Landasan dari
semua hubungan manusia adalah harapan. Seorang presiden yang mengatur kehidupan
untuk kemakmuran dan kesejahteraan. Seorang cendikiawan yang senantiasa
berpikir dan berdedikasi. Kemudian ada rakyat yang patuh dan juga menurut dalam
bingkai proporsionalitas. Tetapi, harapan sudah ditakdirkan untuk dilanggar,
karena harapan biasanya berasal dari pikiran manusia yang terbatas. Tidak satu
pun orang yang memenuhi harapan orang lain dan itulah yang menjadi akar dari
sebuah konflik.
Perasaan
senasib seperjuangan menjadi satu-satunya alasan sekaligus latar belakang
munculnya sebuah harapan. Harapan tersebut adalah Indonesia. Negara kepulauan
yang terdiri dari beraneka ragam suku, budaya, agama dan adat istiadat. Kagum
bahkan heran melihat realita yang terjadi. Perbedaan yang pada umumnya
merupakan akar dari sebuah konflik menjadi satu-kesatuan yang sangat indah. Keindahan
tersebut terukir dalam Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda tetapi tetap
satu jua. Namun perbedaan itu selamanya akan menjadi bahaya laten, bahaya yang
setiap saat akan meledak dan menghancurkan harapan.
Dalam konteks
kenegaraan, harapan panjang Indonesia telah terukir dalam lembar sejarah manusia. Disaksikan oleh setiap pasang mata
seantero dunia. Aktor perubahan itu tidak lain adalah pemuda, atau lebih
tepatnya disebut mahasiswa. Agen perubahan, pengontrol setiap kebijakan dan
peledak keputusan yang tidak memihak pada rakyat. Namun, siapakah mahasiswa?
Kiranya berlebihan kata ‘maha’ disematkan pada pelajar di perguruan tinggi. Di
negara lain, istilah student atau thalib cukup mewakili. Oleh
karena itu sahabat, begitu agungnya istilah ‘mahasiswa’ maka dalam kehidupan
sehari-hari seyogyanya seorang mahasiswa tidak lepas dari aktivitas membaca,
menulis, dan diskusi yang ada di setiap aspek kecerdasan, baik spiritual,
emosional, maupun intelektual. Jika tidak demikian, status mahasiswa adalah
palsu.
Sementara itu,
dalam sejarah pergerakan mahasiswa yang berlangsung sejak pertengahan tahun
1980-an dalam upaya pembentukan oposisi Indonesia. Keriuhan dalam upaya
tersebut mendadak sunyi senyap pada tahun 1996. Meskipun demikian, sebuah babak
baru dari gerakan mahasiswa segera dimulai. Gerakan baru mahasiswa ini terjadi secara
mendadak beriringan dengan terjadinya krisis ekonomi. Rentetan perjuangan telah
terjadi dan banyak sejarawan dan ilmuwan politik percaya sejarah akan berulang.
Di bawah paradigma ini, kronologi disusun sebagai siklus, yang berputar secara periodic.
Namun, tidak sedikit yang tak percaya siklus ini. Mereka lebih percaya bahwa rentetan peristiwa sejarah menuruti
garis linear yang tak pernah berulang. Apapun kerangka kronologi yang digunakan
untuk melihat gerakan mahasiswa, maka perlu dipersiapkan integritas kader yang
berbasis militansi dalam arti loyal dan berani bertarung, peka terhadap segala bentuk
permasalahan dan mampu memberikan solusi terbaik demi kemajuan peradaban umat
manusia. Dan kunci terbentuknya integritas adalah kemampuan. Idealnya, kemampuanlah
yang menjadi indikator, bukan suku, ras, atau strata sosial.
Seperti
dikemukakan Marx, syarat penting bagi terciptanya integritas adalah tersedianya
sarana komunikasi yang tepat. Orang yang menghadapi persoalan bersama belum
tentu akan bersatu untuk memecahkannya kecuali jika mereka menyadari situasi
bersama mereka. Barangkali yang terpenting adalah bahwa orang tidak akan
bersatu kecuali jika ada suatu keuntungan yang dapat diduga sebelum mereka
menyatukan diri. Namun, dugaan yang
masih samar terkadang memunculkan ke’aku’an dari individu dalam sebuah kelompok.
Tentu ke’aku’an tersebut sebagai upaya memperjelas keuntungan apa yang bisa
didapat. Individu yang memaksa “muncul” inilah sumber pergolakan.
0 Comments