Malam ini begitu indah. Hiasan bintang
gemintang bertaburan di langit nan luas, senyum rembulan yang tak
henti-hentinya menggoda, sepoi-sepoi angin malam yang membelai lembut, dan
ayunan dahan pohon yang menyimpan beribu makna, serta gemerincing canda tawa
sahabat-sahabat yang akan menjadi kenangan tak terlupakan di bumi perjuangan,
bumi pahlawan. Di sinilah perjuangan di mulai, merajut mimpi mengukir prestasi,
menunggu terbitnya sang surya. Pembawa cahaya kebenaran, pemberi kehangatan
setiap jiwa, dan pemersatu makhluk, serta sebagai simbol kekuatan dan kejayaan
umat manusia.
Kiriman surat dari zaman kompor minyak. Awal
ketertarikanku dengan dunia angka ketika usiaku belum genap sepuluh tahun.
Kekontinuitasan kutemukan dalam harga minyak tanah. Setiap minggu aku membeli
minyak tanah di toko yang sama. Ketika itu harga per liter minyak tanah Rp.
1.100,-. Namun, pemandangan berbeda terlihat ketika minggu gajian. Ning Surya
memerintahkanku membeli minyak tanah dengan volume lebih banyak, yakni 3 liter
(Rp. 3.300,-). Berbeda lagi ketika menjelang hajatan, beliau memerintahkanku
membeli minyak tanah sebanyak 5 liter (Rp. 5.500,-). Begitu unik mengingat
fenomena ini, pengulangan angka dan keseimbangan yang terjadi begitu unik
menurutku waktu itu.
Sementara itu, setiap jiwa berdecak kagum
ketika melihat Sang Surya terbit dari balik gunung. Begitu juga hati, tak
lengkap rasanya ketika belum menerima petuah dari Cak Gunung. Dialektikaku
bersama beliau terjadi di waktu malam. Beliau menunjukkan gemerlapnya langit
malam yang indah nan mempesona. Sambil menyaksikan berbagai rasi bintang yang
terbentuk, beliau berkata kepadaku, “ Engkau adalah bagian dari dunia. Kelak
engkau akan berada di tengah-tengah ramainya kontestasi manusia. Engkau akan
masuk dalam rasi bintang. Maka, yang engkau perlukan hanya ada dua yakni cinta
dan doa. Cinta berdasarkan akal dengan tak henti-hentinya memanjatkan doa.” Berikut
ini kalimat aneh pemberian Cak Gunung yang sulit terucap dan teringat pada
waktu itu sehingga kutulis dalam secarik kertas, Allahumma arinal haqqa
haqqa warzuqnat tibaa’ah wa arinal baathila baathila warzuqnaj tinaabah.
Yang membawaku pada masa kini – PBA - tanpa sulit terucap, tertulis dengan
mudah dengan tulisan yang sesungguhnya serta makna yang mendalam.
Inilah nasehat besar yang di anugerahkan Ning
Surya dan Cak Gunung kepadaku. Kontinuitas dan proporsionalitas. Janganlah
melihat seorang dari jabatannya, tapi lihatlah seorang dari seberapa besar dia
menghargai waktu – kontinuitas – dan seberapa besar perbedaan langkahnya –
proporsionalitas - dalam berpijak di tanah yang berair, di tanah yang lunak, di
tanah yang keras, dan di tanah yang berpasir serta di tanah yang berbatu. Manusia
yang baik adalah manusia yang menempatkan yang benar pada kebenaran dan
meletakkan yang salah pada kesalahan.
Dunia Android, kiriman BBM dari zaman digital. Sangat
bangga dan tentram ketika dalam hal apapun dipimpin oleh manusia seperti itu.
