Judul di atas bernada provokatif. Memang,
sengaja pemilihan kata “menolak bodoh” digunakan untuk merespons kondisi
masyarakat kekinian yang tengah disesaki beragam informasi sampah, baik yang menyoal
isu politik, sosial, maupun agama. Kenyataan ini semakin tak terelakkan, karena
berita sampah yang diproduksi pihak-pihak tertentu selalu dibumbui fanatisme
pilihan politik dan dipermanis dengan dalil-dalil keagamaan. Ironisnya,
narasi-narasi yang tidak benar itu diviralkan secara berulang, sehingga
informasi yang awalnya menyesatkan, lama-lama mulai diyakini (seolah-olah
menjadi benar) sebagian besar orang yang tidak biasa mengkonfirmasi segala
informasi yang masuk, terutama melalui media sosial.
Jadi, dapat kita pastikan
bawa media sosial benar-benar berisik saat ini. Penuh ujaran kebencian,
olok-olok, dan artikel yang tak bisa dipertanggungjawabkan. Jejaring ini,
mulanya diharapkan akan menjadi medium bagi munculnya gerakan sosial baru, tapi
saat ini yang terjadi malah membuat gaduh dan tidak produktif sebagai ruang
berdiskusi. Saya ingin menceritakan pengakuan salah seorang teman yang
bekerja di salah satu lembaga survei politik ternama di Jakarta. Sebagaimana wajarnya
pekerjaan politik, dia mesti membuat kliennya (bisa anggota DPR, calon gubernur
atau menteri tertentu) naik panggung, populer, dan bersiap bila ada manuver
dari “lawan-lawan” politiknya. Untuk itu, salah satu tugasnya adalah
memproduksi artikel dan membuat meme yang punya kecenderungan mendukung dan
mencitrakan popularitas seorang klien politik.
Setiap hari, menurut
pengakuannya, dia bisa menyelesaikan 3 hingga 5 artikel. Agar tampak ilmiah,
tulisan dibumbui dengan berbagai data atau laporan yang kira-kira mengangkat
popularitas klien. Dia menjelaskan,
artikel yang ditulis
juga bisa berorientasi sebaliknya, seperti perkataan yang mengolok-olok dan
mengungkit berbagai kasus/skandal yang pernah dibuat lawan politiknya.
Setelah proses penulisan
artikel selesai, giliran tim buzzer yang bekerja membagikan tulisan ke berbagai
jejaring sosial, seperti WhattsApp, Facebook, Twitter dan Blog. Perlu
diketahui, satu proyek pencitraan politik, bisa melibatkan 5 hingga 20 buzzer (tergantung
jangkauan suara yang dibutuhkan dan kesepakatan harga, tentunya). Masing-masing
buzzer memiliki koneksi dengan komunitas blogger dan selebgram. Tak pelak, bila
satu lembaga konsultan politik, bisa memiliki ratusan akun sosial media yang
khusus untuk proyek-proyek seperti ini.
Tak cukup itu, setelah
dilempar ke ratusan akun media sosial, pasti ada saja orang yang berkomentar,
memberi tanggapan, dan membagikan ke berbagai grup yang dipunyai. Kondisi ini
diperparah dengan munculnya sejumlah portal online yang bernada satir. Jadi,
bisa dibayangkan bagaimana sesaknya saluran media sosial hari ini dengan
banyaknya artikel bodong tersebut.
Jejaring sosial telah
membikin ruang tersendiri di hati para generasi milenial. Kehadirannya seolah
mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat. Awalnya hanya iseng,
ikut-ikutan membagi artikel tertentu, tapi siapa yang sangka ada saja pihak
yang tersinggung, sehingga menjadikan ruang maya ini sebagai ajang perdebatan
sengit. Berbagai umpatan dan narasi sampah memenuhi dinding-dinding media
daring. Akibat tidak bijak menggunakan media sosial, seseorang berani
dan seenaknya mencaci maki orang lain yang berbeda pendapat. Untuk kasus ini,
bisa kita melihatnya pada kebencian netizen terhadap cendekiawan muslim Ahmad
Syafi’i Maarif beberapa waktu sedang bergulirnya kasus penistaan agama oleh
Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Buya Syafi’I mendapat olok-olok hebat dari warga
dunia maya.
Kasus lain, yang masih
hangat di telinga kita, adalah problem yang menjerat Saracen yang menjadikan
media sosial sebagai wahana propaganda kebencian secara terorganisir.
Diketahui, bahwa dalam praktiknya, sindikat Saracen ini mengoperasikan 800 ribu
akun untuk menyukseskan pesanan kliennya. Tak heran bila ruang maya yang kita kenal
sekarang ini sesak dengan olok-olok.
Meski telah dibuat aturan
sedemikian rupa, namun hiruk-pikuk media sosial yang dipenuhi dengan artikel
dan gambar meme bernada satir tetap saja merebak. Akun-akun yang tidak
bertanggung jawab dan sejumlah pihak yang tak bisa bersikap bijak menahan
jari-jarinya untuk menulis sesuatu yang menyinggung orang lain terus saja
memperburuk wajah demokrasi di Indonesia.
Dilema Gerakan Sosial Baru
Pada mulanya, kemunculan
media sosial diharapkan bisa menjadi medium bagi terciptanya ruang demokrasi yang
lebih luas. Jejaring sosial dapat dijadikan sebagai tempat pergerakan sosial
baru, seperti yang pernah terjadi di Tunisia, Mesir, Yaman dan Libya. Dengan
memobilisasi wacana di dunia maya, pada akhirnya menggerakkan masyarakat untuk terjun
ke jalan dan ikut melakukan gerakan revolusi.
Di Indonesia, sejujurnya
media sosial telah beberapa kali mengambil peran penting dalam menyuarakan aspirasi
rakyat. Yang bisa diambil contoh ialah kasus Prita Mulyasari dengan Rumah Sakit
Omni International. Gerakan “Koin untuk Prita” tersebar dengan cepat melalui Facebook
dan Twitter, sehingga mendorong dukungan dan simpati publik kepada Prita.
Kemudian, ada “Cicak vs Buaya”, yaitu perseteruan antara KPK dengan Kepolisian yang
juga menjadi perbincangan hebat di media sosial kala itu. KPK pun mendapatkan
dukungan banyak pihak sebagai hasil dari informasi yang beredar di dunia maya.
Sayangnya, lambat laun,
publik mulai bersikap tidak dewasa dalam menanggapi berbagai persoalan
kebangsaan di media sosial. Alih-alih bersikap kritis-transformatif, tapi
justru ujaran yang ditulis di berbagai akun-akun itu menuai kontroversi,
sarkas, bahkan menyinggung etnis, golongan, agama dan ras tertentu. Sekolah Menulis Kritis Locus Perdamaian.
0 Comments