Yudi Latief* - “Jika nasionalisme Eropa muncul dengan
menendang agama keluar dari ideologi negara, maka Indonesia merdeka dengan spirit
agama. Pancasila sebagai dasar negara dalam mewujudkan keadilan sosial, dengan dasar
keyakinan bahwa ada satu kekuatan yang menguasai alam semesta, tan kena
kinaya ngapa, Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Banyak tokoh nasional yang muncul dari
kalangan santri ataupun dari keturunan alim ulama. Soekarno mengaji pada HOS
Tjokroaminoto yang merupakan pendiri Syarikat Islam. Pak Hatta, tokoh sederhana
yang tetap kukuh dengan Islamnya walaupun berada dengan lingkungan yang non
muslim. Ibaratnya, berislam bukan seperti memakai gincu. Orang tahu akan
merahnya tetapi tidak merasakan gincunya. Berislam seperti air laut, ada asinnya
akan tetapi tidak terlihat garamnya. Selain tokoh di atas, Dr.
Tjiptomangunkusumo yang jika dirujuk silsislahnya merupakan keturunan wali giri
(Gresik).
Salah satu kontribusi santri di awal
perjuangan Indonesia adalah jaringan santri, antara guru dan murid. Di awal perjuangan kemerdekaan, santri
berkontribusi untuk kemerdekaan. Begitu juga hari ini, negara membuthkan kaum
santri untuk menyelamatkan Indonesia dari kekacauan.
Indonesia adalah negara kepualauan. Dari
arti dasarnya, tanah yang berada di atas laut. Semua itu terikat dengan
semboyan Bhineka Tunggal Ika. Pada dasarnya, makna Bhineka Tunggal Ika adalah berbeda
tentang nama suatu hal, akan tetapi tetap sama tentang hal generalnya. Seperti Indonesia
yang berbeda-beda suku, bangsa, agama, dan adat namun semuanya disatukan dengan
identitas Indonesia. Ras di Indonesia merupakan suku yang merupakan perkawinan
antara ras mongoloid, kaukasoid, dan sebagainya, sehingga dalam setiap DNA
warga Indonesia hampir semua memilki aliran darah dari ras-ras tersebut.
Menurut
Jonathan Hard (2012), ada 6 inti moral yang perlu dimiliki oleh public,
yaitu: care, fairness, liberty, loyalty, authority, sanctuaty. Semua
inti moral publik di atas telah tercakup dalam Pancasila yang dirumuskan oleh
pendiri bangsa Indonesia pada tahun 1945, artinya jauh sebelum penelitian
Jonathan Hard tahun 2012.
Jika merujuk pada maqashid syariah,
apabila ada pihak yang mempertentangkan Pancasila dengan Islam, maka inti utama
maqashid syariah; li mashlahatinnaas, untuk kemaslahatan manusia, maka 5
kemaslahatan utama dalam islam (Dien, Nafs, Nasl. Aqal, Maal) telah
terangkup semuanya dalam pancasila. Artinya secara substansial antara pancasila
dengan Islam tidak sepadan untuk dipertentangkan. Seperti sebuah menara dengan
menara lain, untuk menghubungkan kedua menara dibutuhkan jembatan. Dan Pancasila
adalah jembatan yang dibangun untuk menghubungkan agama-agama dan tradisi yang
berbeda di Indonesia. Jadi, Pancasila dengan agama sejalan dan tidak saling
bersikutan.
Pemaparan berikutnya adalah mengenai Bung
Hatta, Yudi Latif mengatakan bahwa beliau sangat mengidolakan Bung Hatta karena
akhlak Bung Hatta sangat mulia. Betapa kuatnya prinsip yang telah dipegang oleh
Bung Hatta. Pernah suatu kali Bung Hatta ditawari minuman keras yang pada
masanya minuman keras lebih murah dibandingkan air dingin/ air es, Bung Hatta
tetaplah menolak perbuatan tersebut dan dikenal sangat komitmen terhadap
prinsipnya.
Yudi Latif menambahkan bahwa, adanya
permasalahan bangsa Indonesia dapat dibantu oleh peran para santri. Santri selayaknya
seperti garam, yang tidak terlihat namun bisa dirasakan. Artinya, santri
haruslah berperan dalam pembangunan Indonesia. Pemaparan lainnya adalah
mengenai konsep dari Bhineka Tunggal Ika, betapa besar, luas, dan banyak
kebudayaan serta kekayaan bangsa Indonesia karena Indonesia merupakan perpaduan
dari benua Asia dan Benua Australia. Bangsa Indonesia disatukan oleh berbagai
budaya yang kaya. Banyak negeri lain ingin menguasai Indonesia karena
kekayaannya. Selanjutnya, Yudi Latif banyak memaparkan mengenai Zona Ekonomi Eksklusif
dan archipelago beserta bangsa asli nenek moyang Indonesia.
*Yudi Latief, MA, Ph.D, lahir di Sukabumi, 26 Agustus 1964, adalah
seorang aktivis dan cendekiawan muda. Lulus sekolah dasar, beliau meneruskan ke Pondok Pesantren Gontor, Jawa
Timur. Setelah itu, beliau kuliah di Bandung dan Australia. Menyelesaikan studi
S1 di Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjajaran (Unpad), Bandung pada
1990. Kemudian, beliau melanjutkan S2 Sosiologi Politik tahun 1999 dan S3
Sosiologi Politik dan Komunikasi tahun 2004 di Australian National University
(ANU). Lulus kuliah, pada tahun 1991, Yudi Latief menjadi
dosen Universitas Islam Nusantara dan Universitas Padjajaran. Sementara
kariernya sebagai peneliti dimulai setelah bergabung dengan Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI) saat usianya menginjak 29 tahun. Pada waktu yang sama pula, dipercaya sebagai editor
tamu di Center for Information and Development Studies (CIDES), Peneliti
senior pada Center for Presidential and Parliamentary Studies (CPPS).
Sempat menjadi Ketua Badan Pembinaan Ideology Pancsila (BPIP) Republik
Indonesia. Saat ini sebagai ketua di Pusat Studi Islam dan
Kenegaraan-Indonesia (PSIK-Indonesia) dan Direktur Eksekutif Reform Institute. Pemikirannya
dalam bidang keagamaan dan kenegaraan tersebar di berbagai media, salah satunya
dituangkan dalam buku "Negara Paripurna: Historitas, Rasionalitas,
Aktualitas Pancasila".
Keberhasilan tidak
diukur dari pengakuan orang lain atas karya kita, namun sesungguhnya
keberhasilan adalah buah dari benih yang kita tanam dengan penuh cinta. Dimana
pun cinta itu berlabuh, maka kebermanfaatan akan selalu tumbuh. Cinta hanyalah
kata tanpa bukti, jika kebersamaan tak memberikan arti. Dan kebersamaan tak
akan bermakna tanpa pengabdian dengan penuh cinta.
(Manuskrip Accra)
0 Comments