Stuntname: Ki Hajar, Ibnu Hajar, Siti Hajar dan Batu Perdamaian Hajar Aswad


Tulisan ini hanya sekedar refleksi peristiwa masa lalu. Tidak ada unsur provokasi untuk meragu-ragukan apa yang telah Anda yakini, dan tidak berusaha meyakinkan apa yang Anda ragukan. Walaupun setiap orang berhak meragukan segala sesuatu sebagai pondasi dasar pengetahuan, karena tanpa melalui proses ragu-ragu pengetahuan menjadi rapuh.

Nama Ibrahim atau Abraham yang mempunyai kemiripan morfologi dengan istilah Brahmana bisa diklaim sebagai sosok yang sama, titik temu antara agama-agama semit dan agama-agama arya. Demikian juga pemaknaan istilah ‘din’ dan ‘millah’ sangat mempengaruhi karakteristik pola beragama setiap orang atau komunitas tertentu.

Kata din yang diterjemahkan sebagai agama dalam bahasa Indonesia perlu ditinjau kembali, istilah agama sendiri merupakan serapan dari bahasa Sanskrit yang berarti tidak kacau (a: tidak, gama: kacau). Namun seiring berkembangnya zaman, simbol agama digunakan sebagai alat untuk menimbulkan kekacauan.

Kekacauan ini mungkin karena pemerolehan agama yang berdasarkan ‘keturunan’, tanpa melalui proses ragu-ragu seperti apa yang dialami Ibrahim. Tidak sedikit yang salah paham dan tidak bisa membedakan antara syariat dan fiqih. Begitu pula dengan istilah religious dan spiritual, beda tapi terkadang disamakan. Memahami istilah-istilah itu memang tidak semudah memakan sate, gule atau rendang. He he he he he

Peran stunt-animal (domba) yang rela menggantikan salah satu putra Ibrahim ikut serta membangun kebiasaan menyembelih hewan kurban di masa kini. Namun, siapa sosok putra Ibrahim yang rela disembelih itu? Apakah Ismail (menurut Islam) atau Ishaq (menurut Christian dan Jewish)? Kita yang hidup di masa sekarang dapat dipastikan tidak mengalami peristiwa itu secara langsung, yang jelas kita menerima informasi sejarah tersebut menjadi bagian dari dogma agama yang tertulis dalam dokumen-dokumen dan disampaikan oleh pemuka agama.

Terlepas dari semua itu, kewajiban kita adalah menghormati guru dan setiap keyakinan yang ada dengan tetap terus belajar dan berproses dalam pencarian. Terbuka dengan setiap pengetahuan yang datang. Kita boleh tidak meyakini suatu pengetahuan, tapi menolak datangnya pengetahuan adalah pangkal kebodohan. Pondasinya, tak perlu menjelekkan orang lain untuk menyebut diri atau kelompok sendiri yang terbaik.

Seperti sosok Siti Hajar, ibunda Nabi Ismail yang disebut sebagai budak rendahan dalam beberapa literatur. Ini adalah upaya menjelekken orang atau kelompok lain yang meyakini Siti Hajar sebagai sosok wanita mulia.  Faktanya, Hajar dalam Qishash Al-Anbiya’ karya Ibnu Katsir adalah seorang putri bangsa Qibthi (Mesir), kisah lain menyebutkan Hajar adalah seorang anak Raja Maghrib (Marocco) yang menjadi tawanan setelah kerajaan ayahnya ditaklukkan. Kemudian Hajar diminta untuk membantu rumah tangga Ibrahim. Karena Siti Sarah telah berusia lanjut dan Ibrahim belum dikaruniai keturunan, dipersuntinglah Siti Hajar.

Sosok Siti Hajar di masa selanjutnya menurunkan penutup para Nabi, Muhammad SAW. Sosok yang dikenal kejujurannya. Namanya semakin masyhur dalam peristiwa pemindahan Hajar Aswad. Batu ini digunakan sosok Muhammad Muda sebagai alat perdamaian atau pemersatu umat Quraisy yang saling bertikai.

Sosok Muhammad SAW terkenal sebagai pembela kaum lemah, di setiap khutbahnya yang kedua selalu menghimbau untuk selalu menjaga hubungan dengan umat agama lain, bersikap professional dengan menghukum siapa saja yang melanggar hokum atau perjanjian yang disepakati bersama. Di Indonesia, perjanjian itu dikenal dengan nama Pancasila.

Akhirnya, mari belajar kepada siapa saja dan kapan saja, dengan berusaha mengambil hikmah di setiap kejadian. Seperti Syihabuddin Abul Fadl Ahmad yang frustasi dalam belajar sehingga melarikan diri dan berteduh di dalam gua ketika hujan. Dia mendapatkan hikmah ketika melihat sebuah batu yang berlubang terkena tetesan air hujan secara terus menerus. Sampai akhirnya dia menjadi seorang ahli hadis dan dikenal sebagai Ibnu Hajar Al-Asqalani. Salah satu karyanya yang terkenal Fathul Bari’ (Kemenangan Sang Pencipta).

Sementara itu, sosok putra bangsawan Jawa berkulit sawo matang bernama Soewardi Suryaningrat juga tak henti-hentinya belajar. Hatinya terketuk ketika seorang temannya sangat semangat belajar, namun tidak seberuntung dirinya yang bisa bersekolah. Setiap sore di bawah sebuah pohon tidak jauh dari keraton, Soewardi Suryaningrat selalu mengajarkan apa yang didapatnya dari sekolah. Kini Soewardi Suryaningrat dikenal sebagai bapak pendidikan, Ki Hajar Dewantara.

Ilmu alam yang bersifat teratur dan tetap tentu tidak bisa disamakan dengan ilmu social yang bersifat berubah-ubah, apalagi ilmu agama yang bersifat simbolik. Ilmu alam menggunakan rasio, social menggunakan emosi dan agama menggunakan spiritualitas. Memproses ilmu alam menggunakan rekayasa uji, sedangkan ilmu social menggunakan interpretasi dan agama dengan menyadari. Setiap kelompok mempunyai jalurnya sendiri-sendiri. Pola piker ilmu alam tidak bisa diproses dengan interpretasi atau menyadari, beda jalur. Jika dipaksakan, akan menyebabkan kekacauan.

Di dunia ini putih dianggap kebaikan dan hitam dianggap kejelekan. Jika demikian, percayalah bahwa tidak ada putih tanpa potensi hitam dan tidak ada hitam tanpa potensi putih. Yang berbahaya adalah jika hitam diputihkan dan putih dihitamkan. Kita boleh salah, asal tidak berbohong. Kita boleh bodoh, asal jangan berhenti belajar. Salam!

Post a Comment

0 Comments