Qu Zhong Zou Ya dalam Perspektif Universal: Cheng Yu Inspiratif Prof. Dr. Luthfiyah Nurlaela, M.Pd.

 


Filosofi budaya Tiongkok mempunyai konsep Qu Zhong Zou Ya (奏雅), yang berarti menyelesaikan tugas dengan harmoni dan kebijaksanaan. Kehidupan manusia sering kali diibaratkan sebagai perjalanan panjang yang memiliki awal, proses, dan akhir. Dalam Islam, konsep husnul khatimah menjadi dambaan setiap individu, yakni mengakhiri kehidupan dengan kebaikan dan keberkahan. Prinsip ini tercermin dalam perjalanan hidup seorang tokoh yang mengabdikan diri di dunia pendidikan dan pemberdayaan masyarakat, meninggalkan warisan ilmu dan kebijaksanaan yang terus menginspirasi banyak orang. Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam Al-Qur'an:

 

"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benarnya takwa kepada-Nya, dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan Islam (damai/selamat/patuh/taat)." (QS. Ali Imran: 102)

 

Prof. Dr. Luthfiyah Nurlaela, M.Pd. menginternalisasi nilai ini dalam setiap peran yang beliau jalani, baik sebagai akademisi maupun pemimpin di berbagai institusi. Dedikasi beliau dalam membangun sumber daya manusia di desa-desa menunjukkan bahwa pendidikan bukan sekadar ilmu dalam kelas, melainkan juga sebuah gerakan sosial yang bertujuan untuk memberdayakan masyarakat.

Dalam perjalanannya, beliau senantiasa menanamkan nilai bahwa ilmu harus selalu bermanfaat bagi sesama. Tidak hanya berorientasi pada pencapaian pribadi, tetapi lebih dari itu, setiap langkah yang diambil selalu diiringi dengan niat untuk membangun ekosistem pendidikan yang lebih baik. Ini sejalan dengan prinsip dalam ajaran Kristen, yaitu Finishing Well, yang mengajarkan bahwa akhir yang baik hanya bisa dicapai jika sepanjang perjalanan hidup diisi dengan amal kebajikan. Seperti tertulis dalam Alkitab:

 

"Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman." (2 Timotius 4:7)


Dalam agama Hindu dan Buddha, prinsip karma dan dharma mengajarkan bahwa seseorang harus menjalankan tugasnya dengan penuh tanggung jawab agar dapat mencapai pembebasan spiritual. Dalam Bhagavad Gita dan Dhammapada mengajarkan:

 

"Janganlah engkau terikat pada hasil perbuatanmu. Lakukanlah tugasmu dengan sepenuh hati, tetapi jangan berharap akan balasannya." (Bhagavad Gita 2:47)

 

"Seorang bijak tidak berduka atas kematian, karena seperti dedaunan yang gugur, jiwa akan terlahir kembali dengan kebajikan yang telah ditanamkan." (Dhammapada 11:8)

 

Sementara itu, dalam ajaran Yahudi, konsep tikkun olam (memperbaiki dunia) menekankan pentingnya meninggalkan warisan baik bagi masyarakat. Seperti yang disebutkan dalam Kitab Talmud:

 

"Ketika seseorang meninggal dunia, tidak ada yang menemaninya kecuali perbuatan baik yang telah ia lakukan di dunia." (Talmud, Avot 6:9)

 

Hal ini terlihat dalam bagaimana Prof. Luthfiyah mendokumentasikan pengalaman dan pengetahuannya dalam buku Sebuah Sekolah Bernama Desa, agar apa yang beliau peroleh tidak hilang, tetapi justru menjadi inspirasi bagi orang lain dan dapat diteruskan kepada generasi berikutnya.

