Menjadi merdeka
adalah sebentuk perjuangan untuk menuju keparipurnaan. Karena untuk merdeka
dibutuhkan perjuangan panjang nan berliku dengan segenap pengorbanan, baik
darah maupun air mata. Makna kemerdekaan itu sendiri tidak hanya berkonotasi fisik
tetapi juga rohani. Mengekang hawa nafsu, berdarma di jalan kebenaran, berani
membebaskan kesengsaraan kaum lain, dan tidak menonjolkan semua laku darma yang
diperbuat adalah jalan menuju insan yang merdeka.
Bukan sebuah kebetulan kata "puasa" mirip dengan kata "puas". Alam seakan memberikan isyarat, bahwa dengan puasalah jalan menuju kepuasan. Menuju insan paripurna. Puasa dalam kisah ini dilakukan dengan tak mau dikenang. Insan tersebut dalam kesempatan kali ini bernama Hariono dan Koesno Wibowo.
Bukan sebuah kebetulan kata "puasa" mirip dengan kata "puas". Alam seakan memberikan isyarat, bahwa dengan puasalah jalan menuju kepuasan. Menuju insan paripurna. Puasa dalam kisah ini dilakukan dengan tak mau dikenang. Insan tersebut dalam kesempatan kali ini bernama Hariono dan Koesno Wibowo.
Mengenang Hariono
dan Koesno Wibowo, dua nama perobek bendera yang tak pernah mau mengakui dengan
beralasan: perobeknya bukan saya, tapi arek arek Suroboyo. Pada
Peristiwa Perobekan Bendera di Hotel Yamato sekarang Hotel Majapahit Surabaya,
Rabu Wage, 19 September 1945. Al-Fatihah untuk beliau berdua.
Ruang 33: tempat
Jendral Faloch (Belanda) berunding dengan Ruslan Abdul Ghani (Surabaya) 71
tahun silam di Hotel Yamato. Menjelang insiden perobekan bendera Belanda.
Rangkuman yang kami
jadikan referensi dari buku: Surabaya, Dimana Kau Sembunyikan Nyali Kepahlawananmu?
oleh Ady Setyawan & Marjolein Van page
Sumber 1:
Insiden perobekan
bendera,
dari versi Ruslan
Abdulgani secara umum terdapat empat kelompok yang terlibat dalam insiden ini.
*) Abdulgani-Knapp , Retnowati, A Fading Dream, The Story of Ruslan Abdulghani
and Indonesia, Hal 101.
Kelompok pertama
adalah para tentara Jepang yang telah menyerah kepada Sekutu . Sejak 15 Agustus
1945 mereka telah diperintahkan Tokyo untuk menuruti semua permintaan pasukan
Sekutu. Kelompok kedua adalah prajurit Belanda dan Inggris dibawah komando
RAPWI (Recovery of Allied Prisoners of War and Internees) yang bertugas
menyelamatkan tawanan perang Sekutu di wilayah jajahan Jepang. Kelompok ketiga
, terpisah dari anggota RAPWI tetapi bersikap pro Belanda adalah orang-orang
dari organisasi IEV ( Indo Europesche Vereniging ) , organisasi bentukan warga
Indo Eropa dari keluarga terpandang di Surabaya. Pimpinan mereka adalah MR
Ploegman , MR berarti Meester in de Rechten atau Sarjana Hukum.
