Irlander Proxy War: Jaka Mada, Pratiloma dan identitas Lamongan


“Gajah Mada, seperti yang sudah banyak ditulis, selalu mengingatkan orang pada Sumpah Amukti Palapa, pemberontakan Ra Kuti, persekongkolan jahat Majapahit, penaklukan Nusantara, dan peristiwa berdarah di alun-alun Bubat yang membangun gambaran luar biasa sosok Perdana Menteri Kemaharajaan Majapahit itu sebagai Panglima Perang yang selalu unggul dalam pertempuran mengalahkan lawan-lawannya. Gambaran umum tentang sosok Gajah Mada sebagai ahli perang – yang sebagian besar bersumber dari Pararaton dan Kidung Sunda serta sejumlah historiografi jenis Babad – tidak pernah berubah sampai saat ini karena telah dibakukan di bangku sekolah  hingga perguruan tinggi”

Demikian kutipan dari exordium buku terbaru Ki Agus Sunyoto yang berjudul Mahapati Mangkhubumi Majapahit Pu Gajah Mada. Buku tersebut di bedah di Aula Salsabila Gedung PWNU Jawa Timur (26/3) dan akan disiarkan TV9. Buku tersebut merupakan kumpulan tulisan beliau di Radar Kediri selama tiga tahun.   

Buku ini mengisahkan silsilah dan perjalanan Gajah Mada dari seseorang yang dianggap bukan siapa-siapa menjadi sosok yang dikenal hingga sekarang karena perjuangannya. Dalam penulisannya, Ki Agus Sunyoto turun lapangan mengumpulkan bukti-bukti sejarah di daerah Lamongan. Perjalanan tersebut bisa disimak di sini Ekspedisi Gadjah Mada di Tanah Kelahirannya.


“Untuk menghancurkan suatu bangsa cukup dengan dua cara, yaitu: Hapus sejarahnya dan lenyapkan bukti materialnya,” kata Ki Agus Sunyoto memulai bedah buku dengan kutipan sejarawan.

“Penjajah berhasil melakukannya, sehingga sampai sekarang orang-orang Indonesia selalu merasa inferior ketika bertemu orang asing. Kisah-kisah yang sebenarnya tidak terjadi, diciptakan penjajah untuk mengadu domba dan menghapus sejarah kejayaan masa lalu seperti Perang Bubat, isu negatif masyarakat Samin dan pembumihangusan Majapahit oleh Raden Patah. Sehingga warga pribumi tidak mempunyai kebanggaan terhadap kejayaan leluhurnya. Menghancurkan makam, melarang ziarah, enggan bertawassul, mudah mensyrikkan dan suka mengafirkan adalah upaya menghapus sejarah. Harapannya dengan adanya buku ini bisa memberikan pandangan baru terhadap sosok Gajah Mada. Selama ini digambarkan oleh penjajah sebagai Panglima Perang yang kejam, tetapi sebenarnya sosok yang cerdik dan seorang pemikir besar.” Lanjutnya.

Perjuangan yang tidak mudah dilalui Gajah Mada atau orang-orang Lamongan mengenalnya sebagai Jaka Mada. Jaka Mada adalah anak yang terlahir dari pernikahan pratiloma, yaitu pernikahan perempuan bangsawan dengan lelaki berkasta rendah. Status anak yang dihasilkan dari pernikahan ini tidak lebih tinggi dari bapaknya. Pelaku pernikahan ini dianalogikan dengan menyisir rambut dari bawah ke atas: merusak tatanan.

Kasta yang mayoritas dipahami sebagai sikap diskrimasi perlu ditinjau kembali sesuai konteksnya. Tatanan sosial pada zaman tersebut dikelompokkan sesuai dengan karakter manusia atau profesinya, diantaranya:
     1.      Brahmana: orang-orang yang tidak punya ikatan dengan dunia dan boleh berbicara agama
     2.   Ksatria: bangsawan atau orang-orang yang tidak boleh memiliki kekayaan pribadi, tapi dijamin hidupnya oleh negara
     3.      Waisya: petani atau orang-orang yang hidup dengan merawat bumi
     4.      Sudra:  saudagar, pedagang, rentenir dll
    5.   Candala: pemburu, tukang jagal, nelayan atau orang-orang yang mencari penghidupan dengan membunuh
     6.      Mleca/Ilalan: Orang asing

