Rintik-rintik hujan membasahi bumi Ilahi. Tanah coklat kemerahan menyambut ramah tetesan rahmat-Nya. Kesegaran aroma tanah basah merasuki saraf-saraf otak, seakan menjadi karunia tak terhingga. Ribuan kelapa berserakan menjadi al-maidah -hidangan- bagi sekawanan binatang. Dedaunan pun tampak semakin menghijau. Payung-payung tunas kelapa menghiasi angkasa. Menjadi awal dari keindahan langit. Mewakili jutaan makhluk-Nya, berdiri kokoh tanpa putus asa, mengawal keindahan tanah surga, Zamrud Khatulistiwa, yang senantiasa bertasbih mengagungkan nama-Nya.
Seakan tak rela dengan kepulangan
tim Pecinta Alam Kawali dan Ekspedisi Nusantara Jaya yang hanya 2 hari di Pulau
Masakambing, hujan tak henti-hentinya mengguyur. Meninggalkan
kampung yang masih asri dengan banyaknya pohon jambu mete dan habitat burung Kakatua Jambul Kuning yang semakin langka, hewan endemik yang hanya ada di pulau ini. Penurunan populasi Kaktua Jambul Kuning menurut warga setempat karena kebiasaan burung ini, pejantan yang nggak mau kawin lagi setelah pasangan betinanya mati (nggak mau dengan betina lain).
Tim
berjalan dari rumah singgah menuju bibir pantai, hujan semakin lebat dan terus
membasahi tanah ini. Kami berteduh di sebuah gubug sederhana di tepi pantai.
Ada yang bersenda gurau, selfie, bernyanyi
dan sebagian yang lain masih asik bercengkerama dengan penduduk setempat,
sedangkan aku bersama barisan lain yang sejak tadi termenung, memandang jauh ke
ujung laut, hanya sesekali terlibat pembicaraan. Pikiranku pun kembali ke
situasi tegang beberapa jam sebelum kami meninggalkan rumah singgah. Seseorang
bertubuh kekar memasuki rumah panggung tempat kami beristirahat, memberikan
salam kepada seisi rumah kemudian berdiskusi dengan Bang Satria, warga asli
yang mengawal kami menebar jaring manfaat dan inspirasi di pulau ini. Bahasa
Madura menjadi bahasa pengantar mereka berdiskusi, yang lain hanya mendengarkan
dan hanya sebagian kecil yang memahaminya.
“Sebelumnya saya mohon maaf,
karena tidak bisa mengantar rombongan kembali ke Pulau Masalembu. Saya mempunyai
firasat kurang baik hari ini.” Lelaki bertubuh kekar mengawali pembicaraan.
“Kita di sini melakukan kebaikan,
bukan bersenang-senang atau hanya sekedar mengambil keuntungan dari penduduk
tanah ini. Jadi, firasat demikian buanglah jauh-jauh karena Tuhan bersama
kita.” Sahut Bang Satria.
“Tapi firasat saya demikian.
Istri saya juga mengatakan bahwa saya menjadi orang yang rakus, karena
membiarkan perahu kelebihan muatan.”
“Kami tidak membawa barang
sebanyak ketika keberangkatan, hanya tim dan tasnya masing-masing. Semua barang
telah kami sumbangkan ke warga pra-sejahtera di pulau ini.”
Diskusi berlangsung lama dan
akhirnya kami harus mencari perahu lain yang siap mengantarkan kami kembali ke
Pulau Masalembu. Beberapa jam kepulangan kami tertunda. Bang Satria menjelaskan
kepada kami bahwa semua itu hanyalah strategi pemilik perahu supaya mendapat
tambahan uang.
“Ayo semuanya segera menuju
perahu,” teriak Bang Satria sambil mengarahkan kami. Suara itu memecah
lamunanku. Mengamati sekitar ternyata hujan telah reda, awan hitam telah
berganti dengan birunya angkasa. Sang surya masih malu-malu memancarkan
sinarnya, namun kehangatannya terasa nyata membelah suasana dingin yang terbawa
bersama datangnya hujan.
Langit cukup cerah, bersama
deburan ombak yang atraktif. Ekspresi berseri-seri tampak di wajah setiap orang. Ada yang berkumpul di ujung perahu dengan wajah takjub memperhatikan hamparan laut luas dan sebagian yang lain berada di badan perahu. Sedangkan aku bersama beberapa orang berada di pusat kemudi, memperhatikan dengan seksama proses pengendalian perahu ini.