Kelompok keempat
adalah para pemuda Indonesia yang bekerja sebagai staf atau pelayan hotel,
menguping setiap pembicaraan rapat IEV yang dilakukan di kamar no 33. Mereka
melakukan tugas intelijen dimana para “pelayan” ini sebenarnya adalah mahasiswa
kedokteran gigi anggota drg Moestopo. Dengan bantuan teknisi, mereka melakukan
penyadapan saluran telepon hotel untuk mengetahui gerak langkah IEV *) Kelompok
Kerja Sejarah 10 November 1945 , Saat Remaja Meledak Menjadi Dewasa, hal 204
Mahasiswa-mahasiswa
intel inilah yang menyampaikan kepada para pimpinan bahwa IEV berencana
mengibarkan bendera merah putih biru. Mereka benar-benar melaksanakan
pengibaran ini dan tidak sampai lima belas menit, sekitar seratusan massa sudah
berkumpul didepan hotel dan terus bertambah. Yang mencekam, selain para tentara
Kempetai yang berjaga dengan sangkur terhunus juga hadir orang-orang Indonesia
mantan anggota Jibakutai dengan seragam khas mereka berwarna hitam, mereka
berdiri berhadapan *)Pasukan Jibakutai adalah pasukan yang dilatih khusus oleh
Jepang sebagai pasukan elit,pasukan berani mati.
Sumber 2 :
Soewito mencatat
kesaksian Sudi sebagai berikut :
Ditengah
keramaian, Residen Sudirman tiba-tiba datang dengan mobil hitamnya. Masyarakat
yang sudah mengenali beliau langsung memberikan jalan. Pak Residen berjalan
menuju hotel dengan langkah tegap didampingi oleh beberapa pemuda termasuk
Sidik dan Hariyono. Sampai di area lobi, beliau bertemu beberapa orang Eropa
diantaranya Ploegman yang menyatakan bahwa dirinya perwakilan pihak Sekutu di
Surabaya. Sudirman meminta bendera diturunkan, jawaban Ploegman sangat mengiris
hati, orang itu berujar “pasukan Sekutu telah menang perang dan karena Belanda
adalah bagian dari Sekutu maka sudah menjadi haknya mengembalikan pemerintahan
Hindia Belanda”. “Republik Indonesia? Kami tak tahu itu apa!” . Tanpa menunggu
tanggapan Sudirman, Ploegman membalikkan tubuh dan bergegas menuju bagian
belakang hotel dan ketika dia kembali,dia telah membawa sebuah pistol.
Dia mengancam
Residen Sudirman, meneriakkan perintah-perintah kasar. Sidik dan Hariyono menerjangnya
dan berusaha merebut pistol dari tangannya. Dalam pergulatan itu picu pistol
tertekan dan suara tembakan terdengar. Peluru mengenai langit-langit. Hariyono
dengan sigap menarik pak Dirman keluar dan kembali pada mobilnya. Sementara itu
Sidik tetap bergulat dengan Ploegman. Orang Belanda itu mati kehabisan napas
akibat dicekik,kepalanya juga dipukul dengan batang besi.
Suara tembakan
menyebabkan orang-orang Belanda didalam hotel keluar ke lobi. Mereka segera
mengeroyok Sidik yang kemudian mengangkat sebuah sepeda dan memutarnya ke kiri
kanan supaya tidak ada yang mendekat. Seorang belanda menyerang Sidik dengan
sebuah pisau panjang. Sidik terus menggunakan sepeda yang dia cengkeram sebagai
tameng, tapi akhirnya sebuah pisau menancap di badannya dan dia ambruk. *)
Soewito, Rakyat Jawa Timur, Hal 28
Sumber 3 :
M. Jasin dalam
memoarnya menulis :
Sidik bergerak
menyerang Ploegman dan membunuhnya. Akibatnya beberapa anggota bekas tentara
Belanda yang ada di hotel itu membalas serangan Sidik. Perkelahian yang tidak
seimbang itu menyebabkan Sidik tewas akibat terkena sabetan pedang. Saya pikir
Sidik merupakan korban pertama dari perjuangan rakyat Surabaya mempertahankan
kemerdekaan RI. Kejadian itu mendorong Hariyono bergegas membawa Residen
Sudirman keluar dari Hotel Yamato. Setelah mengamankan Residen Soedirman,
Hariyono membantu Kusno Wibowo naik keatas hotel untuk menurunkan bendera
Belanda. Kejadian itu menimbulkan amarah orang-orang Belanda sehingga mereka
melepaskan tembakan beberapa kali. Tembakan itu mengenai kepala Hariyono hingga
ia terjatuh tetapi jiwanya masih dapat tertolong. *) Memoar Jasin Sang Polisi
Pejuang, hal 18
Sumber 4:
Berikut testimoni
dari Budi Tjokrodjojo, salah satu
pimpinan Jibakutai yang juga berada dilokasi. Ditulis ulang dengan perubahan
seperlunya :
Sebagai akibat
pengibaran bendera Belanda menimbulkan kemarahan rakyat Surabaya, baikpun
dikalangan Pemerintah RI karena menganggapnya sebagai tantangan kepada bangsa
Indonesia yang baru saja memproklamirkan Kemerdekaannya itu pada 17-8-1945.
