الإستقلال في طلب العلم (Part 8)

KH. Nasaruddin Umar* - Dalam kesempatan ini, KH. Nasaruddin Umar memulai pembicaraan bahwa masa depan datang lebih cepat dari yang diperkirakan maka kita harus selalu meninggalkan kebiasaan lama dan melompat lebih tinggi untuk menggapai cita-cita. Kemudian beliau bercerita bahwa selama menjadi mahasiswa di Kanada, beliau masih suka bekerja di kantor pos dan mengajar mengaji di Kedutaan Besar Indonesia di Kanada.

Materi diawali dengan konsepsi turunnya wahyu. Allah SWT telah menurunkan firman-Nya melalui Malaikat Jibril, kemudian disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW. Ayat pertama yang diturunkan Allah ke bumi adalah "Iqra" yang berarti, "bacalah". Allah menyebutkan kata Iqra' secara berulang kali dalam Surah Al-Iqra' tersebut. "Satu kata saja dalam Alquran itu pasti mempunyai makna yang sangat besar," ujar beliau.

Makna Iqra' pertama dalam Surah tersebut adalah how to read, yaitu bagaimana cara kita membaca Alquran dengan baik dan benar, serta dapat mengkhatamkannya. Iqra' yang kedua adalah how to learn, yang berarti tentang bagaimana mendalami Alquran dengan mengetahui artinya, tafsirnya, bahkan takwilnya. Selanjutnya, iqra' yang ketiga adalah how to understand, yaitu bagaimana kita menghayati kitab Allah tersebut. Jadi yang ketiga ini adalah secara emosional dan spiritual. Makna Iqra' yang keempat atau yang terakhir, yaitu bagaimana memukasyafahkan atau menyingkap tabir-tabir di dalam Alquran.  "Jadi, Iqra' Alquran itu sudah disempurnakan oleh Iqra' yang keempat tersebut," jelasnya.

Ia menambahkan bahwa konsep menghatamkan Alquran itu bukan hanya mengkhatamkan 30 juz atau bukan hanya menghafalkan 30 juz saja, tapi bagaimana agar seluruh umat Islam bisa menghatamkan Alquran dengan Iqra' pertama sampai ke empat tersebut. Beliau melanjutkan penjelasan tentang konsep pencari ilmu. Secara etimologi peserta didik dalam bahasa arab disebut dengan tilmidz jamaknya adalah talamid, yang artinya adalah “murid”, maksudnya adalah “orang-orang yang menginginkan pendidikan”. Dalam bahasa arab dikenal juga dengan istilah thalib, jamaknya adalah thullab, yang artinya adalah “mencari”, maksudnya adalah “orang-orang yang mencari ilmu”. Ini sesuai dengan sabda Rasulullah Saw: “Siapa yang menuntut ilmu dan mendapatkannya, maka Allah mencatat baginya dua bagian”. (HR. Thabrani)

Beliau memberikan contoh pola kehidupan salah satu cendekiawan muslim yaitu Ibnu Rusyd yang terkenal dengan karya fenomenalnya yaitu Bidayatul Mujtahid. Yang dijelaskan oleh pemateri bahwasannya Ibnu Rusyd membagi pola hidupnya menjadi dokter di pagi hari, selanjutnya di siang hari menjadi seorang Qadhi, kemudian di sore hari menjadi seorang ahli fiqh dan malam harinya menjadi seorang sufi. Kemudian, pemateri memberikan sebuah nasehat agar memperbanyak sujud diatas sajadah. Beliau memberikan perumpamaan orang yang memperbanyak sujud diatas sajadah dengan berdzikir, berdo’a dan salat seperti bulu-bulu yang berhamburan. Segala jenis permasalahan, kesulitan terpecahkan.
وَتَكُونُ الْجِبَالُ كَالْعِهْنِ الْمَنفُوشِ 
dan gunung-gunung seperti bulu yang dihambur-hamburkan (Al-‘Qariah: 5)
Diakhir sesi beliau memberikan motivasi untuk memperbanyak membaca buku biografi orang-orang besar untuk mengetahui cara mereka menyelesaikan permasalahan. Masih menurut beliau bahwa menjadi Islam moderat adalah dengan memperdalam ilmu pengetahuan. Juga memberikan pencerahan agar tidak menjadi generasi penghancur peradaban, melainkan perintis atau pembangun.

Pada 6 SM sampai 1 M, dunia keilmuan dikuasai oleh orang Barat di antaranya Plato dan Aristoteles. Kemudian, pada 1 M sampai 6 M dunia kelimuan disentuh oleh nilai-nilai agama yang serimg disebut berpaham religionis. Pada tahun ini, para agamis dari berbagai negara mulai mengeluarkan pendapatnya dan menentang pemerintahan yang diktator. Melihat hal itu, pemerintah pun tidak tinggal diam dan mulai membunuh satu-persatu para tokoh agama yang mengeluarkan pendapat yang bertentangan dengan pemerintahan.

Pada zaman dahulu, negara-negara Arab terbagi ke dalam beberapa kelompok berdasarkan bidang keilmuan diantaranya perintis, penikmat, penghancur, dan pembangun. Ilmuwan dalam negara Arab sulit berkembang karena hak-haknya tidak terlindungi bahkan nyawanya terancam oleh otoritas pemerintahan dan ancaman negara barat.

