Sebagai bangsa yang dibesarkan
dan dipersatukan oleh sejarah, bangsa Indonesia paling bermasalah tatkala harus
memaparkan sejarah kontemporernya. Padahal sejarah aktual inilah yang lazimnya
paling digemari oleh muda-mudi yang bosan terhadap cerita kepahlawanan lama.
Terhadap fakta kejayaan Majapahit, Sriwijaya atau raja puteri yang adil, Puteri
Sima yang bertahta di sekitar Jepara 15 abad yang lalu, dan sebagainya.
Masalah utama yang sekaligus
menjadi catatan hitam bangsa Indonesia hingga kini adalah kejahatan genosida,
pemusnahan secara besar-besaran umat manusia yang tertulis dalam buku dan
dipelajari dalam proses pendidikan, G 30 S/PKI. Masihkah kita menuduh PKI
sebagai penyakit? Atau masih belum beranikah kita mengambil kesimpulan siapa
sebenarnya dalang G 30 S PKI?. Karena pengambilan keputusan sangat erat dengan
bayang-bayang politik pemerintahan yang dahulu berkuasa, walau sudah runtuh,
tetapi masih mempunyai daya tawar yang kuat, sehingga kesimpulan dari masalah
pemberontakan ini masih belum ditentukan oleh pemerintah hingga sekarang.
Siapa sebenarnya Soeharto?
Pertanyaan itu layak untuk diajukan, jika kita mau menguak lebih jauh teka-teki
tragedi G 30 S. Semula Soeharto bersekongkol dengan PKI untuk menghabisi
Presiden Soekarno. Belum ada bukti-bukti kuat, tetapi sejumlah indikasi
menunjukkan bahwa Soeharto mempunyai hubungan khusus dengan anggota Biro Khusus
PKI. Karena dua skenario membunuh Soekarno gagal, ia balik memukul PKI.
Sekali kayuh, dua pulau
terlampaui. Sekali pukul, dua musuh rubuh. Agaknya, seperti itulah gambaran
tentang Gerakan 30 September 1965. Soekarno jatuh karena peristiwa itu, PKI
jatuh juga karena peristiwa itu. Masalahnya, siapa yang memukul Soekarno dan
Partai Komunis Indonesia (PKI) hingga rubuh? Inilah misteri sejarah yang belum
terpecahkan hingga sekarang. Amerika Serikat dan Inggris punya andil di
dalamnya sudah tidak ada yang meragukan lagi. Banyak indikasi yang menunjukkan
keterlibatan kedua negara tersebut meskipun hanya ada sedikit fakta yang dapat
membuktikan keterlibatan mereka.
Yang justru mengusik perhatian
adalah soal siapa sebenarnya “pemain” dalam negeri yang mengambil peran besar
dalam peristiwa itu. Hingga kinimasih menjadi teka-teki. Tentu hal ini sangat
ironis. Sebab, peristiwa itu tudak saja menewaskan tujuh perwira angkatan
darat, tetapi juga ratusan ribu bahkan jutaan jiwa rakyat Indonesia.
Sejarah memang ada di bawah
bayang-bayang politik dan kekuasaan, tetapi sejarah mempunyai batasan yang
siapa pun tidak bisa merubahnya. Sejarah sama sekali tidak cukup diwakili oleh
tonggak-tonggak kejadian masa silam, rentetan tahun dan penunjukan sejumlah
tokoh. Sejarawan bukan hanya kerja menghafal paparan kronologis dari satu
peristiwa ke insiden, apalagi jika dibuat hingar-bingar melalui serangkaian
hujatan.
Pemakzulan Logika
Orang-orang besar berotak brilian
terlalu banyak bisa dijumpai di Nusantara, baik yang tercatat dalam babad dan
sejarah maupun yang monumental dalam kisah dongeng. Ratusan dan mungkin ribuan
nama tenar legendaris itu mencuat sejak zaman keprabuan, kesultanan, dan makin
banyak di zaman pergerakan. Sedikit di antara mereka ditetapkan sebagai acuan
bagi nation and character building, yakni oleh penetapan negara sebagai
pahlawan bangsa.
Dalam kecermatan berbahasa,
sesungguhnya kita masih harus banyak belajar untuk melepaskan diri dari
keterbatasan kosa kata, tendensi eufemisme dan birokratisasi bahasa. Masih
terkait dengan pergolakan bangsa Indonesia yang terkotak-kotak oleh istilah
Orde Lama, Orde Baru, dan reformasi. Pernahkah kita berpikir apa tujuan
pembentukan istilah-istilah tersebut? Kenapa tidak menyebutkan nama presiden
selaku penguasa pada waktu itu?
Reformasi, tidak ada masalah
dalam hal ini karena istilah ini terbentuk sebagai tanda babak baru bangsa
Indonesia dan momentum perjuangan rakyat menjatuhkan rezim korup otoriter. Tidak
curigakah Anda terhadap istilah orde lama dan orde baru? Pembentukan istilah
ini hanya untuk memperkokoh kekuasaan Orde Baru. Orde Baru seakan mengunggulkan
bahwa masanya adalah era baru dalam perjuangan bangsa dan seakan mengkerdilkan
era Soekarno. Mari kita ganti sebutan Orde Lama atau Orde Baru dengan sebutan
Orde Soekarno atau Orde Soeharto.
Orde Baru adalah ambisi atas
sebuah orde sekaligus kebaruan. Sebagai sebuah orde atau tatanan (yang baru) ia
berpretensi untuk mengatasi atau melampaui tatanan sebelumnya melalui
penciptaan tata aturan sosial, disiplin dan hukuman, budaya, ekonomi, politik
dan ideologi serta pembelokan sejarah. Soeharto, melaui langkah dan keputusan
yang diambilnya, telah berusaha melakukan pemutusan tanpa ampun terhadap sisa Orde
Soekarno yang lantas disebutnya sebagai Orde Lama, dan memperkenalkan sebuah
desain besar tentang negara yang sama sekali berbeda bahkan bertolak-belakang
dari rancangan sebelumnya.
Sementara itu, pasca cengkeraman
tirani yang diduga keras melakukan pendistorsian sejarah, diperlukan pemaknaan
ulang terhadap penuturan peristiwa-peristiwa masa lalu yang amat penting bagi
bangsa ini. Gerakan 30 September (G 30 S) yang hingga kini masih diselubungi
tabir misteri. Rezim Orde Soeharto memang mengidentikkan G 30 S dengan PKI.
Penulisan G 30 S/PKI ala Orde Soeharto, sebetulnya patut dipertanyakan, sebab
tanda garis miring (/) bisa berarti pemakzulan logika bahwa G 30 S (sebagai
peristiwa) berhubungan dengan PKI (sebagai pelaku). Oleh karena itu, mari kita
hentikan pendistorsian sejarah dengan menuliskan tragedi Gerakan 30 September
tanpa PKI (G 30 S), karena belum tentu dalang dari semua itu adalah PKI.
0 Comments