Kebijakan pengembangan pendidikan diarahkan
pada tiga aspek, yaitu: perluasan akses, peningkatan mutu dan daya saing, serta
tata kelola pendidikan. Perluasan akses merupakan upaya pemerintah dalam
meningkatkan angka partisipasi masyarakat di dunia pendidikan. Peningkatan mutu
dan daya saing merupakan upaya terus-menerus dalam meningkatkan kualitas
pendidikan di semua jenis dan jenjang pendidikan. Sedangkan peningkatan tata
kelola merupakan upaya penataan kelembagaan pendidikan agar bermutu, berdaya
saing dan bermanfaat bagi masyarakat. Salah satu usaha pemerataan akses dan
peningkatan mutu serta daya saing tersebut adalah dengan diselenggarakannya
Program Beasiswa Afirmasi Santri oleh Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP)
Republik Indonesia.
Beasiswa LPDP Santri menjadi bagian dari
afirmasi dalam memperluas akses santri untuk mendapatkan kesempatan belajar di
Perguruan Tinggi terbaik di dalam maupun luar negeri. Kebijakan ini didasarkan
pada fakta posisi strategis pesantren dalam ikut mencerdaskan dan menjaga
kedamaian kehidupan bangsa serta untuk mempercepat ketertinggalan eksistensi
pondok pesantren di bidang sains dan teknologi untuk penguatan tafaqquh fiddin.
Beasiswa LPDP Santri ini berfokus pada upaya mencetak santri ilmuwan yang
mumpuni dalam sains-teknologi dan ilmu pengetahuan agama sekaligus.
Beasiswa LPDP Santri ini baru pertama kali
digulirkan bulan Desember tahun 2018 kemarin dengan total penerima beasiswa
sebanyak 114 orang. Program yang masih terbilang baru lahir ini belum banyak
diketahui oleh masyarakat di lingkungan pondok pesantren. Kebanyakan dari
mereka tidak tahu bagaimana cara mendapatkan beasiswa serta informasi seputar
beasiswa LPDP Santri. Selain itu, penyampaian informasi yang baik
dirasa masih belum cukup tanpa ditunjang oleh pelatihan persiapan dan self motovation training untuk melamar
beasiswa.
Untuk itu, kami
dari PK-144 Cantrikabhinaya Nagarajaya LPDP RI bermaksud menyelenggarakan
kegiatan Talkshow Beasiswa LPDP Santri. Acara ini merupakan salah satu kegiatan
dari rangkaian acara pra PK-144 dalam menuangkan bentuk sosial
terhadap para santri,
mahasantri dan pengurus pesantren di regional Jawa
Timur, Bali, NTB yang membutuhkan bantuan informasi beasiswa serta pelatihan
persiapannya.
Kebijakan pengembangan pendidikan diarahkan pada tiga aspek, yaitu: perluasan akses, peningkatan mutu dan daya saing, serta tata kelola ...
I’m writing this essay to apply for
The 2nd Study Tour “Life of Muslims in Germany-Study Program 2018”
in Berlin-Germany, on July 7th-21st July 2018. Since for
a long time, I have a deep interest in Europe countries especially Germany. I’ve
learned a lot about Europe and Germany geographically. They have four seasons
that is so interesting for an Asian person like me that only know two season
only in my country. Germany is also one of the largest countries in Europe with
total population is about 82 millions people.
Germany is famous with it
contributions to the world in many areas. For example, technology, literacy,
politic, art and even spirituality. Germans is well-known as creative, focus,
efficient, discipline and hard-working people. There are so many Germans that
are well known all entire the world including in Indonesia because of their
contributions. In classical music, there are Ludwig van Beethoven, Mozart,
Johann Sebastian Bach, Johannes Brahms, Scumann and Strauss as composers. I do
love listening their composition. Then there are Karl Marx, a famous
philosopher, that wrote Das Capital.
In cultural field there is Johann Wolfgang von Goethe. In politic, we all know
about Otto von Bismarck, Adolf Hitler and Angela Merkel. Even Albert Einstein
with his well-known relativity theory was born in Ulm, Germany. And recently,
we all know famous Germans actresses like Heidi Klum, Kirsten Dunst and Claudia
Schiffer.
In sport areas, Germany is also
outstanding. Many names like Michael Schumacher, Steffi Graf and Dirk Nowitzki
are well-known in Indonesia. And most of all, Bundesliga is very famous among
Indonesian people. Their football clubs like Bayern Muenchen and Borussia
Dortmund have so many fans here. Names like Oliver Kahn, Mesut Ozil, Franz
Beckenbauer, Michael Ballack or Lewandowsky are very popular. Even, when
Germany became the Champion of World Cup 2014, There were a lot of mothers in
Indonesia that gave her newborn name as Ozil.