Tidak beberapa lama, kami sampai
di Pulau Karang. Pulau yang terbentuk dari tumpukan karang mati. Menurut
keterangan warga setempat, pulau ini baru berumur 5 tahun. Terbentuknya daratan
penuh karang mati ini sebab pertemuan dua harus sehingga karang-karang
terkumpul dan lama-kelamaan menjadi sebuah pulau. Perahu belum mendarat
sempurna, namun beberapa di antara kami telah menjeburkan diri ke air, tak
sabar menikmati keindahan terumbu karang. Sebagian ada yang berenang, sedangkan
sebagian yang lain memilah dan memilih terumbu karang mati dengan bentuk indah untuk dijadikan kenangan.
Tiga puluh menit cukup bagi kami
menikmati Pulau Karang. Perjalanan dilanjutkan menuju Pulau Masalembu, dengan
wajah berbinar dan basah kuyup. Kegembiraan tampak di setiap penghuni perahu,
sampai akhirnya tetesan air hujan kembali turun. Awan mendung pun semakin
pekat, seakan berjalan mendekat, perlahan tapi pasti. Air hujan semakin deras
dan udara dingin menusuk tulang, ombak pun bergoyang tak teratur. Seketika itu
suasana di atas perahu menjadi tegang, tak ada lagi senda gurau, semuanya
bergetar menahan dingin. Wajah termenung, sedangkan bibir basah dengan tasbih,
tahmid dan takbir. Mengimbangi gelombang air laut yang semakin menggila. Hanya
berharap kondisi terbaik terhadap perahu ini. Berusaha menghilangkan
bayang-bayang kengerian Segitiga Bermuda Indonesia.
“Mbak, tolong lihat GPS-nya, ada
di mana posisi kita sekarang?” suara pengemudi memecah keheningan.
Suasana di ruang kemudi pun
semakin menegangkan. Bayang-bayang segitiga bermuda semakin nyata. Sementara
Bang Satria yang berdiri di ujung perahu tetap teguh dengan pendiriannya
mengarahkan laju perahu. Pengetahuan, keterampilan, pengalaman dan keyakinanlah
yang membuat kami berharap banyak kepadanya.
“HP tidak berfungsi, Pak! Tidak
ada koneksi jaringan.” Balas Azizah.
“Kalau begitu pakai kompas.”
“Ada yang punya kompas?” Azizah
berteriak hingga terdengar sampai ke ujung perahu. Seketika semua yang berada
di perahu menoleh ke arahnya. Fajri selaku ketua rombongan bergerak mendekat,
kemudian memberikan kompasnya.
“Coba cari arah Selatan!”
perintah pengemudi.
Entah kenapa wajah Fajri
kebingungan melihat arah jarum kompas yang berubah-ubah.
“Sepertinya kompas tidak berfungsi,
Pak”
Mendengar jawaban Fajri, semua
yang duduk di ruang kemudi menjadi muram. Pandanganku jauh ke depan, berharap
Pulau Masalembu segera terlihat. Namun, penglihatan terbatas, yang ada hanya putih,
sementara ombak semakin menggeliat. Aku berusaha duduk di tepi perahu, sambil
sesekali menggerakkan jemari yang hampir tak terasa. Pikiranku jauh menerawang
ke belakang, ketika Tim Ekspedisi Nusantara Jaya mulai terbentuk. Namun, dalam
perjalanannya mereka yang bekerja keras dan berjasa dalam pengumpulan donasi
satu per satu mengundurkan diri. Berbagai sebab mengharuskan mereka merelakan
posisinya.
Apakah itu sebuah kebetulan? Aku
mengaitkan segala kemungkinan. Apakah mereka yang mengundurkan diri adalah
orang yang selamat? Dan mereka yang berangkat dengan beberapa orang pengganti
hanya sampai di sini riwayatnya? Ah, Tuhan jika umur ini bermanfaat, berilah
kami umur panjang. Kami pasrah dengan segala apa yang terjadi. Pikiranku terus mengembara, mengingat proses panjang ekspedisi
hingga kedatangan kami pertama kali di Pulau Masalembu.
