termaafkan dengan kunjungan kenegaraan.

Rangkaian kunjungan Raja Belanda ke Indonesia mendapat respon beragam dari berbagai pihak. Dalam kasus lain, ketika Presiden RI berencana minta maaf kepada keluarga PKI, ada konsekuensi yang harus dibayar. Bukan sekedar minta maaf, tetapi negara juga menanggung ganti rugi. Di Belanda, hanya sebagian kecil melalui upaya Jeffry Bung Karno melalui organisasi yang dipimpinnya, Komite Utang Kehormatan Belanda, telah memenangkan sejumlah kasus pengadilan untuk janda dan anak-anak Indonesia.

Simbol permintaan maaf ditandai dengan kembalinya keris Nogo Siluman milik Pangeran Diponegoro. Secara resmi benda pusaka ini diserahkan oleh Raja Willem-Alexander kepada Presiden Joko Widodo. Keris yang sudah berpindah dari Nusantara sejak tahun 1831 kini menjadi koleksi Museum Nasional Indonesia. Hal tersebut membuat masyarakat melayangkan tuntutan lain terkait pengembalian benda bersejarah, diantaranya bendera Singamangaraja XII dan arsip tulisan tangan Bung Karno

Belanda sebagai negara yang bebas dan negara yang demokratis. Kita semua ingin mengakhiri berbagai prasangka, sayangnya sikap dan kebijakan kolonial terus ditunjukkan. International Criminal Court yang berbasis di Den Haag seakan berbanding terbalik dengan berbagai kasus yang belum terselesaikan. Den Haag secara internasional dipandang sebagai kota perdamaian dan keadilan, sejatinya adalah tamparan di muka semua orang yang mengetahui wajah asli Belanda.

Memori Kolektif
Memori kolektif sebagai pengalaman hidup bersama yang bersifat asli dan telah mengalami proses budaya. Memori kolektif perasaan senasib seperjuangan menyatukan berbagai suku, agama dan bahasa berwujud Indonesia.Merdeka atau mati menjadi spirit gelombang pergerakan, bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.

Harga diri manusia Indonesia ada pada 17 Agustus 1945. Selama konstitusi Belanda belum merevisi pengakuan kemerdekaan Indonesia tahun 1949 menjadi 1945, permintaan maaf hanya sekedar pemanis buatan. Belanda masih menganggap harga manusia Indonesia dan bangsanya seperti berabad-abad sebelumnya, seakan-akan mereka yang berhak memanfaatkan sumber daya alam Indonesia. Ini seperti mengembalikan memori kolektif tindakan rasis yang tertulis pada plakat di banyak restoran dan kolam renang selama masa colonial: Forbidden for dogs and natives (Anjing dan pribumi dilarang masuk).

Keadilan terus diperjuangkan dan proses hukum senantiasa mengancam citra Belanda yang berdarah. Untuk meredam dampak negatif dari kasus-kasus yang telah ada di pengadilan, pemerintah Belanda berpura-pura bertanggung jawab pada tahun 2017 dengan membiayai penyelidikan skala besar terhadap peristiwa 1945-1959. Namun segera setelah proyek tersebut diluncurkan, penelitian ini penuh kontroversial. Para peneliti justru berbicara tentang kekerasan “di kedua belah pihak”, seolah-oleh Belanda bukan menjajah tetapi sebagai mitra yang setara. Mereka seakan sengaja melupakan betapa besar sumber daya alam yang dieksploitasi Belanda.

Pada Desember 2019, sebuah laporan TV Belanda mengilustrasikan warisan kolonial yang salah satunya menyoroti warisan besar leluhur William-Alexander, Ratu Juliana. Laporan tersebut tidak mengungkapkan lebih jauh bagaimana Negeri Belanda menjadi begitu kaya. Pembahasan hanya seputar kesepakatan yang menguntungkan dan keberhasilan keluarga kerajaan dalam bernegosiasi. Maka, untuk mencapai keadilan social dalam konteks ini kita perlu mengingat kembali sebuah adagium dari tokoh pergerakan nasional, Tan Malaka, bahwa tuan rumah tidak akan berunding dengan maling yang menjarah rumahnya.


Post a Comment

0 Comments