Diantara yang turut marah sebagai anggota masyarakat adalah kelompok bekas
anggota Jibakutai. Kemarahan ini nantinya menjadi serbuan massal terhadap
markas Belanda berupa insiden berdarah disertai perobekan bendera Belanda.
Pokok-pokok
terjadi peristiwa sebagai berikut :
a. Serangan
terhadap Wakil Belanda Mr. Ploegman dikerjakan oleh sdr. Sidik dengan menendang
tangannya yang menodongkan revolver pada Bapak Residen Soedirman pada saat
perdebatan mengenai penurunan bendera.
b. Kemudian
disusul dengan peristiwa perobekan bendera Belanda dikerjakan oleh sdr.
Hariyono, bersama-sama dengan pemuda2 lain.
Jalannya proses A
a. Sebelum terjadi
perobekkan bendera didahului dengan timbulnya clash fisik/perkelahian antara
Wakil Belanda tsb dengan seorang bekas anggauta Jibakutai sdr. Sidik.
b. Perkelahian
ini timbul sesudah perundingan atau debat tentang penurunan bendera macet,
karena pihak Belanda menolak untuk menurunkannya.
c. Pada saat
perundingan sdr. Sidik sudah ada disitu menyaksikan perundingan, berada
disebelah kanan Bapak Soedirman, berdiri. Pada saat perundingan macet Bapak
Soedirman tidak mau meninggalkan tempat.
d. Dengan tiba-tiba
Mr. Ploegman meninggalkan tempatnya keluar. Tetapi dengan cepat dia kembali
dengan membawa revolver langsung menuju pada Bapak Soedirman menodongkannya
sebelum debat dimulai lagi. (Revolver itu dia dapat dari Pos Penjagaan Jepang
terletak disisi Hotel). Melihat todongan senjata yang berbahaya ini bagi sdr.
Sidik tidak pikir panjang. Dengan tiba-tiba pula dia tendang tangan Mr.
Ploegman sehingga senjata tadi mencelat dan meletus pelurunya.
e. Dari akibat
peristiwa ini perundingan bubar. Rakyat yang menyaksikan bubar juga, lari
keluar Hotel. Hanya Sidik tidak lari, karena Mr. Ploegman jadi marah pada Sidik
seketika dan segera timbul perkelaian duel satu lawah satu. Ploegman pakai
pukulan-pukulan, Sidik mengelak tetapi berusaha memiting musuhnya. Dalam
perkelaian ini kemenangan ada dipihak Sdr. Sidik. Ploegman dia cekik
tenggorokkannya sehingga mati lemas, terbunuh.
f. Selesainya
perkelahian ini datang Belanda lain bersenjata pedang, langsung menuju pada
Sdr. Sidik . Didalam hotel dilihat sepeda. Sepeda tadi dia ambil, dia angkat
tinggi untuk perisai. Perkelahian dimulai. Singkatnya, suatu sabetan pedang
dari Belanda tadi dari arah atas kebawah dia tangkis pakai sepedahnya, sehingga
sepedah perisainya putus batangnya. Tetapi pedang Belanda tadi juga patah jadi
dua. Patahan pedang tadi ujungnya mengenai kepala sdr. Sidik sehingga segera
mandi darah. Dalam keadaan demikian sdr. Sidik tidak menyerah, bahkan malahan
mengamuk pada musuhnya. Musuhnya dia amuk pakai sepeda rusak tadi dengan
mengayunkannya pada tubuh Belanda tadi, sehingga Belanda terbunuh juga (dua
Belanda terbunuh olehnya).
