Ekspedisi Desa Perbatasan Indonesia-Timor Leste


Jika di bumi memperebutkan batas dan identitas, masih ada langit dengan afinitas yang tak terbatas. Setelah kembali dari Kabupaten Rote Ndao, kami istirahat sejenak di Kupang. Menyelesaikan administrasi penundaan tiket pesawat ke Jakarta. Beruntung ada TAPM Provinsi NTT yang selalu sigap membantu. Penundaan tiket kembali ke Jakarta selama dua hari sesuai arahan Kepala BPSDM-PMDDTT, waktu dua hari untuk meninjau desa di perbatasan Indonesia-Timor Leste.

SebelumnyaEksotisme Budaya Batas Selatan 'Titik Nol' Indonesia

Kami bersiap melakukan perjalanan darat menuju Atambua. Perjalanan ini sebenarnya tidak masuk rangkaian peringatan nawawarsa Undang-Undang Desa. Itu hanya ide spontan Prof. Dr. Luthfiyah Nurlaela, M.Pd. yang sejak lama ingin melihat wilayah perbatasan antara Indonesia dan Timor Leste, sekaligus menyapa Tenaga Pendamping Profesional di sepanjang perjalanan menuju Atambua, ibukota Kabupaten Belu. Ide spontan tersebut datang dari tawaran Kepala Dinas PMD Provinsi NTT, Bapak Viktor Manek.

Pukul 13.00 WITA kami bergerak menuju Atambua. Perjalanan kurang lebih sekitar enam jam dari Kupang. Ada tiga mobil yang akan melakukan perjalan ini, Pak Kadis PMD NTT bersama Pak Alex menggunakan mobil Hilux, memimpin paling depan sebagai penunjuk jalan. Bu Kaban BPSDM-PMDDTT bersama saya dan Mbak Tika menggunakan Innova Reborn, dan Pak Kapus P3MD bersama Mas Adi dan Mas Ghifari.

Suasana terasa berbeda ketika keluar dari wilayah Kota Kupang. Rumah-rumah penduduk dengan arsitektur yang khas memiliki jarak yang tak terlalu dekat. Halaman berumput dan pepohonan yang rindang terlihat nyaman bagi kehidupan. Sekelompok orang berjalan di tepi jalan dengan berbaris rapi. Dan tak jarang tampak hewan ternak menikmati rerumputan di padang rumput yang luas dengan latar belakang perbukitan.

Jalanan yang kami lalui berkelok-kelok, naik turun dan sedikit jalanan berlubang. Ruas jalan ini melintasi perbukitan dan lembah, sehingga tampak pemandangan yang hijau di sana-sini dengan aktivitas sosial masyarakat setempat. Nawacita Presiden Jokowi terasa dalam mewujudkan pembangunan dari pinggiran. Merubah paradigma lama yang menganggap wilayah perbatasan sebagai halaman belakang, kini menjadi berandanya. Infrastruktur layak dan memadai, terlihat dari akses jalan yang mulus. Praktis kami hanya dua kali berhenti istirahat untuk ibadah dan menunaikan hajat.

Sepanjang perjalanan, kami melewati dua kota kabupaten. Nama kota tersebut asing bagi saya, mengingat baru pertama kalinya melakukan perjalanan melintasi daerah ini. Kota Kefamenanu yang biasa dikenal dengan sebutan ‘Kota Sari’, ibu kota kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) dan Kota Soe yang biasa dikenal dengan sebutan ‘Kota Dingin’, ibu kota Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS). Penjelasan tentang kondisi sosial, sejarah dan cerita-cerita menarik sepanjang perjalanan kami dapatkan dari Ori M. Bianome atau lebih akrab dipanggil Legen, driver handal yang mengantar kami dari Kupang ke Atambua dan sebaliknya.

Kami tiba di sebuah hotel di Atambua ketika hari sudah mulai malam. Matahari Hotel sebagai tempat istirahat kami malam ini. Tidak lama setelah kami membersihkan diri, seorang pendamping desa mengabari saya kalau sudah berada di hotel tempat kami menginap. Pak Daniel, koordinator pendamping desa Kabupaten Belu dengan beberapa kawan pendamping desa lainnya membawa beberapa makanan ikan bakar, sambal dan lalapannya. Melihat tampilannya, seperti masakan Lamongan. Benar saja, Pak Daniel membenarkan apa yang saya katakan. Orang Lamongan ada di kota perbatasan, ibu kota Kabupaten Belu: Atambua.

Keesokan harinya, setelah menikmati sarapan, kami melanjutkan perjalanan menuju Desa Perbatasan. Jalanan tampak basah, dan gerimis kecil mengantar kami sampai ke Desa Kabuna, Kecamatan Kakuluk Mesak, Kabupaten Belu. Sampai di desa tersebut cuaca sudah mulai cerah, aroma tanah basah menyeruak, dan puluhan pendamping desa tampak berjajar. Kami disambut oleh Kepala Desa Kabuna dan perangkatnya, serta belasan anak sekolah yang menyajikan tarian likurai sebagai sambutan selamat datang. Tarian ini merupakan tarian untuk menyambut pahlawan yang pulang dari medan perang dengan membawa kemenangan. Di akhir tarian, salah satu penari membacakan kata sambutan dalam Bahasa Inggris yang sangat lancar dan bagus pelafalannya.



Desa Kabuna menjadi desa dengan keterbukaan informasi dan beragam program seperti Posyandu dan Puskesos. Perpustakaan yang berada di kantor desa telah memenangkan lomba perpustakaan nasional terbaik ke-5, dan terbaik pertama se-Provinsi NTT. Kamis-Sabtu terdapat program belajar matematika, bahasa Inggris dan komputer. 

Desa Kabuna sebagai desa terbaik dalam penyaluran dana desa, penyaluran anggaran menggunakan aplikasi CMS. Desa Kabuna sebagai penampung pengungsi eks-Timor Timur yang membuat kemiskinan ekstrem semakin banyak. Pada tahun ini mengurangi kasus stunting dengan BLT dan pemberian susu serta makanan. Peningkatan SDM terbantu dengan adanya Universitas Timor yang terletak tepat di depan kantor desa. Tahun ini Desa Kabuna akan membangun wisata dengan spot tempat khusus untuk kafe, paralayang, camping, wisata-wisata hutan atau gunung.

SelanjutnyaRomantisme Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Mota'ain

Hal menarik yang saya temukan di desa ini adalah Roti Paung. Roti ini berbentuk seperti bapao, namun setelah saya ambil dan mencicipinya, terasa lebih padat dan berisi. Menurut penuturan Pak Kadis PMD NTT dan Pak Kades Kabuna, roti ini berasal dari warga Timor Timur yang eksodus pada masa referendum. Timor Timur yang kini menjadi Timor Leste sebagai koloni Portugis, roti paung sangat mungkin sebagai peninggalan negara tersebut, mengingat karakter roti-roti eropa seperti itu, padat dan berisi.

Post a Comment

0 Comments