KH. Nasaruddin Umar* - Dalam kesempatan ini, KH. Nasaruddin Umar
memulai pembicaraan bahwa masa depan datang lebih cepat dari yang diperkirakan
maka kita harus selalu meninggalkan kebiasaan lama dan melompat lebih tinggi
untuk menggapai cita-cita. Kemudian beliau bercerita bahwa selama menjadi
mahasiswa di Kanada, beliau masih suka bekerja di kantor pos dan mengajar
mengaji di Kedutaan Besar Indonesia di Kanada.
Materi
diawali dengan konsepsi turunnya wahyu. Allah SWT telah menurunkan firman-Nya
melalui Malaikat Jibril, kemudian disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW. Ayat
pertama yang diturunkan Allah ke bumi adalah "Iqra" yang
berarti, "bacalah". Allah menyebutkan kata Iqra' secara berulang kali
dalam Surah Al-Iqra' tersebut. "Satu kata saja dalam Alquran itu pasti
mempunyai makna yang sangat besar," ujar beliau.
Makna
Iqra' pertama dalam Surah tersebut adalah how to read, yaitu bagaimana
cara kita membaca Alquran dengan baik dan benar, serta dapat mengkhatamkannya. Iqra'
yang kedua adalah how to learn, yang berarti tentang bagaimana mendalami
Alquran dengan mengetahui artinya, tafsirnya, bahkan takwilnya. Selanjutnya,
iqra' yang ketiga adalah how to understand, yaitu bagaimana kita
menghayati kitab Allah tersebut. Jadi yang ketiga ini adalah secara emosional
dan spiritual. Makna Iqra' yang keempat atau yang terakhir, yaitu bagaimana
memukasyafahkan atau menyingkap tabir-tabir di dalam Alquran. "Jadi, Iqra' Alquran itu sudah
disempurnakan oleh Iqra' yang keempat tersebut," jelasnya.
Ia
menambahkan bahwa konsep menghatamkan Alquran itu bukan hanya mengkhatamkan 30
juz atau bukan hanya menghafalkan 30 juz saja, tapi bagaimana agar seluruh umat
Islam bisa menghatamkan Alquran dengan Iqra' pertama sampai ke empat tersebut. Beliau
melanjutkan penjelasan tentang konsep pencari ilmu. Secara etimologi peserta
didik dalam bahasa arab disebut dengan tilmidz jamaknya adalah talamid,
yang artinya adalah “murid”, maksudnya adalah “orang-orang yang menginginkan
pendidikan”. Dalam bahasa arab dikenal juga dengan istilah thalib,
jamaknya adalah thullab, yang artinya adalah “mencari”, maksudnya adalah
“orang-orang yang mencari ilmu”. Ini sesuai dengan sabda Rasulullah Saw: “Siapa
yang menuntut ilmu dan mendapatkannya, maka Allah mencatat baginya dua bagian”.
(HR. Thabrani)
Beliau memberikan
contoh pola kehidupan salah satu cendekiawan muslim yaitu Ibnu Rusyd yang
terkenal dengan karya fenomenalnya yaitu Bidayatul Mujtahid. Yang
dijelaskan oleh pemateri bahwasannya Ibnu Rusyd membagi pola hidupnya menjadi
dokter di pagi hari, selanjutnya di siang hari menjadi seorang Qadhi, kemudian
di sore hari menjadi seorang ahli fiqh dan malam harinya menjadi seorang sufi.
Kemudian, pemateri memberikan sebuah nasehat agar memperbanyak sujud diatas
sajadah. Beliau memberikan perumpamaan orang yang memperbanyak sujud diatas
sajadah dengan berdzikir, berdo’a dan salat seperti bulu-bulu yang berhamburan.
Segala jenis permasalahan, kesulitan terpecahkan.
وَتَكُونُ الْجِبَالُ كَالْعِهْنِ الْمَنفُوشِ
dan gunung-gunung seperti bulu yang dihambur-hamburkan (Al-‘Qariah: 5)
Diakhir
sesi beliau memberikan motivasi untuk memperbanyak membaca buku biografi
orang-orang besar untuk mengetahui cara mereka menyelesaikan permasalahan.
Masih menurut beliau bahwa menjadi Islam moderat adalah dengan memperdalam ilmu
pengetahuan. Juga memberikan pencerahan agar tidak menjadi generasi penghancur
peradaban, melainkan perintis atau pembangun.
Pada 6 SM sampai 1 M, dunia keilmuan
dikuasai oleh orang Barat di antaranya Plato dan Aristoteles. Kemudian, pada 1
M sampai 6 M dunia kelimuan disentuh oleh nilai-nilai agama yang serimg disebut
berpaham religionis. Pada tahun ini, para agamis dari berbagai negara mulai
mengeluarkan pendapatnya dan menentang pemerintahan yang diktator. Melihat hal
itu, pemerintah pun tidak tinggal diam dan mulai membunuh satu-persatu para
tokoh agama yang mengeluarkan pendapat yang bertentangan dengan pemerintahan.
Pada zaman dahulu, negara-negara Arab
terbagi ke dalam beberapa kelompok berdasarkan bidang keilmuan diantaranya
perintis, penikmat, penghancur, dan pembangun. Ilmuwan dalam negara Arab sulit
berkembang karena hak-haknya tidak terlindungi bahkan nyawanya terancam oleh otoritas
pemerintahan dan ancaman negara barat.