g. Malang bagi
Sidik. Peristiwa itu belum habis sampai disitu. Seorang Belanda lain lagi
datang dengan membawa pot besar diangkat tinggi untuk dihantamkan pada tubuh
sdr. Sidik. Karena dia sudah kehabisan tenaga dan nafasnya hampir putus dan
darahnyapun terus keluar membasahi muka dan tubuh, maka dia keluar Hotel.
Keadaan ini baru dilihat oleh rakyat banyak, dan baru mulai bergerak
menolongnya. Belanda tadi disergap rakyat dan terbunuh. Sidik jatuh pungsan.
Ditolong rakyat diangkut kerumah sakit Simpang.
Perhatian:
Mengenai
perkelahian Sdr. Sidik dengan Belanda ini, dia sangat menyesal pada rakyat yang
menyaksikan bersama-sama dengan dia disaat perundingan itu. Mengapa tidak ada
seorangpun yang membantu pada saat duel itu terjadi.
Jalannya proses
B:
a. Setelah proses
A terjadi, mulailah rakyat bergerak melalui pemimpin kelompoknya masing-masing
kearah perobekan bendera. Penyerbuan menjadi massal. Tetapi bagi sdr. Hariyono
tadi (yang kami beri anjuran dan instruksi) dapat berhasil yang pertama-tama
mencapai puncak hotel dimana bendera Belanda itu berkibar dengan cara naik
keatas melalui pundak pemuda-pemuda yang berdiri memanjang keatas berpunduk.
b. Bendera itu
dia turunkan. Kemudian dia robek dengan gigitan gigi sampai 10cm bagian
birunya.
c. Dalam
detik-detik ini pemuda lain sampai juga dipuncak bernama sdr. Koesnowibowo.
Rupanya dia melihat dan memandang cara merobek sdr. Hariyono tadi tidak cepat
dan kurang kuat, maka bendera itu dia rebut dan melanjutkan merobek birunya
dengan tangan. Bagian birunya dia untel2, kemudian dia lempar kebawah.
Kemudiannya bendera yang menjadi “merah-putih” itu mereka kerek bersama-sama
keatas.
d. Peristiwa
perobekkan bendera ini bagi sdr. Hariyono belum habis sampai disitu saja. Pada
saat dia mau turun dia dengar ada tembakan dari arah hotel. Ditengah-tengah
perjalanan turun merasa kepalanya jadi pusing dan keluar darah dari kepalanya.
Hal ini baru dia sadari bahwa tembakan tadi diarahkan padanya, mengenai kepala
bagian atas kiri. Sampai dibawah dia jatuh pingsan. Ditolong rakyat diangkut
rumah sakit Simpang. Hal ini seperti membuat janji saja dengan kawannya ialah
sdr. Sidik tadi yang lebih dahulu diangkut kerumah sakit.
e. Peristiwa
insiden ini pada hari itu juga disiarkan oleh radio RRI dengan jumlah korban
yang pertama-tama. Diantara disebut-sebut juga nama dari sdr. Sidik dan sdr.
Hariyono dalam keadaan luka berat dirawat dirumah sakit Simpang. Berita radio
ini kami disaat itu mendengar sendiri. Kepada eks pengurus PRI lama misalnya
dapat diteliti kebenarannya tentang data kami ini.
