Bukan Tanah Airku



Gemerlap cahaya lampu metropolitan menerangi setiap jengkal kegelapan. Sorotan cahaya silih berganti menyinari tepian jalanan kota Pahlawan. Nampak di sana muda-mudi memadu kasih. Gemerincing alat musik senantiasa menemani keindahan asmara Surabaya. Tak lupa tangan-tangan bergelantungan mengharap uang receh dari setiap pengunjung.

Nampak sebuah warnet di ujung persimpangan jalan. Decak kagum hinggap di setiap hati pengunjung tatkala memasuki tempat ini. Nasehat-nasehat yang tertempel di dinding seakan memberikan cakrawala baru. Dari sekian puluh kata yang tertempel di dinding, ada satu kata yang membuatku heran. Ini  bukan tanah airku, tanah menyewa, air pun membeli. Seketika itu kurasakan darahku mendidih. Tapi sejenak menoleh ke belakang, menyaksikan realita-realita yang terjadi di negeri ini memang tak bisa disalahkan. Perkataan itu muncul dari kreativitas anak bangsa atas ketimpangan yang terjadi.

Indonesia sebagai yang besar dan kaya segala-galanya, idealnya benar-benar menjadi surga. Tidak ada pengemis, gelandangan, anak jalanan dan perilaku-perilaku penghuni neraka. Memang tanah surga, tetapi perilaku penghuninya layaknya seorang bedebah. Pintar, tapi menggunakan kepintarannya itu untuk minteri saudaranya.



Surabaya, 22 April 2015

Post a Comment

0 Comments