Semarak kemeriahan Hari Santri Nasional
ditandai dengan agenda kirab dari Surabaya ke Jakarta. Agenda tersebut
terlaksana setelah Pemerintah menetapkan 22 Oktober sebagai Hari Santri
Nasional. Ketetapan itu tertuang dalam keputusan Presiden No.22 Tahun 2015.
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama’ (PBNU) sebagai pengusul menyambut baik
penetapan Hari Santri Nasional oleh pemerintah. Penetapan Hari Santri Nasional diharapkan
tidak hanya menjadi acara seremonial belaka, tetapi sebagai sarana meneladani
spiritualitas dari perjuangan Nasional para syuhada’.
Perjuangan kaum santri melawan
kolonialisme tidak sekedar dilakukan pada awal abad ke-20, tapi jauh sebelum
itu. Pada pertengahan abad ke-18 ketika VOC berusaha menghisap kekayaan
Nusantara, para santri tidak tinggal diam untuk berjuang. Perang Kuning
(1740-1743) merupakan gabungan kekuatan antara orang Tionghoa, pasukan Raden
Mas Said dan laskar santri yang berjuang melawan penjajah. Di Cirebon, Tegal,
Pekalongan, Semarang, Lasem, hingga Tuban, para santri terlibat dalam Perang
Kuning (Daradjadi, 2013).
Selanjutnya, ketika Perang Jawa
berkobar pada 1825-1830, para santri bersetia menjadi lingkaran strategis bagi
Pangeran Diponegoro Sayyidin Panatagama. Kemudian di penghujung abad ke-19 dan
awal abad ke-20, para kiai tidak pernah menyurutkan peran dalam melawan
penjajah. Selain berperang secara fisik dalam medan laga, para kiai merawat
pengetahuan dengan membentuk pesantren sebagai tempat belajar dan mengaji yang
mengacu pada praktik pendidikan yang diwariskan Wali Sanga di tanah Jawa.
Pengajuan 22 Oktober sebagai Hari
Santri Nasional dilatarbelakangi momen munculnya Resolusi Jihad pada 1945.
Resolusi yang diumumkan K.H. Hasyim Asy’ari tersebut merupakan hasil musyawarah
alim ulama ketika itu. Setiap muslim diwajibkan memerangi penjajah. Fatwa
itulah yang menginspirasi ribuan pemuda dan santri untuk bertarung
habis-habisan menegakkan NKRI. Diyakini menjadi pemicu pergolakan melawan
penjajah di Surabaya yang kemudian dikenang sebagai Hari Pahlawan pada 10
November.
Penetapan 22 Oktober sebagai Hari
Santri Nasional ternyata tidak begitu saja diterima oleh masyarakat. Sebagian
pihak yang kontra atas keputusan pemerintah tersebut menganggap bahwa penetapan
itu sebagai pemecah persatuan umat Islam di Indonesia. Hari Santri seakan
mengunggulkan salah satu golongan dan ada kontrak politik dibalik semua itu.Banyak
pihak yang ragu kebermaknaan Hari Santri Nasional itu apakah milik golongan
atau Indonesia. Jutaan santri memang menempuh pembelajaran agama diribuan pesantren
yang bercap golongan tertentu, mereka pantas memberikan makna paling besar.
Lantas apakah murid-murid di sekolah umum atau madrasah masuk kategori santri
dan berhak merayakan Hari Santri Nasional tersebut?
Makna Santri
Dalam arti sempit, kata santri
dipahami sebagai sebutan bagi seseorang yang menempuh pendidikan Agama Islam di
suatu tempat yang dinamakan Pesantren. Dalam arti luas, kata santri dipahami
sebagai sebuah karakter yang dimiliki seseorang, bukan terbatas pesantren
sebagai tempat belajar. Kata santri apabila ditulis dalam huruf Arab tersusun
dari lima huruf, yaitu: sin, nun, ta’, ra’ dan ya. yang setiap
huruf mempunyai makna dan pengertian yang luas. Sin, bermakna saafiqu
al-khairi yang berarti pelopor kebaikan. Nun, bermakna naasibu al-‘ulamaa
yang berarti penerus ulama. Ta’, bermakna taariku al-ma’aashi
yang berarti orang yang meninggalkan kemanusiaan. Ra’, bermakna
ridhallah yang berarti ridha Allah. Dan ya’, bermakna yaqiin yang
berarti keyakinan.
Perjuangan kaum santri dalam
mengusahakan kemerdekaan bukanlah tujuan untuk komunitasnya sendiri, melainkan
untuk bangsa Indonesia seutuhnya. Opini Munawir Aziz (Jawa Pos, 16 Oktober 2015) yang
mengomentari opini Bandung Mawardi (Jawa Pos, 14 Oktober 2015) tampaknya
tidak sesuai dengan realita. Perjuangan kaum santri mengusahakan kemerdekaan
yang katanya bertujuan untuk bangsa Indonesia seutuhnya, sepertinya untuk
komunitasnya sendiri. Dalam agenda kirab yang dimulai dari Surabaya, banyak
label golongan yang masih tampak. Hari Santri Nasional seakan tidak sesuai
dengan kenasionalannya, karena tidak mampu merangkul semua pihak dan tidak mau
melepaskan label golongan. Maka, semua hal yang mengunggulkan golongan bukanlah
untuk bangsa Indonesia seutuhnya, tetapi untuk komunitasnya sendiri.
Kontrak Politik
Ada indikasi main-main dalam
penetapan Hari Santri Nasional. Penetapan tersebut tidak murni bertujuan untuk
menulis ulang sejarah dan peradaban bangsa ini yang telah lama ditenggelamkan
oleh narasi pengetahuan kolonial. Tetapi kontrak politik yang telah diucapkan
Presiden Jokowi setahun silam. Janji yang diucapkan ketika silaturrahim ke
pondok pesantren Babussalam, Malang, Jawa Timur pada 24 Juni 2014. Joko Widodo
pernah bersepakat untuk mengadakan Hari Santri Nasional. Kita masih ingat pada
waktu itu adalah masa kampanye pemilu presiden dan predikat Joko Widodo pada
waktu itu sebagai calon presiden dan/atau Gubernur DKI Jakarta. Akhirnya janji
tersebut ditepati oleh Presiden Jokowi.
Menurut hemat penulis, sebenarnya
Hari Santri tidak perlu dijadikan Hari Santri Nasional apabila tidak mampu dan
tidak mau melepaskan label golongan, cukup dalam ruang lingkup golongan itu.
Tanpa penetapan Hari Santri Nasional pun sudah jelas bagaimana peran pesantren
(kiai dan santri) dalam lintasan sejarah bangsa ini. Barangkali akan lebih
kolosal-monumental jika perjuangan tersebut diabadikan dalam bentuk karya
tulis, seperti buku, sastra, puisi dan berbagai bentuk karya yang lain. Atau
bisa dalam bentuk pengabdian yang mencerminkan karakter santri yang menjiwa
dalam masyarakat.
Pesantren sebagai local genius
tidak harus dan tidak perlu dikultuskan dalam bentuk selebrasi berlebih yang
ujung-ujungnya melahirkan paradigman sempit atasnya. Pesantren sudah agung
meski tidak didengungkan. Ia sudah luhur, melebur dalam kultur. Kiai dan santri
ibarat gula yang dengannya kopi dan teh menjadi manis. Meski tak lagi bernama
gula, jika terseduh rasa dan kesempurnaannya tak akan terkikis. Selamat Hari
Santri Nasional...!!!
0 Comments