“Ketenangan kan
ada, saat kewajiban terlaksana. Ketenangan kan ada, saat bisa berbagi dengan
sesama. Ketenangan kan ada, saat amanah tertunaikan." Senandung syair, sayup-sayup keluar dari
setiap peserta. Ada
juga yang memutar mp3, mungkin mereka ragu dengan nada lagu yang jarang mereka
dengar. Sementara yang lain ada yang menghafal ayat Al-Qur'an, jargon, salam
peradaban dan semua yang menjadi syarat.
Pemandangan
berbeda terlihat dari bangku putra. Tak ada aktivitas semeriah bangku putri. Yang ada
hanya dengkuran dan candaan antarpeserta. Sementara saya lebih memilih untuk
mendengarkan mp3 yang disetel berulang kali dari bangku putri yang hanya
berjarak setengah meter dan sesekali ikut bercanda.
Suasana berbeda juga nampak di setengah gerbong nomor 5 kereta ini. Kehangatan
persahabatan dan keindahan dunia seakan tak terlihat di wajah mereka. Kebutuhan
hidup seakan memenjarakan senyum dalam ruang hati yang paling dalam. Murung,
cemas. khawatir, itulah hal pertama yang terbersit ketika sekilas melihat wajah
mereka.
Kehangatan canda
tawa masih terasa di bangku putra. Kami saling bercerita bagaimana usaha kami
hingga bisa duduk nyaman di gerbong 5 ini. "Kene kono ae kok suwene?" sapa saya kepada Althaf yang duduk
tepat di depan saya.
"Iyo di, 15 menit sampek pondok. PP sakjane
cuma 30 menit, laa, dalan ngarep pondok ternyata onok acara muludan dadine kudu
muter. Pas mbalik lewat Margorejo lampu merahe ngerti dewe kan suwene,
ketambahan onok sepur lewat," jawabnya.
"Wih luar
biasa perjuangane rek."
"Kenapa
emang?" tanya Amir, mahasiswa ITS, yang duduk di samping saya.
"Tadi yang
keberangkatan dari Stasiun Wonokromo sempat mengalami masalah. Beberapa orang
belum datang dan sebagian yang lain tidak membawa KTP. Akhirnya Althaf rela
mengambilkan KTP." jawabku sambil melirik Aisyah yang duduk di seberang
kami.
"Kalau
keberangkatan dari Stasiun Gubeng tidak di cek KTPnya," kata Amir.
Gesekan roda
kereta dengan rel menjadi satu-satunya hiburan musik para penghuni gerbong.
Pemandangan yang terlintas hanyalah hitam, gelap malam tak membiarkan kami
menikmati sedikit pun keindahan alam. Hanya sesekali terlihat secercah cahaya
dari rumah-rumah yang berada di dekat rel dan sorot lampu kendaraan yang
berhenti di palang pintu kereta api.
Tak terasa telah
sampai di Stasiun Malang Kota Baru. Kami segera berbenah dan menurunkan barang
bawaan yang luar biasa banyaknya. Suasana stasiun sangat sepi, tidak terlihat
penumpang lain yang menunggu kereta, asongan yang menjajakan dagangannya dan
tukang kebersihan yang selalu mondar-mandir. Stasiun Malang Kota Baru pukul
00.00 WIB hanya ada kami yang membentuk lingkaran sambil mendengarkan arahan
dari senior sambil memanjatkan doa.
"Wooy,?!?!?!"
Terdengar suara
dari arah pintu keluar. Kami pun serentak menoleh ke sumber suara seraya
mengakhiri doa kami.
"Ayo segera
menuju pintu keluar!" Perintah seseorang yang tak satu pun dari
kami mengenalnya.
Kami segera
bergegas menuju pintu keluar stasiun sambil gotong royong membawa peralatan
kelompok. Tepat di pintu keluar ketua rombongan menghampiri orang yang
memanggil kami.
"Saya
perwakilan dari Malang." sepenggal kata yang terdengar di telinga saya.
Dia dan ketua
rombongan Surabaya bersalaman dan menjauh dari kami sambil melakukan
pembicaraan. Sementara saya dan peserta yang lain mencari tempat istirahat yang
nyaman. Sambil mengambil air mineral dalam tas, saya mengamati stasiun ini.
Stasiun sesederhana ini menjadi sangat bersejarah ketika menjadi lokasi shooting
film 5 cm. Dari sinilah saya mengambil suatu pelajaran bahwa tidak ada yang
lebih indah di dunia ini selain kebersamaan bersama sahabat. Sehebat apa pun
kemampuan atau prestasi yang dimiliki seseorang, menjadi omong kosong jika
tanpa sahabat sebagai tempat berbagi.