Selanjutnya, ajaran Konfusianisme menekankan pentingnya ren (kebajikan) dan yi (kewajiban moral) dalam menyelesaikan tugas hidup, bahwa seorang individu harus menjalani hidup dengan etika yang tinggi. Konfusius mengajarkan:

 

"Jika engkau merencanakan untuk satu tahun, tanamlah padi. Jika engkau merencanakan untuk sepuluh tahun, tanamlah pohon. Jika engkau merencanakan untuk seratus tahun, didiklah manusia." (Konfusius)

 

Prof. Luthfiyah telah menunjukkan bagaimana prinsip ini diterapkan dalam kehidupan nyata, baik sebagai pendidik, pemimpin, maupun individu yang berinteraksi dengan banyak orang. Sikapnya yang tidak pernah gusar dan selalu berusaha melakukan yang terbaik mencerminkan bagaimana nilai-nilai kebajikan menjadi bagian dari dirinya. Tidak pernah ada keluhan dalam setiap tantangan yang dihadapi, justru beliau menjadikannya sebagai peluang untuk terus berkembang dan membantu lebih banyak orang.

Filosofi Yunani-Romawi yang memiliki kesamaan dengan husnul khatimah adalah Stoikisme. Filsafat ini mengajarkan bahwa kehidupan yang baik bukanlah tentang pencapaian materi, tetapi tentang bagaimana seseorang menghadapi setiap tantangan dengan kebijaksanaan dan ketenangan. Prof. Luthfiyah telah menghadapi berbagai tantangan dalam perjalanan di dunia birokrasi, tetapi beliau selalu memegang teguh prinsip bahwa setiap peran harus dijalani dengan penuh tanggung jawab dan dedikasi. Tidak pernah kehilangan arah, setiap tantangan justru dijadikan sebagai batu loncatan untuk mencapai sesuatu yang lebih besar dan lebih bermakna. Dalam ajaran Stoa, dikatakan:

 

"Tidaklah penting berapa lama engkau hidup, yang penting adalah bagaimana engkau menjalani kehidupan itu." (Seneca)

 

Di Jepang, konsep ikigai atau “alasan untuk hidup” menekankan bagaimana seseorang menemukan kebahagiaan dalam menjalankan perannya dengan sepenuh hati. Hal ini tercermin dalam bagaimana Prof. Luthfiyah menikmati setiap perjalanannya, bertemu dengan banyak orang dan berbagi ilmu. Tidak ada rasa jenuh dalam pengabdiannya, karena beliau memahami bahwa hidup yang baik adalah hidup yang dipenuhi dengan kontribusi positif bagi orang lain.

Dalam Islam, konsep husnul khatimah juga terkait dengan keyakinan bahwa kehidupan yang baik adalah kehidupan yang penuh dengan manfaat bagi orang lain. Prof. Luthfiyah tidak hanya fokus pada pencapaian pribadinya tetapi juga bagaimana meninggalkan jejak yang baik. Dengan dedikasi penuh sebagai pendidik dan pemimpin, beliau memastikan bahwa ilmu dan kebijaksanaan diwariskan kepada generasi berikutnya, baik melalui buku, program pendidikan, maupun mentoring langsung kepada para mahasiswa, staf, dan masyarakat desa. Rasulullah SAW bersabda:

 

"Apabila anak Adam meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang mendoakannya." (HR. Muslim)

 

Akhir yang baik juga diartikan sebagai legacy atau warisan dalam banyak budaya. Warisan yang ditinggalkan seseorang bukan hanya berupa materi, tetapi juga ilmu, nilai-nilai kebaikan, dan pengaruh positif yang diberikan kepada orang lain. Prof. Luthfiyah, dengan segala peran dan dedikasinya, telah memberikan inspirasi bagi banyak orang untuk terus berkarya. Sebagai pemimpin sejati, beliau telah menanamkan nilai-nilai kepemimpinan yang berkelanjutan. Dalam ajaran Hindu, dikatakan:

 

"Seorang pemimpin sejati adalah mereka yang tidak hanya memikirkan dirinya sendiri, tetapi juga kebahagiaan dan kesejahteraan rakyatnya." (Manusmriti 7:8)

 