Ibunda Gajah Mada merupakan keturunan Kertajaya yang berstatus bangsawan, namun menikah dengan seorang Mongolia yang berstatus orang asing atau ilalan. Sehingga anak yang dilahirkan dari pernikahan tersebut berstatus tidak lebih tinggi dari ayahnya (Jawikepatih). Dalam perjalanan hidupnya, Jaka Mada selalu menghindar ketika bertemu dengan orang-orang yang berasal dari kampungnya. Jaka Mada dianggap sebagai orang asing karena memiliki kulit lebih terang dari orang Jawa pada umumnya.

Ketika meniti karir pun, Jaka Mada mengalami kesulitan. Berkat kain kuning peninggalan leluhurnya, dia pun diterima menjadi prajurit. Kalangan kerajaan sebenarnya tahu bahwa Jaka Mada adalah seorang bangsawan, namun berita itu dirahasiakan sampai di kemudian hari. Jaka Mada masih bukan siapa-siapa, namanya tidak ada yang mengenalnya, sampai akhirnya peristiwa penyelamatan kerajaan di daerah Bedander membawa namanya dikenal dan sedikit demi seditik karirnya meningkat.

Penjajah mengetahui ketangguhan Jaka Mada, karya-karyanya dirahasikan dari warga pribumi. Penyebutan irlander kepada pribumi diambil dari penyebutan kasta ilalan, sebagai upaya politik untuk membangun opini bahwa warga pribumi dengan segala karakternya merupakan kasta rendah, sedangkan warga kulit putih (penjajah) dengan budayanya lebih superior dalam segala hal.

Berdasarkan tatanan sosial tersebut, sampai sekarang Malaysia dan Brunei Darussalam sebagai negara di wilayah Nusantara tidak memperbolehkan penduduk pribuminya menjadi pelayan. Hanya orang-orang asing yang diizinkan menjadi pelayan di negara-negara tersebut.

Mada
Berbagai versi menyebutkan asal usul Gajah Mada. Cerita tutur yang berkembang di Lamongan, menyebutkan bahwa Jaka Mada terlahir di Pangimbang dan menghabiskan masa remajanya di daerah Mada. Wilayah tersebut merupakan jalan utama yang menghubungkan pelabuhan Tuban sebagai pusat perdagangan dengan pusat kerajaan.

Mada dalam bahasa Jawa Kuna mempunyai banyak arti yaitu lembah, seks, amuk atau arogan. Dalam hal ini daerah Mada yang kini masuk wilayah administrasi merupakan daerah lembah. Sumber lain menyebutkan bahwa Gadjah Mada terlahir di tepi Sungai Brantas. Dahulu lebar Sungai Brantas kurang lebih 5 km, namun kini hanya tinggal beberapa meter karena oleh penjajah, di sekitar tepian sungai dijadikan perkebunan tebu.

Selain itu, Mada tergambar dari karakter warga Lamongan yang begitu ambisius dalam mencapai apa yang diinginkannya. Redaksi Palambongan, yang berarti daerah banjir, dalam sebuah prasasti menunjuk wilayah yang sekarang disebut Lamongan. Namun, agar tidak terjadi pertikaian antara anak permaisuri dan selir. Kerajaan memindahkan Wirabhumi dengan mengadakan bedol desa ke daerah timur yang sekarang dikenal sebagai Blambangan. Secara arti wilayah Blambangan di Banyuwangi tidak cocok karena jauh dari laut atau sungai sehingga tidak memungkinkan untuk terjadi banjir.

Warga di wilayah Lamongan, sejak dulu merupakan pemberani untuk membela kerajaan. Oleh karenanya, banyak ditemukan prasasti-prasasti yang menunjukkan keistimewaan daerah ini. Jambore kebudayaan mengungkap hal tersebut. Sebagian sumber juga menyebutkan bahwa Raja Airlangga masa pendidikannya berada di wilayah Lamongan.

Post a Comment

0 Comments