Diluar hotel
suasana menjadi sangat kacau. Tentara Kempetai Jepang mulai menyebar membuat
pagar hidup. Tapi ratusan arek Suroboyo yang marah maju menantang dan
mengelilingi mereka termasuk para anggota Jibakutai, siap menghadapi para
tentara Jepang yang dahulu pernah menjadi pelatih mereka. Kusno Wibowo,
Sutrisno dan Hariyono memanjat menara dengan tangga. Setibanya diatas,mereka
menurunkan bendera Belanda, karena tidak menemukan bendera merah putih maka
Kusno dan Hariyono merobek bagian birunya, memanjat kembali tiang bendera dan
memasang bendera merah putih meskipun ukurannya timpang. *) Testimoni Budi
Tjokrodjojo, Arsip DHD 45
Sumber 5 :
Saksi mata
lainnya, Sudi Suyono menuliskan :
Hari Rabu 19
September 1945 sekitar jam 09.00 pagi, bendera Belanda berkibar di Hotel
Oranje. Saat itu saya berada di Kebun Binatang Wonokromo dan mendengar berita
tersebut tersebut langsung mencari trem yang menuju kearah utara. Saya meminta
pengemudi trem dan kondektur untuk segera meluncur menuju depan Hotel dan
diberhentikan disana. Usul saya disetujui seluruh penumpang dan juga pengemudi
trem.
Sampai didekat
Hotel, nampak sekelompok pemuda bekas anggota Jibakutai berkumpul didepan toko
NAM dipimpin oleh Budi Tjokrodjojo. Saya sendiri memberi perintah trem-trem
yang melintasi agar berhenti disekitar Hotel karena nantinya dapat kami gunakan
sebagai perisai atau tempat perlindungan. Saya memperkirakan akan terjadi
sesuatu yang amat dahsyat. Sementara serdadu-serdadu Jepang berjaga dimuka
Hotel, bersiap di halaman namun tidak bertindak apa-apa.
Secara tak
terduga datanglah Residen Sudirman yang segera masuk kedalam Hotel dikawal oleh
dua anggota Jibakutai , Sidik dan Harijono. Budi Tjokrodjojo sedang keluar
menuju markas BKR Kaliasin. Ploegman selaku ketua IEV menemui Residen Sudirman
dan berdialog dengan bahasa Belanda. Ploegman dengan sombongnya bertolak
pinggang didepan Residen Sudirman dan mengatakan lebih kurang “Tentara Sekutu
telah menang perang, karena kerajaan Belanda dan pemerintah Hindia Belanda
adalah bagian dari Sekutu maka berhak menegakkan pemerintahan Hindia Belanda
kembali. Pemerintah Republik Indonesia ? Tidak ada !!”
Sambil berkata
demikian dia keluar menuju pos jaga Jepang dan kembali dengan membawa pistol
dan langsung mendongkannya kearah Residen Sudirman. Sidik yang berdiri tepat
disamping Residen langsung menendang pistol itu dengan kerasnya dan meletus
diudara. Harijono segera menarik Residen keluar dan Sidik terlibat perkelahian
dengan Ploegman.
Karena Sidik
terlatih sebagai pasukan Jibakutai maka dengan mudah ia mencekik leher musuhnya
hingga mati lemas. Seorang Belanda Indo bekas anggota KNIL menyerang dengan
kelewang polisi. Melihat keadaan bahaya tersebut, ia mengangkat sebuah sepeda
laki-laki untuk perisai. Karena kuatnya tebasan maka patahlah sepeda itu dan
patah pula pedang kelewang si Indo. Namun pedang yang patah tersebut melukai
kepala Sidik hingga mengalami pendarahan hebat dan membuatnya pingsan.
Kondisi diluar
gedung sangat memanas, rakyat berteriak agar menyerbu masuk kedalam Hotel. Saya
merasa khawatir pasukan Jepang yang menjaga Hotel akan mengambil tindakan yang
mengerikan, tapi ternyata mereka diam saja. Saya melihat yang pertama berhasil
naik keatas menara adalah Harijanto dengan cara saling naik keatas pundak
dengan kawan-kawannya. Kemudian berdatangan bantuan tangga dari warga kampung
diikuti suara-suara teriakan "Merdeka !! Hidup !! Turunkan bendera musuh
!!".