Germany is a country with the second
largest muslim population in Europe after France. Islam itself entered Germany
since Ottoman Turk Empire surrounded Vienna with their troops in 1683 but was
defeated then. At that time there were a lot of moslem Turkey soldiers prisoned
and brought to enter Germany. Islam was also broadly learned by Germans
orientalists. Some of them did deep studies about Islam. Heribert Busse (1926)
wrote Die Theologischen Beziehungen des Islam Zu Judentum und Christentum. He
affirmed that Islam was independent from Christian
and Jude’s influences. He actually admitted that there was strong relation
between Islam and Christian-Jude, but he was sure Islam didn’t imitate them.
Gustav Weil (1808-1889) wrote a monumental Historich-Kritische
Einleitung in der Koran (1844) that told about logical chronology in Quran.
Otto Pretzl (1893) who continued his Proffessor’s research, Gothlaf Bergstars
from University of Minns, wrote about variety in Quran reading. Another Quran
researcher was Bergstraesser who reconstructed Quran history.
For me personally, I’m very
interesting to learn about life of muslims in Germany because I used to be
minority when I lived in Bali for about 7 years to finish my medical doctor
degree. Balinese people actually was warm-hearted, humble and friendly people.
They are also very welcome to other people even foreigners. But, Bali bomb
tragedies that happened at 2002 and 2005 hit them quite hard. After the
tragedies, suspiciousness to muslim was increased among them. And I, as a
muslimah that wear hijab, experienced some sceptical attitudes from some of
them.
I have some expectations of being
participant of this program. First, I want to know how Germans muslim handled
the issue that linked terrorism with Islam. Especially because they are
minorities in Germany. Then I want to learn about tolerancy among religions in
Germany. I want to share this tolerancy issue in Madura later, because
Maduranese is well-known as religious muslims and I concider that this issue is
importan for them. Second, I want to learn about economical aspect that Germans
muslims face in Germany. This issue related to my concern in developing
economical aspect and entrepreneurship in Pesantren environment. And third, I
want to learn about Germany health system superficially, related to my concern in
developing health services in Madura.
All of experiences that I will get in
this program surely will be shared extensively. Sure I will take time to
presentate about insights and experiences that I get in front of our students
and santri in all of Pesantren that related to us, especially Nazhatut Thullab
Boarding School Sampang, Mamba’ul Ma’arif Boarding School Jombang and Darul
Ulum Boarding School Jombang. I want to inspire the students to do something
great. And then I will also share my experience to all of mothers in my village
that join in Komunitas Ibu Pembelajar (Learning Mothers Community) Nazhatut
Thullab. I want inspire and motivate them so it can elevate their spirit in
educating their children. Last, I will write down my insights and experiences
to my social media account, especially instagram. I have more than 3000
followers, most of them are students in high school, college or university and
also housewives. Some of them used to say that caption in my instagram inspired
them a lot.
Study Tour Life of Muslims in Germany: Ita Fajria's Motivation Letter
by
www.ardiansyahbs.com
on
08:35
I’m writing this essay to apply for The 2 nd Study Tour “Life of Muslims in Germany-Study Program 2018” in Berlin-Germany, on July 7...
Jerman menganggap dirinya sebagai negara dengan keragaman agama.
Sejak 1950-an Jerman telah menerima sejumlah besar imigran. Saat ini sekitar 4
juta Muslim tinggal di Jerman. Tetapi bagaimana perasaan mereka hidup di negara
sekuler? Pada Juli 2018, 14 perwakilan Indonesia berkesempatan untuk
berpartisipasi dalam perjalanan studi selama 2 minggu di Jerman dan menjelajahi
pertanyaan serupa. Para intelektual muda Indonesia dari berbagai belahan
Nusantara ini bertemu dengan warga Muslim Jerman dan bsa belajar tentang wacana
khusus Islam di Jerman.
Di Berlin, Hamburg dan Gottingen para peserta mengunjungi
institusi Islam di perguruan tinggi dan bertemu dengan perkumpulan dan
organisasi Islam. Di sana mereka memanfaatkan kesempatan untuk mendiskusikan
topik-topik menarik dan hangat dengan ulama Muslim Jerman. Dalam acara sharing
session yang diselenggarakan Goethe Institut di Wisma Jerman (9/5), dua
dari peserta perjalanan studi tersebut, Ita Fajria Romly (Dokter Medis di Pusat
Perawatan Kesehatan, Ponpes Nazhatut Thullab) dan Luhung Achmad Perguna (Dosen
Sosiologi, Universitas Negeri Malang) membagikan kisah perjalanannya selama 2
minggu di Jerman. Acara tersebut juga dihadiri Pak Mike selaku kepala Goethe
Institut.
dr. Ita menceritakan kondisi sosial, keagamaan dan kebudayaan
Jerman. Data menunjukkan bahwa muslim sebagai populasi terbesar diantara
pemeluk agama minoritas dengan prosentase 5% dari jumlah penduduk Jerman.
Jumlah tersebut merupakan susunan dari berbagai sekte diantaranya Sunni, Syiah,
Liberal dan sekte-sekte lain. Sunni masih menjadi yang terbanyak.