Kemudian, Kiai Nazarudin berpendapat “
Alangkah miskinnya mahasiswa kalau gurunya hanya orang-orang yang hidup (not
only for personal teacher)”. Maksudnya, kita tidak hanya bergantung kepada
orang-orang yang hidup saja namun berwashilah kepada orang-orang hebat yang
sudah wafat. Sebagai contoh, kisah Imam Al-Ghazali dalam menyusun kitab Ihya’
Ulumuddin dimana setiap hadist yang beliau tulis terlebih dahulu ditanyakan
kepada nabi Muhammad SAW terkait keshohihannya. Sebanyak 240 hadist yang
ditulis oleh maka sebanyak itulah Imam
Al-Ghazali bertemu Nabi Muhammad SAW. Contoh lainnya adalah kisah Nabi Yunus
yang berguru pada ikan paus, dan Nabi Sulaiman yang berguru pada Burung hud-hud.
Ibnu Arobi dan Nabi Musa yang berguru kepada Nabi Khidir sebagaimana keterangan
dalam surat Al-Kahfi ayat 60-82
adalah contoh ilmu yang dipelajari sebagai ilmu laduni.
Dalam menimba ilmu, Prof. Nasar juga
berpesan untuk tidak sekedar tilmid (mencari ilmu dan guru), tapi
menjadi murid (mencari ilmu Allah). Tidak hanya olah nalar, akan tetapi olah
pikir juga harus diperankan. Beberapa adab menimba ilmu yang dipaparkan oleh
Prof. Nasaruddin yakni:
Menjaga
wudlu
Energi
air akan berubah dan memberikan energi. Jangan mengusap air wudlu. Selama air
mengalir, sebanyak itu membersihkan dosa-dosa manusia yang berwudlu. Pesan
beliau saat berwudlu hayati tiap-tiap air membasuh bagian-bagian tubuh saat
berwudlu. Yakini air wudlu tersebut yang membersihkan segala dosa pada tangan,
telinga, sampai kaki orang yang berwudlu.
Seimbang
Ajaran
Barat berorientasi pada perkembangan akal, sedangkan ajara Timur berorientasi
pada ajaran batin. Prof. Nasaruddin menekankan agar manusia mengkombinasi
keduanya dengan seimbang.
Bersih
Bukan hanya bersih secara fisik. Akan
tetapi bersih dari dosa-dosa batin agar ilmu mudah masuk ke dalam hati.
Berpasrah
kepada Allah
Seluruh
persoalan haruslah dicurahkan kepada Allah di atas sajadah. Istiqomah dalam
sholat malam.
Mencari
panutan atau teladan
Dibalik orang yang sukses pasti telah
melewati segala rintangan kehidupan. Pesan beliau, carilah panutan dan ambil
pelajaran darinya.
* Prof. KH. Nasaruddin
Umar, MA, Ph.D, lahir di ujung Bone, Sulawesi Selatan, 23 Juni 1959. Beliau
adalah seorang ulama yang mulai 2018 dipercaya sebagai imam besar Masjid
Istiqlal, Jakarta. Saat ini menjabat sebagai komite reviewer pengawasan
dana Pendidikan. Beliau menyelesaikan S1 pada tahun 1980 di Universitas
Syari’ah Alaudin, Makassar. Kemudian, beliau melanjutkan S2 di UIN Syarif
Hidayatullah dan lulus pada 1992. Kemudian untuk program doktoral, beliau menyelesaikan di
kampus yang sama pada 1998. Setelah menyelesaikan program doktoral tidak
membuat beliau berhenti untuk belajar, karena setelah itu beliau masih menempuh
pendidikan di Montreal, Canada pada 1993
dan University Leiden, Belanda pada 1994. Semangat belajar beliau ini ditujukan
semata-mata karena beliau merupakan sosok yang selalu haus akan ilmu
pengetahuan. Selain itu, ingin menunjukkan bahwa walaupun berasal dari desa, tetap
bisa berprestasi seperti teman-teman lainnya. Berkat semangat dalam menuntut
ilmu yang diimbangi dengan tirakat mendekatkan diri kepada Allah, beliau
berhasil mendapatkan gelar lulusan sarjana teladan 1984 dan predikat doktor
terbaik 1989. Paper beliau pun berhasil menjadi yang terbaik mewakili Kanada. Kemudian, Beliau juga ditunjuk sebagai
perwakilan sidang PBB di Ganewa, Swiss dengan tema “Perspektif Gender dalam
Al-Quran” yang diikuti oleh 32 negara. Beliau adalah pengasuh pondok
pesantren Al-Ikhlas yang merupakan pondok pesantren terbaik di Indonesia. Beliau
sangat hobi menulis artikel dan makalah, dan aktif menulis di beberapa media
seperti Republika, Suara Merdeka, dan Kompas. Karena kepiawaiannya dalam
menulis makalah dan artikel, beliau mendapatkan tawaran untuk melanjutkan
Pendidikan di lima negara sekaligus pada 1993, yaitu Jepang, Mesir, Paris,
Kanada, Belanda, dan Amerika Serikat.
Namun saat itu, beliau memilih untuk melanjutkan Ph.D di Kanada. Selain
itu aktif juga sebagai dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, penceramah, dan
pengisi acara kuliah subuh di beberapa radio.
Keberhasilan tidak
diukur dari pengakuan orang lain atas karya kita, namun sesungguhnya
keberhasilan adalah buah dari benih yang kita tanam dengan penuh cinta. Dimana
pun cinta itu berlabuh, maka kebermanfaatan akan selalu tumbuh. Cinta hanyalah
kata tanpa bukti, jika kebersamaan tak memberikan arti. Dan kebersamaan tak akan
bermakna tanpa pengabdian dengan penuh cinta.
(Manuskrip Accra)
0 Comments