Maiyahan di Pesarean Mbah Ud


Dalam kesendirian kutermenung, sembari mengotak-atik gadget yang dewasa ini semakin memperluas wilayahnya dalam menguasai alam pikiran manusia. Tiba-tiba muncul sebuah pengumuman akan dilaksanakannya sebuah acara oleh komunitas Maiyah. Maiyah merupakan sebuah komunitas yang diasuh oleh Cak Nun, panggilan akrab dari seorang budayawan Nusantara, Emha Ainun Nadjib. Komunitas ini tersebar di seluruh wilayah Nusantara dengan memiliki nama forum berbeda di setiap kota yang diadakan setiap bulan. Padhang Bulan di Jombang, Bangbang Wetan di Surabaya, Gambang Syafaat di Semarang, Yogyakarta dan Kenduri Cinta di Jakarta. Namun, yang membuat saya sempat kaget agenda kali ini di luar forum yang memang telah rutin setiap bulannya. Melihat alamat tempat dilaksanakannya acara, saya teringat oleh salah sahabat, Dicky, yang rumahnya berada di sana, Pagerwojo, Sidoarjo. Tanpa pikir panjang, saya segera menghubunginya sekaligus menyampaikan keinginan hati untuk berkunjung ke rumahnya.
Keterbatasan pengetahuan tak membuat saya takut menjelajahi Nusantara. Setali tiga uang dengan perjalanan menuju acara ini, dengan bantuan sahabat Dicky akhirnya kami bisa sampai ke tempat tujuan. Namun, acara kali ini tidak sebesar acara-acara yang memang sudah rutin digelar. Secangkir kopi menemani malam ini. Sebelum meninggalkan lokasi, kami menyempatkan diri untuk mengunjungi pesarean Mbah Ali Mas’ud untuk sekedar mengetahui napak tilas kehidupan beliau.
Waktu subuh semakin dekat, saya bersama sahabat Dicky menikmati hidangan sahur di rumahnya. Teras yang begitu luas menjadi saksi bisu persahabatan kami. Selepas makan sahur, kami bergeser menuju rumah sahabat Furqon yang tak jauh dari sini. Sepanjang perjalanan tidak satu pun kendaraan yang melintas, udara pagi pun cukup menggetarkan tubuh kami. Di tengah perjalanan, kami terjebak kemacetan bahkan ditutupnya jalan raya akibat kebakaran yang terjadi. Kebakaran tersebut ketika saya menulis cerita ini menjadi trending topic di Jawa Pos. Kami harus memutar jalan dan beberapa menit kemudian sampai di depan rumah sahabat Furqon. Tak ada cahaya satu pun yang terlihat, hanya dari beberapa kendaraan yang kebetulan melintas.
Tepat sebelum salat subuh dikumandangkan, listrik kembali normal sehingga cahaya pun bertebaran di mana-mana. Kami pun menunaikan salat Subuh secara berjamaah di masjid yang menurutku cukup megah. Masjid ini terletak tepat di depan rumah sahabat Furqon. Ternyata tidak hanya bangunannya, tetapi bacaan Al-Qur’an sang imam cukup meneduhkan hati. Selepas itu, kami mengobrol banyak hal tentang perkuliahan kami selanjutnya dan juga menelorkan rencana untuk berkunjung ke Syaikhona Kholil, Bangkalan.
Menjelang terbitnya sang surya, saya bersama sahabat Dicky kembali ke rumah untuk mempersipkan diri mengikuti halaqah linguistik di rumah salah satu dosen Pendidikan Bahasa Arab, Ust. Nasir Abd. Rahman. Sayup-sayup mata ini mendengarkan penjelasan beliau tentang macam-macam makna, maklum saja semalaman belum sempat istirahat. Setelah halaqah, kami mengikuti pelajaran Bahasa Arab dan saya memutuskan untuk bergabung. Melelahkan memang perjalanan kali ini, tapi bertemu dengan orang-orang luar biasa memberikan energi bagiku untuk semakin menatap masa depan, melangkah pasti menggapai mimpi.

Post a Comment

0 Comments