"Ayo
bergerak!!!" teriak ketua rombongan sambil menunjukkan arah jalan.
Saya segera
mengakhiri aktivitas dan mengembalikan botol air mineral ke dalam tas. Ternyata
kendaraan hanya bisa menampung barang bawaan yang sifatnya kelompok. Apa boleh
buat, kami harus berjalan kaki menuju basecamp
Malang.
Suasana dini hari jalanan Malang cukup sepi, hanya
terlihat beberapa kendaraan melintas, penjual kaki lima kuliner Nusantara dan
muda-mudi yang nongkrong di tepi jalan. Sebagian dari mereka tertegun melihat
segerombolan orang dengan bawaan yang cukup banyak berjalan di malam hari. Kami
pun menyapa mereka dengan senyuman.
Perjalanan yang cukup melelahkan malam ini, hingga
sampai akhirnya kita sampai di penginapan sementara. Peserta putri menginap di
kantor cabang Malang, sedangkan peserta putra
menginap di masjid yang jaraknya tidak jauh dari kantor. Beberapa peserta dari
Sumbawa ternyata sudah sampai terlebih dahulu. Memanfaatkan waktu yang ada,
kami bersih-bersih dan segera istirahat.
###
Kumandang azan
membangunkan seisi masjid. Gemericik air wudlu terdengar dari dinding-dinding.
Memberikan semangat para Khalifatullah agar segera berbondong-bondong
merapatkan barisan. Kegelapan dalam tidur seakan tercerahkan oleh cahaya lampu
yang menyinari masjid. Lantunan ayat suci Al-Qur’an dalam bacaan shalat
memberikan kesejukan sanubari dan menancapkan keagungan Ilahi. Allahuakbar...Laa ilaha illallah...Laa haula wa laa quwwata illa
billah.
Kehangatan sang surya
mengantarkan kami menapaki jalanan menuju halaman kantor cabang Malang. Membuka acara dengan apel
pagi dan saling berkenalan. Sebungkus berdua cukup sebagai nutrisi pagi ini.
Dan beberapa angkot siap mengantarkan kami ke lokasi diksar. Perjalanan yang
cukup melelahkan, orang baru dan tempat baru. Semoga ada hikmah yang bisa
dipetik di perjalanan kali ini.
Disiplin, cepat dan
cermat. Itulah kesan pertama ketika memasuki lokasi diksar, Cuban Rondo.
Pelatih ketua mengumpulkan kami di lapangan utama dan segera mengambil alih
semuanya. Pemeriksaan kelengkapan peralatan menjadi tantangan pertama peserta.
Sangat detail dan profesional. Setiap satu kelalaian ditukar dengan lima kali push up. Saya tidak menyangka seketat ini.
Kebiasaan kegiatan kampus yang panitianya kurang profesional membuat saya
kurang terlatih, sehingga mendapat banyak hukuman. Barang-barang berharga
seperti dompet dan handphone pun
disita panitia. Praktis saya hanya mengandalkan tiga bungkus roti sebagai bekal
hidup tiga hari ke depan, sambil berharap kebaikan teman-teman sekelompok he he
he he he.
Saya tidak menyangka akan
benar-benar istirahat di tengah alam terbuka. Hanya berbekal jas hujan dan
tanpa alas, karena saya tidak membawa matras yang diwajibkan panitia. Kresek
pun menjadi satu-satunya pilihan agar terhindar dari lembabnya dedaunan. Dan
tiga materi di hari pertama cukup menguras otak.
###
“Priiit...priit...priiit....,
dep..deep...deeep...dep”
Bunyi peluit membangunkan
kami dan langkah kaki terdengar begitu cepat. Sambil menyeka kedua mata, saya
berlari bersama peserta di kegelapan malam menuju lapangan utama. Benar yang
saya duga, simulasi penyelamatan korban bencana sebagai tindak lanjut materi
yang telah disampaikan. Benar-benar seperti telah terjadi bencana, kami pun
dituntut untuk bekerja cepat dan cermat. Panik dan kebingungan sebagai kesan
pertama kami yang masih awam dalam penyelamatan siaga bencana. Korban-korban
bergelimpangan dan suara alarm tak henti-hentinya memunculkan kepanikan. Satu
per satu teori kami terapkan dan menghabiskan waktu yang cukup lama dalam
simulasi perdana ini. Evaluasi dari pelatih sebagai penutup hingga waktu subuh.
Kami berbenah diri dan mempersiapkan diri di tenda utama untuk menunaikan
shalat subuh berjamaah.
Hari kedua praktis diisi
dengan materi dan simulasi. Dan di sela-sela begitu banyaknya materi, tiap
kelompok menyiapkan nutrisi dari bekal yang telah kami bawa masing-masing.