Harijono yang
sampai atas menara menurunkan bendera dan berupaya merobek warna biru dengan
cara menggigitnya. Karena tampak kesulitan, datang Koesno Wibowo meraih
bendera, merobek warna biru dan mengibarkannya. Bendera berkibar diikuti
sorakan-sorakan rakyat yang begitu emosional dan gegap gempita, mereka kemudian
bersama-sama menyanyikan lagu Indonesia Raya.
Tiba-tiba
terdengar suara letusan tembakan dari arah halaman belakang ruang kamar-kamar
hotel. Tembakan itu dibidikkan kearah Harijono dan mengenai kepalanya sebelah
kiri atas. Dalam keadaan pingsan, Harijono dilarikan ke RS Simpang dimana dia
kembali bertemu dengan sahabatnya, Sidik. Hanya berselang hari, Sidik meninggal
akibat lukaluka yang ia derita. Namun menurut pengakuan Harijono, Sidik masih
sempat berpesan padanya sebelum meninggal : "Mas Har, teruskan perjuangan
kita sampai cita-cita kita tercapai, sampaikan pada yang lain..."
Catatan tambahan
dari Sudi Suyono : "Pada tahun 1971, lebih kurang 26 tahun sejak peristiwa
itu terjadi, saya bertemu Budi Tjokrodjojo dalam keadaan hidup serba kekurangan
, jauh dari kondisi layak dan mengalami kesulitan pekerjaan. Demikian halnya
dengan Harijono yang meskipun sudah sembuh lukanya namun masih sering
mengeluhkan rasa sakit pada kepalanya. Mereka pahlawan revolusi 45 dimana
insiden perobekan itu menggetarkan dunia Internasional untuk kemudian dilupakan
begitu saja. SUNGGUH AMAT MENYEDIHKAN !!"
Dari sisi
Belanda, seorang Sersan bernama Lou Balls menceritakan dalam sebuah wawancara
video dokumenter berjudul Archieve Van Tranen. "Kami para pasukan berada
di halaman dalam, dideretan ruang-ruang hotel. Keributan terjadi di lobi hotel
dan kami tidak tahu pasti apa yang terjadi disana. Satu hal yang pasti, jika
massa menyerbu masuk kedalam hotel, maka kami terpaksa akan menembak. Kami
tentara bersenjata dan harus melindungi diri"
Dalam sesi akhir
wawancara, Sersan Lou Balls mengakui bahwa tindakan mengibarkan bendera adalah
tindakan yang salah. Bisa kita bayangkan bagaimana seandainya saat itu massa
menyerbu masuk kedalam hotel. Tentu korban jiwa akan berjatuhan lebih banyak
lagi.
Dengan adanya
arsip-arsip maupun memoar yang ada, kita dapat menarik garis terang siapa
sebenarnya pelaku perobekan tersebut. Dipikir nalar pun, dengan jumlah massa
sebanyak itu, bukankah aneh jika tak ada yang tahu siapa nama perobeknya?
Setidaknya ada
dua nama yaitu Harijono atau mudahnya dilafalkan Haryono bersama seorang pemuda
lain bernama Koesno Wibowo. Namun mengapa selama ini nama tersebut tak pernah
dipublikasikan dengan jelas?
Hario Kecik
menuliskan dalam memoarnya bahwa ada ratusan orang yang mengaku berada diatas
menara, suatu hal yang mustahil terjadi. Pada bagian lain dituliskan bahwa
Hario mengenal Koesno Wibowo sebagai pribadi yang rendah hati. Setiap kali
menghadapi pencari berita, Koesno selalu menyangkal dengan berkata :
"Perobeknya bukan saya, tapi arek-arek Suroboyo".
0 Comments