P A H L A W A N



Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya.

Ungkapan tersebut mengajarkan tentang arti pentingnya balas budi. Modernitas zaman, menuntut manusia semakin mandiri, tapi bukan berarti hidup sendiri. Tidak ada manusia yang bisa hidup sendiri, pasti membutuhkan bantuan orang lain. Selalu ada orang yang berjasa dalam hidup ini yang patut kita kenang.

Tidak salah, kan? Jika Bung Karno berkata demikian. Itu sebuah ramalan. Solusi tentang masalah masa depan bangsa ini. Selain terdiri dari banyak suku bangsa, penduduknya mempunyai karakteristik religius. Buktinya? Sebelum datangnya agama-agama, Hindu, Budha, Konghucu, Nasrani dan Islam, orang-orang di tanah ini telah menganut kepercayaan animisme dan dinamisme. Ah, itu kan menurut ilmuwan Walondho. Kepercayaan jaman biyen itu kepercayaan Kapitayan. Nggak percaya? Coba tanya mbahmu kono sing nglakoni.

Perbedaan suku, agama dan ras akan menjadi alasan yang sangat logis terjadinya perpecahan. Menghormati jasa para pahlawan dan mengingat kisah perjuangannya, senasib seperjuangan di bawah kekuasaan penjajah menjadi sebab nyata mempersatukan beragam perbedaan dalam membentuk negara bangsa-bangsa bernama Indonesia.

Nasionalisme Indonesia menjadi rumus yang sangat rumit. Dalam perhitungan harus cermat, salah sedikit saja bisa runyam urusannya. Dalam menentukan simbol-simbol nasional juga harus dipertimbangkan dengan baik, diterima oleh semua pihak, demi menjaga persatuan dan kesatuan. Misalnya, semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Teks suci agama Hindu yang digunakan Bung Karno dalam politik, bisa mempersatukan seluruh Nusantara. Burung Garuda, dalam mitologi Hindu sebagai kendaraan Dewa Wisnu. Semua simbol itu bisa diterima walaupun mayoritas penduduk beragama Islam. Ya, kan?

Ada lagi! Bahasa Indonesia, sebagai bahasa kedua yang berakar dari bahasa Melayu. Bisa diterima dan digunakan dengan baik walaupun mayoritas penduduk adalah suku Jawa. Padahal, secara historis bahasa Jawa-lah yang lebih berhak digunakan sebagai bahasa nasional, bahkan se-Asia Tenggara. Bahasa Jawa Suroboyoan, bahasa yang digunakan Raja Hayam Wuruk dan Patih Gajah Mada dalam mempersatukan seluruh Nusantara di bawah payung Majapahit. Andai Bung Karno, yang berpidato menggunakan bahasa Jawa Suroboyoan, tidak berdebat dengan perwakilan Ngayogyakarta tentang sopan-santun atau halus-kasur penggunaan bahasa Jawa, pasti bahasa Melayu akan terasa sangat asing hingga sekarang.

Okey! Semuanya bisa diterima. Tapi kenapa gambar Frans Kaisiepo di pecahan uang rupiah 10000 terbaru dipermasalahkan? Bukannya beliau juga pahlawan yang sangat berjasa bagi republik ini? Hmmmm, apa karena Papua? Yowes kalau begitu biarlah jadi gambar mata uang kami sendiri dan bintang kejora akan berkibar, boleh? Ho...ho...ho... Kau ini bajingan apa kanibal? Setelah kau keruk habis gunung emas kami, masih saja kau menghujat kami? Ah, emboh lah!

Ingat! Selama kamu bisa memberikan yang terbaik pada kemanusiaan, orang tidak akan bertanya apa agamamu dan dari suku mana kamu berasal.

“Itu bukannya kata-katanya Gus Dur, Mar? Yang katanya wali itu, kan?” sela Gareng yang sedari tadi menyimak penjelasan Semar. Kali ini Semar di atas angin, merasa lebih berwibawa. Selain karena kata-katanya, dia juga sedang memakai peci putih. Sedangkan ketiga rekannya memakai peci hitam yang umum digunakan orang-orang.

“Gus Dur yang diperingati maulidnya kemarin itu, kan?” Tanya Petruk sambil manthuk-manthuk.

“Gundulmu! Maulid itu khusus untuk Kanjeng Nabi Muhammad. Ulama’ atau kiai itu diperingati kematiannya, haul. Paham? Maulid dan haul diperingati dalam rangka mengingat sejarah perjuangan. Acarae yo macem-macem. Kalian gak usah melu-melu debat perkara dalil. Yang penting tahu diri, ulang tahunmu saja dirayakan, masak ulang tahun Nabimu masih perlu diperdebatkan? Ingat ungkapannya Bung Karno?”

“Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya.” Gareng lan Petruk bareng-bareng njawab.

“Gong...Bagong!”
“Om Telolet Om, gitu aja kok repot.” Bagong terbangun dari tidurnya.

