Kediri merupakan
salah satu kabupaten tua di Jawa Timur. Banyak ditemukan berbagai peninggalan
dan napak tilas peristiwa masa silam. Didukung dengan adanya Sungai Brantas
yang menjadi akses utama transportasi zaman dulu. Kediri bersinar terang
sebagai semboyan kabupaten Kediri yang terlihat di setiap sudut kota. Dengan
potensi sejarah yang luar biasa, tidak menutup kemungkinan Kediri akan bersinar
terang, tidak hanya di Jawa Timur tetapi sampai Nasional bahkan Internasional.
Saya bersama
sahabat Humam memulai perjalanan dengan tujuan pertama kecamatan Pare tepatnya
desa Tulungrejo, tempat keluarga Aliansi Mahasiswa Bidik Misi (AMBISI) angkatan
2013 menuntut ilmu. Mereka belajar di lembaga Kresna. Apabila dibandingkan
dengan lembaga Excellent tempat kami – angkatan 2012 – belajar dulu, lembaga
ini kurang layak menurutku. Dari segi lokasi camp, Kresna berada di pinggiran
Tulungrejo yang miskin akan pengunjung sehingga motivasi berbahasa Inggris
sangat sedikit, bahkan tidak ada. Sedangkan Excellent, berada di tengah-tengah
kampung yang penuh dengan lalu lalang pengunjung sehingga kita dengan mudah
menemukan aktivitas berbahasa Inggris baik langsung maupun tidak langsung yang
akan mendukung ketrampilan berbahasa aktif.
Tidak hanya itu,
tempat tinggal yang terpisah-pisah kurang efektif dalam mempererat ikatan
emosional di antara mereka. Kalau di Excellent pemisahan hanya laki-laki dan
perempuan, tetapi kalo di Kresna masing-masing laki-laki dan perempuan terpisah
menjadi tiga camp yang berbeda. Di masing-masing camp juga tidak ada tutor yang
membimbing untuk membiasakan speaking. Lembaga ini terkesan main-main
menurutku. Lebih ke profitnya, tidak murni untuk pendidikan.
Terlepas dari semua
itu, berkumpul bersama teman-teman khususnya para pengurus keluarga besar
AMBISI periode 2013-2014 cukup menyejukkan hati. Beberapa teman yang saya kenal
di organ ekstra juga saya temui di sini. Sahabat Aris selaku ketua OC dan
sahabati Roin sebagai MC idaman peserta pada sebuah acara pelatihan dulu. Saya
tidak menyangka kalau mereka juga bagian dari keluarga AMBISI.
Menjelang senja
kami harus mengakhiri perbincangan hangat ini. Mereka harus mengikuti kelas
selanjutnya dan kami harus melanjutkan perjalanan menuju Ponpes Kelurahan
Lirboyo. Tidak asing lagi jalanan yang kami lalui. Simpang Lima Gumul sebagai
simbol kabupaten Kediri hanya kami lewati, keterbatasan waktu yang memaksa kami
tidak bisa menyempatkan diri untuk singgah di tempat yang penuh kenangan ini.
Keramaian kota
Kediri juga menambah pengetahuan saya akan keanekaragaman Nusantara. Tidak jauh
dari keramaian kota, terdapat kompleks makam Syekh Al-Wasil Syamsudin. Salah
satu tokoh pejuang Islam di tanah Jawa. Kami menyempatkan waktu untuk
menziarahi tokoh ini, tidak berniat untuk apa-apa tetapi murni untuk mengenang
sejarah dengan harapan mempunyai semangat dan kesalehan sang tokoh.
Selanjutnya kami
segera menuju Ponpes Kelurahan Lirboyo. Pada mulanya saya mengira Lirboyo
merupakan satu pondok pesantren besar. Tetapi setelah datang ke tempat ini, Lirboyo
hanyalah nama dari sebuah kelurahan yang di dalamnya terdapat banyak pondok
pesantren. Atau bisa disebut kampung pesantren. Ketika masuk gapura kelurahan
Lirboyo, kita langsung disuguhi pemandangan yang berbeda. Di sana-sini banyak
terlihat kaum sarungan dengan peci hitamnya.