Dengan demikian, esensi dari husnul khatimah, Qu Zhong Zou Ya, atau konsep lainnya dalam banyak ajaran agama dan filosofi dunia adalah tentang bagaimana seseorang menjalani kehidupan dengan penuh makna, kehidupan manusia diibaratkan sebagai perjalanan yang harus dijalani dengan penuh kesadaran. Baik dalam Islam, Kristen, Hindu, Buddha, Yahudi, Konfusianisme, maupun Stoikisme, ada kesamaan nilai yang menekankan pentingnya hidup dengan penuh tanggung jawab, dan memberikan manfaat bagi sesama. Prof. Luthfiyah adalah contoh nyata dari individu yang telah menempuh jalan hidupnya dengan prinsip ini, memastikan bahwa setiap akhir adalah awal dari warisan yang lebih besar.

Kita semua dapat mengambil inspirasi dari perjalanan hidupnya, tidak hanya sebagai akademisi atau pemimpin, tetapi juga sebagai individu yang selalu berusaha untuk memberikan yang terbaik. Ini adalah warisan yang tidak ternilai, yang akan terus dikenang oleh banyak orang di masa depan. Akhir yang baik bukanlah sesuatu yang terjadi begitu saja, tetapi sesuatu yang harus kita persiapkan sejak awal. Dengan menjalani hidup dengan penuh kesadaran, tanggung jawab, dan kebaikan, kita semua dapat mencapai husnul khatimah dalam versi kita sendiri.

Dalam konsep kepemimpinan yang baik, seorang pemimpin sejati adalah mereka yang mampu mencetak pemimpin baru. Beliau selalu memastikan bahwa setiap ilmu yang diberikan tidak hanya berhenti pada satu generasi, tetapi terus berkembang dan menginspirasi generasi selanjutnya. Prinsip hidup yang beliau jalankan menunjukkan bahwa keberhasilan sejati bukan hanya tentang pencapaian akademik atau jabatan, tetapi tentang seberapa banyak kehidupan yang telah disentuh dan diubah menjadi lebih baik.

Setiap orang memiliki kesempatan untuk meninggalkan warisan yang berharga. Beliau telah menunjukkan bahwa warisan terbaik adalah ilmu, kebijaksanaan, dan inspirasi yang terus hidup dalam diri orang lain. Konsep husnul khatimah menjadi relevan bagi siapa saja yang ingin menjadikan hidupnya lebih bermakna. Ini bukan sekadar tentang bagaimana seseorang meninggalkan dunia, tetapi tentang bagaimana seseorang menjalani kehidupannya dengan penuh nilai dan kebermanfaatan.

Dalam setiap perjalanan hidup, ada tantangan dan rintangan yang harus dihadapi. Namun, dengan prinsip yang kuat dan niat yang tulus, setiap hambatan dapat diubah menjadi peluang untuk terus maju dan berkembang. Beliau telah menunjukkan bahwa pendidikan bukan hanya tentang transfer ilmu, tetapi juga tentang membangun karakter dan menanamkan nilai-nilai kebaikan yang akan terus hidup sepanjang masa.

Hidup yang bermakna adalah hidup yang diisi dengan kontribusi dan dedikasi bagi orang lain. Beliau telah memberikan contoh bagaimana seseorang bisa menjalani hidup dengan penuh kesadaran dan meninggalkan warisan yang tidak ternilai harganya. Setiap orang dapat mengambil inspirasi dari perjalanan beliau, tidak hanya sebagai akademisi atau pemimpin, tetapi juga sebagai individu yang selalu berusaha memberikan yang terbaik dalam setiap aspek kehidupan.

Dengan memahami berbagai konsep mengenai akhir yang baik dalam berbagai agama dan budaya, kita dapat belajar bahwa inti dari kehidupan yang baik adalah memberikan manfaat bagi orang lain. Akhir yang baik bukanlah akhir dari perjalanan, tetapi awal dari warisan yang akan terus hidup dalam hati banyak orang. Semoga kita semua dapat meneladani jejak beliau dalam menciptakan kehidupan yang penuh makna dan keberkahan.

Post a Comment

0 Comments