Semar selalu mengingat apa yang dikatakan Bagong. Apalagi ketika tidak sadar mengeluarkan istilah-istilah asing. Walupun nyleneh, biasanya apa yang dikatakan Bagong akan benar-benar terjadi. Tanda-tanda peristiwa masa depan, di luar kemampuan dan pikiran manusia biasa.

***

Bulan ini Kang Tris mendapat berkah perayaan kelahiran Isa Al-Masih. Di penghujung tahun ini ternyata banyak orang melahirkan. Kang Tris mendapat banyak pesanan satu set kasur bayi. Haleluya! Puji Tuhan atas segala rahmat-Nya. Alhamdulillah. Di sela-sela kesibukannya, Kang Tris menyempatkan diri menghadiri haul Kanjeng Sunan Giri di Gresik. Lagi-lagi dalam rangka mengingat jasa perjuangan orang yang telah meninggal. Mati tapi hidup, bahkan menghidupkan.

Bagi Kang Tris, mengingat para pahlawan, ulama’, dan orang yang telah berjasa dalam hidup ini menjadi sebuah keharusan. Mengabadikan nama pahlawan sebagai nama jalan atau menjadikan gambar wajahnya sebagai mata uang juga sebagai jalan untuk tetap mengingat jasa-jasanya. Jangan menistakannya, baik gambarnya maupun fisik mata uang. Apalagi nylempitkan uang di bh, seperti perempuan zaman dulu. Jangan yaa!

Dalam perjalanan pulang Kang Tris dikagetkan dengan bunyi terompet yang dijual pedagang di pinggir-pinggir jalan. Ternyata tidak hanya makhluk hidup yang mengalami evolusi, terompet juga. Sekarang tidak hanya bentuk terompet yang mengalami evolusi, bunyinya juga. Telolet...telolet...telolet...Om...telolet..Om... buat persiapan tahun baru untuk putera-puterinya.

Bagaimana pun bunyinya, yang terpenting bisa membuat banyak orang bahagia. Tingkat kebahagiaan rakyat Indonesia juga meningkat menjadi lebih baik. Nggak hanya arek cilik-cilik yang beraksi di pinggir jalan, orang-orang dewasa juga ikut ambil bagian dalam kebahagiaan ini. Banyak orang terhibur. Ternyata suara juga bisa ngemong. Ha...ha...ha...

Ahlinya ngemong yaa Ronggohadi. Saking ahlinya ngemong, dia dijuluki Mbah Lamong. Bapake wong Lamongan. Tetangga-tetangganya juga pasti pandai ngemong, sabar dan penuh kasih sayang. Tapi kenapa tetangganya Mbah Lamong kok terkenal kasar dan suka kekerasan? Mulai dari Bom Bali hingga kekerasan dalam pesantren. Duh...duh...duh...

Bapak Proklamator: Ir.Sukarno, Bapak Ekonomi: Moh. Hatta, Bapak Pembangunan: Suharto, Bapak Demokrasi: SBY, Bapak Toleransi: Gus Dur, dan masih banyak lagi bapak-bapak lain yang berjasa, pahlawan bangsa. Nek, buapakmu? Bapak kehidupan, tanpanya kau tak mungkin ada di dunia ini. He...he...he...

Seneng yaa punya bapak...hiks...hiks...Dari kecil aku tak pernah melihat bapakku. Dia sama sekali tidak mau memberikan perhatian padaku atau telah tiada? Lantas, salahkah aku mencari bapak? Aku menemukannya dalam agama, nyaman bersamanya. Kenapa banyak orang menghujatku ketika aku memutuskan untuk lebih mengenal bapakku? Junjunganku pun terlahir tanpa bapak. Di sinilah aku merasa tenang, memiliki bapak seutuhnya. Mereka yang menghujatku tentu nggak pernah merasakan bagaimana rasanya merindukan kehadiran seorang ayah. Eh....eh....eh....ngomong-ngomong pimpinan superdamai dikabarkan terkena kasus menistakan agama bapa? Benar nggak sih? Katanya cinta damai, kok buat ulah. Sungguh terlalu....nggak bisa jadi pahlawan deh. Bapak damai, superdamai. Ops!

Soal pahlawan, tentu perjuangannya luar biasa mengorbankan seluruh jiwa raga. Penjara dan pengasingan sudah biasa. Tapi ada pahlawan-pahlawan yang kematiannya tragis, penyiksaan luar biasa dialami sebelum kematiannya. Sekujur tubuh disilet-silet, telinga dipotong, mata dicongkel, sebelum ditimbun di lubang buaya. Masya Allah!

Ternyata penjahat-penjahat yang berlaku demikian bereinkarnasi. Cliiiing! Mereka melakukan hal yang sama. Membantai sebuah keluarga, menyiksanya dan kemudian disekap dalam kamar mandi. Berebut oksigen sebelum satu per satu merenggut nyawa. Beruntung masih ada yang bertahan dan bisa melanjutkan kehidupan walaupun dengan trauma yang pedih. Kabarnya gara-gara perebutan proyek ASIAN Games, atau perampokan biasa?

Duh....duh....duh....Semoga Tuhan memberkati, menempatkan para pahlawan di tempat yang lebih baik.

Post a Comment

0 Comments