Bersama Claudia Cornelia, Menangkan Life of Muslims in Germany



Jerman menganggap dirinya sebagai negara dengan keragaman agama. Sejak 1950-an Jerman telah menerima sejumlah besar imigran. Saat ini sekitar 4 juta Muslim tinggal di Jerman. Tetapi bagaimana perasaan mereka hidup di negara sekuler? Pada Juli 2018, 14 perwakilan Indonesia berkesempatan untuk berpartisipasi dalam perjalanan studi selama 2 minggu di Jerman dan menjelajahi pertanyaan serupa. Para intelektual muda Indonesia dari berbagai belahan Nusantara ini bertemu dengan warga Muslim Jerman dan bsa belajar tentang wacana khusus Islam di Jerman.

Di Berlin, Hamburg dan Gottingen para peserta mengunjungi institusi Islam di perguruan tinggi dan bertemu dengan perkumpulan dan organisasi Islam. Di sana mereka memanfaatkan kesempatan untuk mendiskusikan topik-topik menarik dan hangat dengan ulama Muslim Jerman. Dalam acara sharing session yang diselenggarakan Goethe Institut di Wisma Jerman (9/5), dua dari peserta perjalanan studi tersebut, Ita Fajria Romly (Dokter Medis di Pusat Perawatan Kesehatan, Ponpes Nazhatut Thullab) dan Luhung Achmad Perguna (Dosen Sosiologi, Universitas Negeri Malang) membagikan kisah perjalanannya selama 2 minggu di Jerman. Acara tersebut juga dihadiri Pak Mike selaku kepala Goethe Institut.

dr. Ita menceritakan kondisi sosial, keagamaan dan kebudayaan Jerman. Data menunjukkan bahwa muslim sebagai populasi terbesar diantara pemeluk agama minoritas dengan prosentase 5% dari jumlah penduduk Jerman. Jumlah tersebut merupakan susunan dari berbagai sekte diantaranya Sunni, Syiah, Liberal dan sekte-sekte lain. Sunni masih menjadi yang terbanyak.

Masjid sebagai tempat sentral pusat kegiatan kebudayaan. Agama oleh pemerintah Jerman dianggap sebagai kultur. Bangunan masjid tidak berbeda dengan bangunan disekitarnya, tanpa menara, kubah dan identitas seperti pada umumnya. Sesuatu yang paling mengesankan dalam perjalanan ini menurut dr. Ita adalah orang-orang Jerman non-Muslim mempunyai Pusat Penelitian Al-Quran Corpus Coranicum. Bahkan pengetahuan dan wawasan peneliti ini melebihi Muslim menurutnya.

Mas Luhung selaku dosen sosiologi agama menjelaskan perjalanan tersebut sesuai dengan perspektif sosiologi. Orang-orang Jerman sebenarnya lebih fokus mempelajari komunitas Islamnya, bukan Islam secara teologi. Tantangan yang sebenarnya dalam perjalanan ini adalah terkait makanan, karena Jerman belum menyediakan destinasi halal tourism, Meskipun demikian, ada restaurant tertentu yang menyediakan makanan halal. Yang masih menjadi perdebatan hingga sekarang adalah daging kambing didapat tidak melalui proses penyembelihan, melainkan dengan disuntik untuk menghindari tumpahnya darah. Warga Jerman mengganggap bahwa darah adalah salah satu polusi yang harus dihindari.

Dalam penjelasannya, Mas Luhung mengutip quote Muhammad Abduh: I went to west and saw Islam but no Muslim, I got back to the East and saw Muslim, but no Islam. Ini menjelaskan tentang kehidupan sehari-hari masyarakat Jerman yang notabene mayoritas non-Muslim, tetapi justru sangat mengedepankan kejujuran dan hak-hak sesama. Seperti halnya ketika menaiki kereta tidak ada penjagaan khusus untuk proses pembayaran dan lain sebagainya. Hal yang paling mengesankan dari perjalanan ini menurut Mas Luhung ketika berswafoto di tempat James Bond main film dengan latar belakang quote andalan para sosiolog.

Di penghujung acara, panitia memberikan bingkisan khusus bagi peserta yang mampu menjawab pertanyaan. Terpilihlah 10 orang beruntung diantaranya saya dan presenter kondang Mbak Claudia Cornelia yang juga menjadi peserta. Dilanjutkan dengan seremoni pemberian hadiah dan berbuka puasa dengan makanan ala Jerman.

Post a Comment

0 Comments