Dua hari sebelum keberangkatan,
kami berkumpul di Wisma Bougenville Surabaya. Semua barang donasi terkumpul
menjadi satu. Di tempat ini juga awal kali kami berjumpa dan bekerja sama
secara full team. Kami membagi tugas
agar waktu lebih efektif dan efisien. Ada yang memilah baju bekas yang masih
layak pakai, beberapa mempersiapkan kelas inspirasi, mengambil 1500 bibit
mangrove dan sebagian yang lain mempersiapkan konsumsi selama kami di lokasi
ekspedisi.
Waktu yang ditunggu-tunggu pun
akhirnya tiba. Sejak pagi hari kami sudah bersiap-siap. Berbagai kendaraan
telah kami atur untuk mengangkut tim dan barang-barang menuju Pelabuhan Tanjung
Perak Surabaya. Keberangkatan kami terbagi menjadi beberapa gelombang.
Gelombang pertama menggunakan garnisun berisi seluruh barang donasi dan
keperluan selama ekspedisi serta beberapa orang tim. Gelombang kedua memakai pick up berisi 1500 tanaman mangrove.
Gelombang ketiga memanfaatkan jasa mobil online untuk mengangkut sisa peserta
ekspedisi.
Proses di pelabuhan membutuhkan
waktu yang cukup lama. Selain pemindahan barang-barang yang lumayan banyak,
kami juga harus berurusan dengan birokrasi pelabuhan yang cukup ribet dalam
memenuhi kelengkapan administrasi. Beruntunglah ada dua sosok Srikandi berpengalaman
-Muyasaroh dan Samantha- yang dengan keahliannya mempermudah keberangkatan tim
menuju Pulau Masalembu. Tak lupa sebelum angkat kaki dari tanah Jawa, kalimat
terindah yang terangkai dalam untaian doa kami panjatkan. Mengukuhkan niat
ekspedisi dalam hati. Semoga perjalanan ini senantiasa diberikan keselamatan.
-----
Angin laut sepoi-sepoi
menerbangkan rangkaian pujian kepada Sang Khaliq. Keindahan ciptaan-Nya
terhampar luas mengharu biru. Sementara awan berlomba-lomba memayungi para
khalifah. Burung-burung menari-nari di angkasa, sedangkan ikan-ikan mengajak
menyelam bersama. Amboi! Indah sekali ciptaan-Nya. Subhanallah. Cahaya
kuning kemerahan di ufuk barat melengkapi keindahan laut sore.
Jiwa-jiwa muthmainnah berdiri tegak di dek kapal. Tadabbur alam.
Bersama Bang Satria, seorang pemuda asli Masalembu, tanpanya mungkin perjalanan
ini terasa hambar. Bingung tak tahu arah. Pengetahuan baru tentang Masalembu
menjadi sajian hangat sore itu.
“Masalembu, sebuah pulau yang
secara administratif masuk Kabupaten Sumenep sebagai sebuah kecamatan bersama
pulau Masakambing dan Keramaian. Namun, jika kita melihat peta secara sekilas, pulau-pulau ini lebih dekat ke Pulau Kalimantan dari
pada ke Pulau Madura. Oleh karena itu, selain suku Madura, kita juga bisa
menemukan suku Bugis dan Mandar. Mayoritas penduduk mata pencahariannya sebagai
nelayan.”
Perbincangan sore itu, sedikit
memberikan gambaran tentang Masalembu. Pantai-pantainya, habitat Kakatua, dan
sumber daya alamnya. Namun, diantara keindahan-keindahan itu, rasa takut tiba-tiba
muncul ketika kawasan Masalembu terkenal sebagai segitiga bermudanya Indonesia.
Opini tersebut berkembang seiring banyaknya kecelakaan yang terjadi di kawasan
tersebut.
Keindahan suasana pulau ini
seakan lenyap tak tersisa. Sepanjang perjalanan, yang ada hanyalah gambaran
suasana horor mengenai segitiga bermuda. Opini publik memberikan gambaran
mengerikan tentang pulau ini. Sering terjadinya kecelakaan di wilayah Masalembu
hingga pertemuan arus laut yang berbeda sebagai pembenaran yang tampaknya ilmiah
dari opini negatif tentang Masalembu.
