Berburu La Galigo di Benteng ‘Fort’ Rotterdam Makassar


La Galigo merupakan karya sastra terpanjang di dunia, ditulis dalam bahasa Bugis menggunakan aksara lontara’. Karya monumental ini kompilasi dari berbagai nyanyian, puisi, dan narasi yang diturunkan dari generasi ke generasi selama berabad-abad. Bercerita tentang penciptaan dunia, asal usul, filsafat, dan tatanan sosial orang Bugis, peristiwa heroik, kisah cinta, hingga pertanian. 

La Galigo bukan sekedar karya sastra, tetapi juga sebuah warisan budaya yang tak ternilai. Manuskrip ini berperan penting dalam membangun identitas dan rasa kesatuan masyarakat Bugis, menjadi inspirasi bagi berbagai kegiatan. Tidak hanya itu, penamaan ‘La Galigo’ digunakan sebagai nama museum yang terletak di dalam Benteng ‘Fort’ Rotterdam Makassar.



Kami ditemani oleh seorang tour guide lokal yang menjelaskan panjang lebar tentang benteng ini. Benteng Rotterdam awalnya dibangun pada tahun 1545 oleh Raja Gowa ke-9 yang Bernama Daeng Matanre Karaeng Tumapa’risi’ Kallonna. Setelah kekalahan Kesultanan Gowa dalam Perang Makassar, pada tahun 1667 benteng ini diserahkan kepada Belanda sebagai bagian dari Perjanjian Bungaya. Pada periode setelahnya, benteng dibangun kembali secara keseluruhan atas Prakarsa Laksamana Belanda, Cornelis Speelman, untuk menjadi pusat kekuasaan colonial Belanda di Sulawesi. Penamaan Fort Rotterdam dinamai pada masa ini sebagai pengingat kota tempat lahir Speelman, sebelumnya benteng ini Bernama Benteng Ujung Pandang.



Batuan yang digunakan untuk membangun benteng ini diambil dari Pegunungan Karst yang ada di Maros, batu kapur dari Selayar, dan kayu dari Tanete dan Bantaeng. Setelah Perang Jawa (1825-1830), Pangeran Diponegoro dipenjara di benteng tersebut setelah diasingkan ke Makassar pada tahun 1830 hingga kematiannya pada tahun1855. Benteng ini juga digunakan sebagai kamp tawanan perang Jepang selama Perang Dunia II.

Di dalam benteng terdapat tiga belas bangunan, sebelas di antaranya adalah bangunan asli benteng abad ke-17, sebagian besar kondisinya bagus. Kediaman gubernur di sudut paling barat laut dijuluki sebagai Rumah Speelman, meskipun Speelman tidak pernah tinggal di situ. Rumah Speelman sekarang menjadi bagian dari Museum La Galigo yang menyimpan koleksi manuskrip dan benda-benda sejarah.



Kunjungan ke benteng kami lakukan di hari terakhir sebelum kembali ke Jakarta. Tentu kunjungan ini bersama Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia dan Pemberdayaan Masyarakat Desa, Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, Prof. Dr. Luthfiyah Nurlaela, M. Pd., yang dipandu oleh Kepala Balai Pelatihan dan Pemberdayaan Masyarakat Makassar, Drs. Andi Muhammad Urwah, M.Si atau lebih akrab dipanggil Pak Ochang, dan Kasubag TU Balai Makassar, Andi Syarif Hidayatullah Aksa, S.STP, M.Tr.IP.

Setelah mengunjungi benteng, kami menuju sebuah tempat yang menyediakan makanan khas Makassar, Es Pisang Hijau dan Coto Makassar. Makanan yang menjadi identitas Makassar. Sebelumnya, kami menikmati cemilan pisang goreng yang dihidangkan dengan sambel, dilengkapi dengan saraba, minuman dengan sari jahe dan rempah yang dicampur susu. Cukup menghangatkan tubuh kami setelah perjalanan lintas provinsi dari Makassar-Polewali Mandar PP dalam kerja-kerja pemberdayaan masyarakat desa.

Post a Comment

0 Comments