Masjid sebagai tempat sentral pusat kegiatan kebudayaan. Agama
oleh pemerintah Jerman dianggap sebagai kultur. Bangunan masjid tidak berbeda
dengan bangunan disekitarnya, tanpa menara, kubah dan identitas seperti pada
umumnya. Sesuatu yang paling mengesankan dalam perjalanan ini menurut dr. Ita
adalah orang-orang Jerman non-Muslim mempunyai Pusat Penelitian Al-Quran Corpus
Coranicum. Bahkan pengetahuan dan wawasan peneliti ini melebihi Muslim
menurutnya.
Mas Luhung selaku dosen sosiologi agama menjelaskan perjalanan
tersebut sesuai dengan perspektif sosiologi. Orang-orang Jerman sebenarnya
lebih fokus mempelajari komunitas Islamnya, bukan Islam secara teologi.
Tantangan yang sebenarnya dalam perjalanan ini adalah terkait makanan, karena
Jerman belum menyediakan destinasi halal tourism, Meskipun demikian, ada restaurant
tertentu yang menyediakan makanan halal. Yang masih menjadi perdebatan hingga
sekarang adalah daging kambing didapat tidak melalui proses penyembelihan,
melainkan dengan disuntik untuk menghindari tumpahnya darah. Warga Jerman
mengganggap bahwa darah adalah salah satu polusi yang harus dihindari.
Dalam penjelasannya, Mas Luhung mengutip quote Muhammad Abduh: I
went to west and saw Islam but no Muslim, I got back to the East and saw
Muslim, but no Islam. Ini menjelaskan tentang kehidupan sehari-hari
masyarakat Jerman yang notabene mayoritas non-Muslim, tetapi justru sangat
mengedepankan kejujuran dan hak-hak sesama. Seperti halnya ketika menaiki
kereta tidak ada penjagaan khusus untuk proses pembayaran dan lain sebagainya.
Hal yang paling mengesankan dari perjalanan ini menurut Mas Luhung ketika
berswafoto di tempat James Bond main film dengan latar belakang quote andalan
para sosiolog.
Di penghujung acara, panitia memberikan bingkisan khusus bagi
peserta yang mampu menjawab pertanyaan. Terpilihlah 10 orang beruntung
diantaranya saya dan presenter kondang Mbak Claudia Cornelia yang juga menjadi
peserta. Dilanjutkan dengan seremoni pemberian hadiah dan berbuka puasa dengan
makanan ala Jerman.
Jerman menganggap dirinya sebagai negara dengan keragaman agama. Sejak 1950-an Jerman telah menerima sejumlah besar imigran. Saat ini...
1.
A deep appreciation of nature
2. An understanding and experience of
different environments and social milieu (village, court, trade/commerce,
religious schools, ets)
3. An ability to communicate and mix with
ease with people from all walks of life particularly farmers
4.
Training in careful administration and
scrupulousness with money/pesantren education
5. A deep root of faith/awareness of the
many levels of existence/spiritual testing (asceticism)
6.
A sense of ease and openness of heart (keikhlasan)
Demikian poin-poin yang disampaikan Profesor Peter Carey tentang Diponegoro. Perkenalannya dengan Diponegoro berawal dari sebuah lukisan yang tak jelas identitasnya di Oxford. Perjalanan panjang keingintahuannya mengantarkannya dalam sebuah perjalanan panjang ke tanah Jawa sampai sekarang. Menurutya, pendidikan sekelas Oxford atau Harvard sekalipun, tidak akan lengkap sebelum seseorang menjalankan laku spiritual Jawa sesuai dengan agamanya masing-masing. Diponegoro menjadi lakon hidup yang cukup menarik, peperangan ideologi pertama menjadi fokus penelitiannya. Diponegoro, musyid Thariqah Syattariyah dengan identitas sawo keciknya. Orang besar tidak besar begitu saja, melainkan berasal dari wong cilik. Semua orang bisa menjadi besar ketika sudah mampu menjawab 3 pertanyaan, siapa saya, dari mana dan mau kemana.
Demikian poin-poin yang disampaikan Profesor Peter Carey tentang Diponegoro. Perkenalannya dengan Diponegoro berawal dari sebuah lukisan yang tak jelas identitasnya di Oxford. Perjalanan panjang keingintahuannya mengantarkannya dalam sebuah perjalanan panjang ke tanah Jawa sampai sekarang. Menurutya, pendidikan sekelas Oxford atau Harvard sekalipun, tidak akan lengkap sebelum seseorang menjalankan laku spiritual Jawa sesuai dengan agamanya masing-masing. Diponegoro menjadi lakon hidup yang cukup menarik, peperangan ideologi pertama menjadi fokus penelitiannya. Diponegoro, musyid Thariqah Syattariyah dengan identitas sawo keciknya. Orang besar tidak besar begitu saja, melainkan berasal dari wong cilik. Semua orang bisa menjadi besar ketika sudah mampu menjawab 3 pertanyaan, siapa saya, dari mana dan mau kemana.
1. A deep appreciation of nature 2. An understanding and experience of different environments and social milieu (village, ...