Suasana horor yang sejak awal
menghantui pikiran sedikit demi sedikit sirna ketika perahu bersandar di sebuah
dermaga sederhana. Penyambutan warga setempat kepada Tim Ekspedisi Nusantara
Jaya bak pahlawan yang pulang dari medan pertempuran. Antusiasme warga
khususnya tim pecinta alam Kawali sangat banyak membantu dalam mobilisasi ke
lokasi peristirahatan. Pernak-pernik perahu nelayan dengan kombinasi laut biru
tersenyum ramah menyapa setiap jiwa yang kembali ke kampung halaman: Masalembu.
Barisan pohon kelapa pun seakan tak mau kalah merayu, menyuguhkan kebesaran
Sang Ilahi.
Suasana kampung yang begitu
tenang, mendadak menjadi ramai menyaksikan mobil pick up Squad Guard milik Pak Rahmat, penguasa syahbandar Masalembu.
Suara sirine yang begitu kencang menarik perhatian warga sekitar untuk
berhamburan keluar rumah. Kami yang merasa menjadi pusat perhatian hanya bisa
tersenyum dan melambaikan tangan, menyapa masyarakat Masalembu. Sementara
sebagian dari kami diangkut dengan sepeda motor milik Kawali.
Selamat datang di Padepokan
Kawali. Inilah markas pecinta alam kawali di SMA N 1 Masalembu. Bersih dan
rindang. Siapa pun yang memasukinya pasti merasa betah berlama-lama tinggal di
sini. Tidak mau terlena dengan kenyamanan itu, kami segera berbenah
mempersiapkan upacara pembukaan. Seragam rapi formal pemberian Kementerian
Koordinator Maritim Republik Indonesia menjadi kebanggaan dalam pelaksanaan
upacara. Penyematan scraft orange pun sebagai awal kami menebar jaring impian
dan manfaat di pulau ini.
Survei lokasi menjadi agenda
selanjutnya setelah upacara pembukaan. Kami terbagi menjadi tiga grup. Grup
pertama bertugas menyiapkan konsumsi untuk malam hari, grup kedua bertugas
memasuki rumah-rumah warga sekaligus meminta izin untuk melakukan kegiatan di
pulau ini dan grup ketiga melakukan pemilihan tempat yang cocok untuk ditanami
mangrove.
-----
Ketika malam menjelang, semua
berkumpul di musala sederhana membawa informasi sesuai tugas masing-masing.
Sedikit evaluasi terkait kegiatan hari ini sebelum semuanya menyampaikan
informasi yang didapat. Informasi terkumpul dan keputusan untuk kegiatan esok
akhirnya ditentukan. Namun, satu keputusan terkait lokasi penanaman mangrove
membuat setiap orang yang hadir di rapat tersebut berpikir keras.
Mempertimbangkan keuntungan dan kekurangan di setiap lokasi. Dan akhirnya,
lokasi penanaman mangrove diputuskan. Rapat ditutup dan semua beristirahat di
tempat masing-masing.
Genderang perang ditabuh. Gelegar
suara adzan menggema di setiap jengkal tanah Masalembu. Khalifah-khalifah mulai
memainkan perannya. Gemericik tetesan air wudlu membelai lembut jiwa-jiwa yang
tenang. Kesan awal tinggal di pulau ini sangatlah nyaman. Suasana kampung yang
masih asri, menenangkan siapa saja yang singgah di pulau ini. Kami mulai beradaptasi dengan lingkungan
Masalembu, termasuk ketika pembatasan penggunaan listrik yang hanya bisa
dinikmati pukul 17.00 – 23.30 WIB. Selebihnya menggunakan solar cell milik pribadi. Selain itu juga kondisi jaringan internet
yang sangat lemah. Infrastruktur umum seperti jalan raya hanya sedikit yang
menggunakan aspal. Selebihnya masih tanah dan bebatuan. Ini sungguh menyulitkan
dalam proses pengembangan wilayah. Selain itu, kecamatan Masalembu yang terdiri
dari 3 pulau, Masalembu, Masakambing dan Keramaian, hanya memiliki satu
puskesmas. Sedangkan jarak antarpulau ditempuh selama kurang lebih 2 jam.
Sejak pagi hari kami telah
memulai kegiatan. Mengawali pagi dengan senam. Bergembira dan tertawa bersama,
berharap semoga hari ini diberikan kekuatan dan kesehatan. Sosialisasi biopori
menjadi agenda semi-formal setelahnya. Antusiasme peserta dalam mengikuti
kegiatan terlihat sejak awal. Dari mencatat segala hal yang dijelaskan oleh dua
saudara kembar yang telah lama berpisah, Anca dan Azizah, hingga praktek
pembuatan lubang biopori di lingkungan sekolah.