Semakin lengkap kriteria seorang pemimpin ketika bersumpah untuk menjalankan
tugas dan amanahnya dengan benar serta menjadikan segala apa yang diinginkannya
– hasrat & nafsu kebinatangan -
menjadi nomor dua, seperti apa yang dikatakan Perdana Menteri Widura dalam
sinema Mahabharata episode 14. Sumpah menjadi hal yang baik dalam hal ini.
Rekonsiliasi sumpah menjadi hal sakral
digunakan oleh sebagian komunitas di era Android seperti sekarang ini. Sebagian
komunitas ini mulai mengembalikan tupoksi sumpah ke tempatnya. Sangat bagus memang
apa yang dilakukannya, namun sampai batas mana bentuk dan kekuatan menjalankan
setiap sumpah? Jangan-jangan sumpah itu hanya digunakan mencari ruang gerak
politik?
Ingat sahabat, kita telah bersumpah bahwa tiada
Tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah. Konsekuensi dari sumpah itu
adalah menjalankan lima hal. Ada hidangan spesial diantara lima hal itu yang
diterima Muhammad dan menjadikan undangan spesial bagi umat Muhammad yang
di-BBM setiap hari lima kali. Seberapa besar ketepatan waktu dalam menghadiri
undangan tersebut, itulah yang seharusnya menjadi pijakan sebagai rentangan
toleransi kepada sesama makhluk.
Ketika seseorang menjalankan sumpah terhadap
segala sesuatu yang bisa diindera, namun mengapa melalaikan sumpah terhadap
satu yang tak mampu diindera, bahkan akal pun tak mampu menjangkau dan segala
sesuatu berada pada kuasa-Nya. Itukah yang dinamakan sumpah? Ya, sumpah relatif.
Kalau zaman dulu di Yunani kuno muncul Kaum Sofis dengan kebenaran relatifnya,
maka zaman sekarang muncul manusia-manusia pembawa Android yang menasbihkan
diri mampu menyelesaikan segala hal dengan sumpah relatifnya.
Dialektika manusia kini dan manusia bodoh. Pembelaan
manusia kini,”Oh kami selalu menghadiri undangan itu sebagai konsekuensi sumpah
kami”. Manusia bodoh, “Tapi kalian melalaikan undangan ini dengan datang
terlambat”. Manusia kini, “Yang penting kami menghadiri undangan itu, weeeeek,
toh Sang Penerima sumpah tidak memberikan azab kepada kami”. Manusia bodoh,”Itu
karena sahabat kalian yang terus belajar untuk selalu mendekat kepada-Nya”.
Sang Maha Segalanya memberikan toleransi kepada hambanya, namun apakah kita
ingin melampaui Sang Maha Segalanya dengan tidak toleran terhadap sumpah yang
telah dibuat.
ASWAJA mengajarkan bahwa terbentuknya suatu
negara adalah fardlu kifayah. Tidak penting apa bentuk negara, yang terpenting
adalah di dalam suatu negara menerapkan empat prinsip umum yaitu musyawarah,
keadilan, kesetaraan dan kemerdekaan. Setali tiga uang dengan terpilihnya
seorang pemimpin. Tidak penting siapa yang menjadi pemimpin, yang terpenting
ialah bagaimana pemimpin tersebut menjaga dan menerapkan keempat prinsip umum tersebut
dalam menjalankan roda negara. Dan sahabat yang baik ialah yang selalu ada
dikala sahabatnya dirundung suka dan duka.
Memang benar apa yang dikatakan Ust. Ach.
Dhofir Zuhri[1]
bahwa kepandaian adalah kelicikan yang menyamar, sementara kebodohan adalah
kebaikan yang bernasib buruk. Mari kita menuju kenikmatan dan kemerdekaan hidup
dengan bersikap tidak semaunya sendiri ! ! ! Bukankah sikap semaunya sendiri
tidak sama dengan sikap tidak teratur???
