Sang Amengku Bumi Gadjah Mada, tidak dilahirkan dalam
lingkungan yang nyaman dan berkecukupan.
Jalan hidupnya penuh perjuangan, pengabdian dan pengorbanan. Jiwa raganya
tegak. Langkahnya penuh makna. Karyanya nyata dan mampu mempersatukan
Nusantara. Tokoh panutan yang lahir di Lamongan. Tokoh ideal generasi milenial.
Ekspedisi Gajah Mada merupakan perjalanan napak tilas
masa kecil Gadjah Mada yang oleh masyarakat setempat dikenal sebagai Joko Modo.
Pagi sebelum perjalanan napak tilas ekspedisi Gajah Mada di tanah kelahirannya
(8.10), saya berdiskusi dengan Ki Agus Sunyoto di rumah dinas Bupati Lamongan. Beliau
menjelaskan panjang lebar tentang kondisi yang memprihatinkan bangsa Indonesia
yang tidak memiliki sosok pemimpin sejati.
Sosok leluhur yang dikaburkan dari ingatan masyarakat
Indonesia, membuat hilangnya kepercayaan diri dan rasa bangga menjadi bangsa
Indonesia. Hal itu bisa dilihat dari nama pemberian orang tua milenial yang
kebarat-baratan atau kearab-araban, juga generasi muda yang menggandrungi
budaya luar, mulai dari K-Pop, cinema India, dan parahnya sebagian yang lain malu
menggunakan adat budaya sendiri.
Ekspedisi dimulai dari Pendopo Lokatantra Kabupaten
Lamongan. Panitia memberikan arahan kepada peserta agar berkendara secara rapi.
Ekspedisi ini akan dikawal oleh pihak kepolisian menggunakan mobil patwal.
Bendera merah putih yang dipasang dan sirine mobil memecah konsentrasi setiap
penduduk. Sepanjang perjalanan, rombongan ekspedisi mendapat penghormatan dari
penduduk.
Titik pertama tujuan ekspedisi adalah tempat kelahiran
Gadjah Mada, yaitu Dusun Cancing, Desa Sendangrejo yang sekarang masuk
Kecamatan Ngimbang Kabupaten Lamongan. Di tempat ini ada situs Gunung Ratu yang
dipuncaknya terdapat makam ibunda Mahapatih Gadjah Mada, Eyang Ratu Dewi Andong
Sari. Selain itu juga ada makam prajurit bernama Kucing Condromowo dan Garangan
Putih. Dan tidak jauh dari kompleks makam ada Sendang Sidowayah yang airnya
tidak pernah surut dan jernih. Untuk menuju ke puncak, pengunjung harus
melewati anak tangga yang cukup menanjak dan melelahkan.
Pak Jumain selaku juru kunci mengatakan bahwa situs
Gunung Ratu baru dibuka tahun 1999. Beberapa tokoh nasional silih berganti
mengunjungi tempat ini. Menurut keterangan Ki Agus Sunyoto, daerah ini
merupakan perkampungan prajurit. Cancing pada zaman itu adalah nama krincingan
emas yang digunakan untuk mengetahui dan mengukur arah mata angin.
Dewi Andong Sari merupakan salah satu selir Raden
Wijaya. Perhatian raja kepada Dewi Andong Sari membuat selir yang lain merasa
cemburu. Dikirimlah Kucing Condromowo dan Garangan Putih untuk menyingkirkan
Dewi Andong Sari dari istana. Sampai di gunung ini, dua pengawal itu tidak
sampai hati mengakhiri riwayat Dewi Andong Sari. Di Sendang Sidowayah kedua
pengawal tersebut memberikan kesempatan Dewi Andong Sari untuk mencuci muka dan
membersihkan diri.
Gadjah Mada mengawali hidupnya dengan kebingungan. Dia
memiliki kulit yang cerah, berbeda dengan masyarakat sekitar yang berkulit sawo
matang. Pada zaman itu, orang asing dianggap kasta bawah. Warga pribumi yang
berkulit sawo matang mempunyai kasta tertinggi dan lebih berhak mengambil peran
di segala lini kehidupan. Apa yang dialami Gadjah Mada sebagai konsekuensi
pernikahan pratiloma, yaitu pernikahan yang dilakukan oleh wanita berkasta
tinggi dengan lelaki berkasta di bawahnya. Anak yang dilahirkan dari pernikahan
ini mempunyai kasta tidak lebih tinggi dari ayahnya.