Kemudian, seluruh peserta dan tim
bergerak menuju Desa Sukajeruk untuk melaksanakan agenda selanjutnya, tanam
mangrove bersama warga sekitar. Rintik-rintik hujan menemani kami sepanjang perjalanan.
Antusiasme warga begitu besar hingga menyebabkan tim kuwalahan dalam
mendistribusikan kaos dan mengatur penanaman mangrove. Semua berjalan begitu
cepat. Tidak membutuhkan waktu yang lama, ratusan kaos telah terbagi dan
mangrove tertanam di lokasi yang telah ditentukan.
Hidangan tersaji di rumah salah
seorang warga, khusus untuk tim Ekspedisi Nusantara Jaya. Makanan khas suku
Bugis pesisir yang membuat seluruh tim tidak banyak berkata, hanya kedua
tanganlah yang beraksi cepat. Menu yang menjadi sasaran utama adalah yang
berbahan dasar cumi-cumi. Semua mata tertuju ke sana, Ayub menjadi yang
tercepat dan terbanyak. Namun ada sosok lain yang begitu luar biasa, volume
perutnya seakan tiga kali lebih lebar, Nike, perempuan bertubuh tinggi ini
menghabiskan satu wakul nasi jagung. Wow
Tim berpindah menuju lokasi kedua
penanaman mangrove, di sekitar syahbandar Masalembu. Berlanjut survey lokasi
ketiga berada di ujung barat pulau ini, Kampung Baru. Suasana senja Masalembu
dengan sedikit pencahayaan menjadi pengalaman baru. Namun, mobil pick up squad guard memberikan kesan
yang berbeda. Seru dan menantang. Suatu perjalanan dan pengalaman baru bagi
kami.
Malam menjelang dan kami mulai
berkumpul di serambi musholla untuk melakukan evaluasi dan menentukan kegiatan
esok hari. Malam itu menjadi sangat special. Alam seakan menyambut kedatangan
kami. Segala rasa lelah seakan terobati dengan pemandangan malam langit
Masalembu. Berjuta bintang berkelap-kelip memancarkan sinarnya menghiasi
angkasa. Tersusun rapi membentuk berbagai struktur rasi bintang. Itulah
kehidupan, setiap peristiwa yang terjadi dalam hidup ini bagaikan
bintang-bintang. Tercecer sepanjang perjalanan hidup. Tuhanlah yang berkuasa
merangkai bintang-bintang itu menjadi sesuatu yang menarik dan bermanfaat.
Maka, beruntunglah kita yang mampu mengambil hikmah di setiap peristiwa. Laa
haula walaa quwwata illa billah.
Interaksi dengan warga setempat
menjadi sebuah keniscayaan. Banyak pengetahuan yang kami terima. Termasuk mosi
tidak percaya warga kepada pemerintah daerah. Banyaknya pungli di kapal,
kendaraan tanpa plat nomor beredar luas hingga jaringan narkoba yang menurut
warga, semua itu hanyalah permainan penguasa setempat. Juga banyaknya kapal
illegal yang tidak mempunyai surat-surat lengkap yang menangkap ikan di
perairan Masalembu.
“Masalembuuuu!!! Yah, tak salah
lagi, itu Pulau Masalembu”
Semuanya tampak gembira. Raut
wajah yang awalnya dingin, berubah seiring datangnya sinar mentari. Opini
negatif segitiga bermuda seakan-akan sengaja dibuat dengan mengaitkan segala
kecelakaan yang terjadi, agar wilayah perairan Masalembu bisa dikuasai
sepenuhnya oleh kapal-kapal tak bersurat.
Masalembu dengan kekayaan
alamnya. Masalembu dengan keindahan pantainya. Masalembu dengan habitat
Kakatuanya. Masalembu dengan jambu metenya. Masalembu dengan sambal Bugisnya. Masalembu dengan Kawalinya.
Masalembu dengan kesatriaannya. Ayo kita jaga! Mari bergandeng tangan
memberantas segala bentuk ketidakadilan di wilayah ini.
2 Comments
Berasa baca tulisannya Tere Liye, bagus banget ka
ReplyDeleteTerima kasih sudah berkunjung
Delete