Azan maghrib pun
berkumandang dan kami segera bersiap di masjid terdekat. Kampung pesantren
memang berbeda. Di Lirboyo, setelah azan berkumandang masjid segera penuh
dengan jamaah. Ketika imam datang, para jamaah pun dengan reflek menyiapkan
jalan mulai dari pintu hingga imaman. Peci yang dipakai pun seragam berwarna
hitam. Ziarah ke makam leluhur pun tak lupa dilakukan setelah salat maghrib.
Acara dilaksanakan
di aula utama yang bisa menampung ribuan jamaah. Kami yang kebetulan memakai
peci putih diberikan fasilitas seperti para kiai. Saya hanya terbengong melihat
situasi itu. Adat di sini para santri memakai peci hitam. Lantas kami pun
mengikuti arahan dari panitia. Acara berlangsung seperti biasa, namun menurutku
semangatnya tidak seperti santri di Surabaya. Terlihat dari banyaknya santri
yang ke belakang dan tertidur, ketika membaca tahlil pun terkesan biasa.
Semilir angin
menerpa tiang-tiang kehidupan. Kelurahan Lirboyo sebagai ladang tumbuhnya benih
ulama-ulama Nusantara. Bintang-bintang menjadi saksi kehidupan penuh barokah.
Rembulan pun tersenyum menyaksikan umat manusia pengawal perputaran bumi. Dalam
keheningan malam, kami meninggalkan kelurahan Lirboyo mencari masjid untuk
melepas kantuk. Tapi tidak kami temukan masjid yang membiarkan siapa saja masuk
selain waktu salat, apalagi di tengah malam seperti ini. Kami berputar-putar
kira-kira selama 30 menit, tetapi tetap
saja tidak ada masjid yang buka 24 jam. Akhirnya kami memutuskan untuk kembali
ke sekitar Lirboyo dan akhirnya menemukan masjid 24 jam he he he he he.
Azan subuh
berkumandang, pertanda kami harus segera berbenah diri. Hidangan susu hangat
dan tahu goreng pun menjadi hidangan pagi. Bersama warga sekitar, kami
menikmati kesejukan pagi di salah satu warung tak jauh dari masjid. Kemudian,
gunung Kelud menjadi destinasi wisata yang akan kami kunjungi. Satu jam
perjalanan untuk sampai ke lokasi. Jalan yang menanjak dengan kiri-kanan adalah
jurang, cukup membuat merinding siapa saja yang melewatinya. Dari parkiran motor,
pengunjung harus berjalan kaki untuk sampai ke puncak. Cukup melelahkan memang,
jangan lupa membawa air yaaa.
Kesejukan udara di
puncak Kelud memberikan ruang tersendiri pada setiap jiwa untuk memperbaiki
diri, merenungi keagungan sang Ilahi. Di puncak Kelud kita bisa menyaksikan apa
saja. Terhampar luas kehidupan manusia. Beberapa gambar cukup mengabadikan
tempat ini sebagai kenangan sebelum kami turun ke lereng. Di parkiran motor
saya berinteraksi dengan petugas parkir dan saya baru tahu keindahan Kelud
melalui ceritanya. Dia menjelaskan panjang lebar tentang kondisi Kelud sebelum
letusan. Begitu indah dan mempesona, membuat takjub setiap pengunjung yang
hadir. Kolaborasi antara ciptaan agung sang Khalik dan kreativitas manusia.
Namun kini berbeda, Kelud tak seindah dulu.
Sebelum kembali ke
Surabaya, kami rehat sebentar di camp Kresna. Menikmati hidangan tansu sebagai
pengganjal perut sebelum akhirnya menancap gas melewati kota Jombang dan
Mojokerto untuk sampai ke kota Pahlawan.
0 Comments