Secara pribadi penulis mengakui dan menghormati
setiap sumpah baik personal maupun kelompok, jika hanya menjalankan sumpah
secara konsisten. Baik sumpah terhadap segala sesuatu yang bisa diindera maupun
sumpah terhadap satu hal yang akal pun tak mampu menjangkaunya yang ditadai
dengan menghadiri undangan tepat pada waktunya. Aneh bukan ketika sumpah
terhadap Sang Pemilik Hidup dijadikan nomor dua? Mari tanamkan parameter sikap
toleransi dengan tingkat keterlambatan menghadiri undangan sebagai konsekuensi
sumpah. Ketika sumpah terhadap-Nya dijalankan dengan benar dengan selalu datang
tepat waktu dalam undangannya setiap hari lima kali, maka penulis akan
mendukung setiap sumpah terhadap segala sesuatu yang bisa diindera. Sumpah
terhadap Yang Esa saja sering telat, untung-untungan masih mau menghadiri
undangannya. Gitu aja koq mau sok setia terhadap sumpah pada sesuatu yang bisa
diindera. Bisakah makan jeruk tanpa dikupas dan tanpa merusak kulit buah?
Ibaratnya, seseorang yang mendahulukan sumpah
terhadap segala sesuatu yang bisa di indera sebelum konsisten terhadap sumpah
terhadap Yang Esa, bagaikan anggrek yang tumbuh di arang. Seindah apa pun
anggrek itu, pertumbuhannya adalah palsu, perkembangannya adalah picisan. Di
sini kita tidak mencari siapa yang benar dan siapa yang salah sahabat. Kita
mencari jalan terbaik untuk dilalui bersama. Kembali bergandeng tangan dan
merapatkan barisan untuk menyongsong hari esok yang lebih baik.
Catatan :
1. Konsekuensi
akan sumpah adalah penghambaan. Ketika seseorang rela menghambakan diri dengan
sumpah terhadap segala sesuatu yang diindera dengan tanpa toleransi, maka
penghambaan terhadap satu yang menguasai segalanya adalah wajib dengan tingkat
toleransi yang lebih ketat. Baik konsekuensi mahdhah maupun ghoiru mahdhah
khususnya dalam menghadiri undangan lima kali sehari. Tidak ada kata telat,
bahkan harus datang sebelum tuan rumah. Bisakah setiap jiwa yang mengaku setia
akan sumpah inderawinya mampu melakukan itu? Pikirkanlah itu !!!
2. Huruf
qosam (ب, ل, ت,
و) memberikan pengaruh baik bacaan maupun posisi
harakat isim yang datang setelahnya. Seseorang yang hanya setia akan sumpah
inderawi namun tidak konsisten terhadap sumpah pada Sang Pemilik Jiwa, seperti
orang yang membaca huruf qosam dengan salah -بالله -
yaitu Biwwoohi. Kesalahan itu bisa diampuni selagi mau untuk terus belajar,
belajar untuk konsisten terhadap sumpah terutama sumpah Illahiah. Semoga
ajaran-ajaran Tuhan tidak semakin membusuk karena tingkah polah hambanya yang
mempermainkan sumpah atau tidak konsisten akan sumpah atau menjadikan sumpah
kepada Tuhannya menjadi nomor dua dengan tidak datang tepat waktu terhadap
setiap undangan yang diterima.
3. Seorang
filosof bukanlah yang hanya paham akan kebijaksanaan dan menjadikan kebijaksanaan
itu diikuti orang lain, tetapi filosof yang sesungguhnya ialah seorang yang
paham akan kebijaksanaan setelah menjalani perenungan puasa. Apresiasi tinggi bagi
siapa saja ketika dalam menjalani perenungan puasa diikuti oleh sahabat yang
meyakini kebijaksanaan itu.
Menjelang
Subuh
Surabaya,
14 Oktober 2014
[1]
Pengarang buku Filsafat Timur dan Tersesat di Jalan yang Benar serta Ketua
Sekolah Tinggi Ilmu Filsafat Al-Farabi, Malang.
0 Comments