Rintik-rintik hujan sebagai penghias hari sekaligus tantangan bagi peserta
untuk survive di tengah hutan. Semakin malam hujan semakin deras, tetapi
pemateri membakar semangat kami untuk terus belajar Al-Qur’an dan menyebarkan
Islam.
Setelah materi terakhir
usai, kami diinstruksikan untuk segera beristirahat. Dalam hati saya menduga
akan ada kejutan tengah malam. Itu sudah menjadi hal biasa bagi saya, tapi dengan konsep bagaimanakah? Itu
yang menjadi pertanyaan. Entahlah, saya tidak mau memikirkannya terlalu dalam.
Yang terpenting bagaimana memaksimalkan waktu sebaik-baiknya untuk mengumpulkan
tenaga.
Mata seakan tidak terima
untuk diistirahatkan di alam terbuka. Tetap terjaga menyaksikan keindahan
alam-Nya. Gemerlap bintang sahut-menyahut seakan becengkerama, entah apa yang
mereka bicarakan. Semilir angin tak henti-hentinya bersiul-siul menerpa
pohon-pohon. Hitam dan bayangan. Sebagai saksi bisu keberadaan sekelompok
manusia yang berusaha menempa diri dalam agenda pendidikan dasar. Ah, terlalu
indah alam ini. Hingga tak terasa keindahannya masuk dalam alam mimpi.
“Priiiiit....Priiiiiit..........Priiiiiiiiiiit.”
Tiga kali bunyi peluit seakan telah tertanam dalam alam bawah sadar. Seketika
itu kami bangkit dari alam mimpi, menuju lapangan utama. Rintik-rintik hujan
menemani gerak langkah kami. Titik-titik air yang membasahi bumi semakin lama
semakin besar. Mempertimbangkan kesehatan dan azaz kemanusiaan, kami dimasukkan
dalam tenda utama. Dalam kegelapan malam kami kembali beristirahat hingga azan
subuh berkumandang.
Udara pagi begitu
menyejukkan, merasuki relung-relung jiwa, menjernihkan otak, mengembalikan
sel-sel tubuh yang sempat mati. Seakan menjadi pengganti agenda yang seharusnya
diadakan semalam, mata kami ditutup dan dimasukkan ke liang lahat. Walaupun
hanya sebuah simulasi, tapi begitu mengena. Pengalaman yang sangat luar biasa.
Petualangan segera dimulai,
kami kelompok kedua yang diberangkatkan. Bernyanyi dan bercengkerama selama
perjalanan sembari menyaksikan keagungan ciptaan-Nya. Perjalanan yang cukup
melelahkan dengan membawa seonggok tas carrier yang penuh dengan barang bawaan.
Jalan jebakan yang disediakan panitia pun begitu banyak dan hampir mengecoh
kami. Beberapa kali kami berhenti memutuskan langkah dan mengisi nutrisi dalam
tubuh supaya mampu untuk terus berjalan.
Di ujung sebuah jalan
menanjak, kami bertemu dengan kelompok pertama. Kami berbincang dan
mendiskusikan arah jalan selanjutnya. Ternyata jalan yang kami ambil salah,
sehingga kami harus kembali ke persimpangan jalan. Setelah sampai, kami
mengambil jalan yang paling benar. Beberapa persimpangan jalan seringkali
membingungkan kami, praktis kurang lebih enam kali kami mengambil jalan yang
salah. Tapi semua itu kami nikmati. Perjalanan panjang yang sangat melelahkan
bersama orang-orang baru yang luar biasa. Keterampilan memanah dan tombak yang
diberikan panitia cukup menarik perhatian kami.
Sesampai di lapangan utama,
disitulah ikatan emosional kami seakan semakin kuat. Bercengkrama dan bercanda
ria sambil menunggu kelompok lain yang belum datang, Ketika kelompok terakhir
datang, kami pun menjahilinya. Komandan pun hanya tersenyum menyaksikan tingkah
mereka. Kemudian kami melaksanakan upacara pengukuhan sekaligus penutupan
acara, diakhiri dengan berfoto ria dan makan bersama.
Sementara itu, rombongan dari Surabaya
harus meninggalkan tempat terlebih dahulu dikarenakan keberangkatan kereta api
kurang dua jam. Dalam perjalanan menuju stasiun jalanan sangat padat, mengingat
libur panjang hari natal dan tahun baru. Tepat satu menit sebelum kedatangan
kereta, kami sampai di stasiun. Dan
perjalanan pulang hanya berisikan dengkuran dan uapan tanpa ada candaan.
2 Comments
kereeenn kata-katanya..
ReplyDeletesemoga menikmati, ditunggu karya-karyanya yang lain
Delete