Kemudian, Kiai Nazarudin berpendapat “ Alangkah miskinnya mahasiswa kalau gurunya hanya orang-orang yang hidup (not only for personal teacher)”. Maksudnya, kita tidak hanya bergantung kepada orang-orang yang hidup saja namun berwashilah kepada orang-orang hebat yang sudah wafat. Sebagai contoh, kisah Imam Al-Ghazali dalam menyusun kitab Ihya’ Ulumuddin dimana setiap hadist yang beliau tulis terlebih dahulu ditanyakan kepada nabi Muhammad SAW terkait keshohihannya. Sebanyak 240 hadist yang ditulis oleh  maka sebanyak itulah Imam Al-Ghazali bertemu Nabi Muhammad SAW. Contoh lainnya adalah kisah Nabi Yunus yang berguru pada ikan paus, dan Nabi Sulaiman yang berguru pada Burung hud-hud. Ibnu Arobi dan Nabi Musa yang berguru kepada Nabi Khidir sebagaimana keterangan dalam surat Al-Kahfi ayat 60-82 adalah contoh ilmu yang dipelajari sebagai ilmu laduni.

Dalam menimba ilmu, Prof. Nasar juga berpesan untuk tidak sekedar tilmid (mencari ilmu dan guru), tapi menjadi murid (mencari ilmu Allah). Tidak hanya olah nalar, akan tetapi olah pikir juga harus diperankan. Beberapa adab menimba ilmu yang dipaparkan oleh Prof. Nasaruddin yakni:

Menjaga wudlu
Energi air akan berubah dan memberikan energi. Jangan mengusap air wudlu. Selama air mengalir, sebanyak itu membersihkan dosa-dosa manusia yang berwudlu. Pesan beliau saat berwudlu hayati tiap-tiap air membasuh bagian-bagian tubuh saat berwudlu. Yakini air wudlu tersebut yang membersihkan segala dosa pada tangan, telinga, sampai kaki orang yang berwudlu. 

Seimbang
Ajaran Barat berorientasi pada perkembangan akal, sedangkan ajara Timur berorientasi pada ajaran batin. Prof. Nasaruddin menekankan agar manusia mengkombinasi keduanya dengan seimbang.

Bersih
Bukan hanya bersih secara fisik. Akan tetapi bersih dari dosa-dosa batin agar ilmu mudah masuk ke dalam hati.

Berpasrah kepada Allah
Seluruh persoalan haruslah dicurahkan kepada Allah di atas sajadah. Istiqomah dalam sholat malam.

Mencari panutan atau teladan
Dibalik orang yang sukses pasti telah melewati segala rintangan kehidupan. Pesan beliau, carilah panutan dan ambil pelajaran darinya.



* Prof. KH. Nasaruddin Umar, MA, Ph.D, lahir di ujung Bone, Sulawesi Selatan, 23 Juni 1959. Beliau adalah seorang ulama yang mulai 2018 dipercaya sebagai imam besar Masjid Istiqlal, Jakarta. Saat ini menjabat sebagai komite reviewer pengawasan dana Pendidikan. Beliau menyelesaikan S1 pada tahun 1980 di Universitas Syari’ah Alaudin, Makassar. Kemudian, beliau melanjutkan S2 di UIN Syarif Hidayatullah dan lulus pada 1992. Kemudian untuk  program doktoral, beliau menyelesaikan di kampus yang sama pada 1998. Setelah menyelesaikan program doktoral tidak membuat beliau berhenti untuk belajar, karena setelah itu beliau masih menempuh pendidikan di Montreal, Canada  pada 1993 dan University Leiden, Belanda pada 1994. Semangat belajar beliau ini ditujukan semata-mata karena beliau merupakan sosok yang selalu haus akan ilmu pengetahuan. Selain itu, ingin menunjukkan bahwa walaupun berasal dari desa, tetap bisa berprestasi seperti teman-teman lainnya. Berkat semangat dalam menuntut ilmu yang diimbangi dengan tirakat mendekatkan diri kepada Allah, beliau berhasil mendapatkan gelar lulusan sarjana teladan 1984 dan predikat doktor terbaik 1989. Paper beliau pun berhasil menjadi yang terbaik mewakili  Kanada. Kemudian, Beliau juga ditunjuk sebagai perwakilan sidang PBB di Ganewa, Swiss dengan tema “Perspektif Gender dalam Al-Quran” yang diikuti oleh 32 negara. Beliau adalah pengasuh pondok pesantren Al-Ikhlas yang merupakan pondok pesantren terbaik di Indonesia. Beliau sangat hobi menulis artikel dan makalah, dan aktif menulis di beberapa media seperti Republika, Suara Merdeka, dan Kompas. Karena kepiawaiannya dalam menulis makalah dan artikel, beliau mendapatkan tawaran untuk melanjutkan Pendidikan di lima negara sekaligus pada 1993, yaitu Jepang, Mesir, Paris, Kanada, Belanda, dan Amerika Serikat.  Namun saat itu, beliau memilih untuk melanjutkan Ph.D di Kanada. Selain itu aktif juga sebagai dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, penceramah, dan pengisi acara kuliah subuh di beberapa radio.




Keberhasilan tidak diukur dari pengakuan orang lain atas karya kita, namun sesungguhnya keberhasilan adalah buah dari benih yang kita tanam dengan penuh cinta. Dimana pun cinta itu berlabuh, maka kebermanfaatan akan selalu tumbuh. Cinta hanyalah kata tanpa bukti, jika kebersamaan tak memberikan arti. Dan kebersamaan tak akan bermakna tanpa pengabdian dengan penuh cinta.
(Manuskrip Accra)

Post a Comment

0 Comments