Pancasila La Raiba Fih (Part 5)

Yudi Latief* - “Jika nasionalisme Eropa muncul dengan menendang agama keluar dari ideologi negara, maka Indonesia merdeka dengan spirit agama. Pancasila sebagai dasar negara dalam mewujudkan keadilan sosial, dengan dasar keyakinan bahwa ada satu kekuatan yang menguasai alam semesta, tan kena kinaya ngapa, Ketuhanan Yang Maha Esa.”

Banyak tokoh nasional yang muncul dari kalangan santri ataupun dari keturunan alim ulama. Soekarno mengaji pada HOS Tjokroaminoto yang merupakan pendiri Syarikat Islam. Pak Hatta, tokoh sederhana yang tetap kukuh dengan Islamnya walaupun berada dengan lingkungan yang non muslim. Ibaratnya, berislam bukan seperti memakai gincu. Orang tahu akan merahnya tetapi tidak merasakan gincunya. Berislam seperti air laut, ada asinnya akan tetapi tidak terlihat garamnya. Selain tokoh di atas, Dr. Tjiptomangunkusumo yang jika dirujuk silsislahnya merupakan keturunan wali giri (Gresik).

Salah satu kontribusi santri di awal perjuangan Indonesia adalah jaringan santri, antara guru dan  murid. Di awal perjuangan kemerdekaan, santri berkontribusi untuk kemerdekaan. Begitu juga hari ini, negara membuthkan kaum santri untuk menyelamatkan Indonesia dari kekacauan.

Indonesia adalah negara kepualauan. Dari arti dasarnya, tanah yang berada di atas laut. Semua itu terikat dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika. Pada dasarnya, makna Bhineka Tunggal Ika adalah berbeda tentang nama suatu hal, akan tetapi tetap sama tentang hal generalnya. Seperti Indonesia yang berbeda-beda suku, bangsa, agama, dan adat namun semuanya disatukan dengan identitas Indonesia. Ras di Indonesia merupakan suku yang merupakan perkawinan antara ras mongoloid, kaukasoid, dan sebagainya, sehingga dalam setiap DNA warga Indonesia hampir semua memilki aliran darah dari ras-ras tersebut.

Menurut  Jonathan Hard (2012), ada 6 inti moral yang perlu dimiliki oleh public, yaitu: care, fairness, liberty, loyalty, authority, sanctuaty. Semua inti moral publik di atas telah tercakup dalam Pancasila yang dirumuskan oleh pendiri bangsa Indonesia pada tahun 1945, artinya jauh sebelum penelitian Jonathan Hard tahun 2012.

Jika merujuk pada maqashid syariah, apabila ada pihak yang mempertentangkan Pancasila dengan Islam, maka inti utama maqashid syariah; li mashlahatinnaas, untuk kemaslahatan manusia, maka 5 kemaslahatan utama dalam islam (Dien, Nafs, Nasl. Aqal, Maal) telah terangkup semuanya dalam pancasila. Artinya secara substansial antara pancasila dengan Islam tidak sepadan untuk dipertentangkan. Seperti sebuah menara dengan menara lain, untuk menghubungkan kedua menara dibutuhkan jembatan. Dan Pancasila adalah jembatan yang dibangun untuk menghubungkan agama-agama dan tradisi yang berbeda di Indonesia. Jadi, Pancasila dengan agama sejalan dan tidak saling bersikutan.

Pemaparan berikutnya adalah mengenai Bung Hatta, Yudi Latif mengatakan bahwa beliau sangat mengidolakan Bung Hatta karena akhlak Bung Hatta sangat mulia. Betapa kuatnya prinsip yang telah dipegang oleh Bung Hatta. Pernah suatu kali Bung Hatta ditawari minuman keras yang pada masanya minuman keras lebih murah dibandingkan air dingin/ air es, Bung Hatta tetaplah menolak perbuatan tersebut dan dikenal sangat komitmen terhadap prinsipnya.

Yudi Latif menambahkan bahwa, adanya permasalahan bangsa Indonesia dapat dibantu oleh peran para santri. Santri selayaknya seperti garam, yang tidak terlihat namun bisa dirasakan. Artinya, santri haruslah berperan dalam pembangunan Indonesia. Pemaparan lainnya adalah mengenai konsep dari Bhineka Tunggal Ika, betapa besar, luas, dan banyak kebudayaan serta kekayaan bangsa Indonesia karena Indonesia merupakan perpaduan dari benua Asia dan Benua Australia. Bangsa Indonesia disatukan oleh berbagai budaya yang kaya. Banyak negeri lain ingin menguasai Indonesia karena kekayaannya. Selanjutnya, Yudi Latif banyak memaparkan mengenai Zona Ekonomi Eksklusif dan archipelago beserta bangsa asli nenek moyang Indonesia.

*Yudi Latief, MA, Ph.D, lahir di Sukabumi26 Agustus 1964, adalah seorang aktivis dan cendekiawan muda. Lulus sekolah dasar, beliau meneruskan ke Pondok Pesantren Gontor, Jawa Timur. Setelah itu, beliau kuliah di Bandung dan Australia. Menyelesaikan studi S1 di Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjajaran (Unpad), Bandung pada 1990. Kemudian, beliau melanjutkan S2 Sosiologi Politik tahun 1999 dan S3 Sosiologi Politik dan Komunikasi tahun 2004 di Australian National University (ANU). Lulus kuliah, pada tahun 1991, Yudi Latief menjadi dosen  Universitas Islam Nusantara dan Universitas Padjajaran. Sementara kariernya sebagai peneliti dimulai setelah bergabung dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) saat usianya menginjak 29 tahun. Pada waktu yang sama pula, dipercaya sebagai editor tamu di Center for Information and Development Studies (CIDES), Peneliti senior pada Center for Presidential and Parliamentary Studies (CPPS). Sempat menjadi Ketua Badan Pembinaan Ideology Pancsila (BPIP) Republik Indonesia. Saat ini sebagai ketua di Pusat Studi Islam dan Kenegaraan-Indonesia (PSIK-Indonesia) dan Direktur Eksekutif Reform Institute. Pemikirannya dalam bidang keagamaan dan kenegaraan tersebar di berbagai media, salah satunya dituangkan dalam buku "Negara Paripurna: Historitas, Rasionalitas, Aktualitas Pancasila".

Keberhasilan tidak diukur dari pengakuan orang lain atas karya kita, namun sesungguhnya keberhasilan adalah buah dari benih yang kita tanam dengan penuh cinta. Dimana pun cinta itu berlabuh, maka kebermanfaatan akan selalu tumbuh. Cinta hanyalah kata tanpa bukti, jika kebersamaan tak memberikan arti. Dan kebersamaan tak akan bermakna tanpa pengabdian dengan penuh cinta.
(Manuskrip Accra)


Post a Comment

0 Comments