Kasta tinggi yang diterima Dewi Andong Sari karena
Dewi Andong Sari adalah cucu Raja Kertanegara. Ketika raja melakukan invasi ke
daerah, raja menikahi seorang gadis desa. Tidak sampai melahirkan, raja
meninggalkan perempuan tersenut dengan kain dadar, kain yang menunjukkan bahwa
keturunannya adalah keturunan raja. Padmi yang memberitahu Gadjah Mada bahwa
kain yang dimilikinya sama dengannya.
Karir Gadjah Mada dimulai sebagai Patih Kahuripan,
kemudan Patih Daha dan selanjutnya sebagai Mahapatih Mangkubumi. Gadjah Mada
bukan orang sembarangan, dia menulis sendiri Prasasti Gadjah Mada untuk
pembangunan sebuah candi. Gadjah Mada dikenal dengan seorang yang tidak mau
istirahat sebelum tugas atau impiannya tertuntaskan. Gadjah Mada juga mampu
menyempurnakan Kitab Hukum Majapahit yang digunakan generasi setelahnya. Kitab
tersebut menjadikan inspirasi Belanda sehingga lulusan hokum Utrecth University
akan mendapatkan Medali Gadjah Mada jika mampu menyelesaikan pendidikan jenjang
doctoral.
Selain itu, Gadjah Mada juga menulis buku Asta Dasa
Kotamaning Prabu yang berisi 18 kriteria yang harus ada dalam sosok seorang
pemimpin, yaitu: Wijaya, Mantriwira, Natangguan, Satya Bakti Prabu, Wagmiwak,
Wicaksaneng Naya, Sarjawa Upasama, Dirosaha, Tan Satresna, Masihi Samasta
Buwana, Sih Samasta Buwana, Negara Gineng Pratijna, Dibyacita, Sumantri, Nayaken
Musuh, Ambek Parama Art, Waspada Purwa Arta, Prasaja. Terlepas dari semua itu, Gadjah Mada bukan tanpa
celah. Dia lupa bahwa manusia tidaklah kekal, sehingga tidak mendidik generasi
penerus yang mewarisi kesaktiannya.
Titik yang kedua adalah Dusun Bedander Desa Sumbergondang
Kecamatan Kabuh yang sekarang masuk wilayah administrasi Jombang. Berawal dari Joko
Modo diterima sebagai prajurit. Ketika Majapahit krisis, Joko Modo diangkat
sebagai pemimpin pasukan gajah. Wilayah
ini pernah menyelamatkan Raja Jayanegara yang kemudian diganti oleh adiknya
Tribuanatunggadewi. Pada masa ini pemerintahan dipindah ke Bangsal dan Turi.
Titik ketiga Dusun Bowo Desa Cangkring yang sekarang
masuk wilayah Kecamatan Bluluk Kabupaten Lamongan. Ditemukan batu andesit yang
diperkirakan bekas bangunan suci. Prasasti Bluluk sekarang berada di museunm
nasional. Pada zaman Singosari, daerah
ini merupakan wilayah pertahanan untuk mengamati lalu lintas perdagangan.
Wilayah sima atau perdikan karena memelihara bangunan suci.
Titik keempat berada di daerah Modo. Terdapat punden
yang menunjukkan bahwa Gadjah Mada
beragama Kapitayan yang merupakan agama Jawa Kuna (sebelum Hindu-Buddha). Literatur
belanda menunjukkan situs ini megalitik. Orang Jawa tidak mengenal dewa,
melainkan melakukan ritual sembahyang untuk Taya. Dalam bahasa Kawi Taya
bermakna kosong atau suwung. Maksudnya, orang Jawa sebisa mungkin mengosongkan
hati dari keterikatan duniawi. Ditempat ini Gadjah Mada bertemu sosok yang
tampak nggak waras yang selalu muncul ketika menghadapi kesulitan.
0 Comments