Camkoha Bengkulu, Merah Putih Bumi Rafflesia

Apola rasanyo gulai belanak

Mano lemak kek acar bledang

Apo kabar wahai adik sanak

Kami ucapkan selamat datang

 

Pantun di atas tertulis di meja sebuah resto yang terletak tak jauh dari bandara. Ya, sesampainya di Bandara Fatmawati Soekarno Bengkulu pukul 13.30 WIB, kami disambut oleh Kepala Balai Pelatihan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa, Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Bengkulu, Dadang Herawan Susanto, S.ST., M.Si; Kasubag TU, Adi Nasution; dan Korkab TPP Bengkulu Utara. Sementara itu, kami rombongan dari Jakarta, bersama Kepala BPSDM Kementerian Desa PDTT, Prof. Dr. Luthfiyah Nurlaela, M.Pd; Kepala Puslat SDM, Dr. Fujiartanto; Pak Depi dan Pak Febri selaku PPK; serta beberapa tim lainnya. 

Tujuan kami mengunjungi Bengkulu dalam rangka monitoring dan evaluasi pelaksanaan program RPL Desa yang diselenggarakan oleh Universitas Terbuka Bengkulu bersama Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa Bengkulu. Sesuai agenda, kami akan mengunjungi kedua tempat tersebut esok hari. Oleh karena itu, setelah puas mencicipi hidangan dan menunaikan ibadah, kami melanjutkan perjalanan menuju Balai Pelatihan dan Pemberdayaan Masyarakat Bengkulu yang jaraknya kurang lebih 12 km dengan waktu tempuh sekitar 1,5 – 2 jam.

Dengan jumlah personil yang cukup banyak, kami terbagi dalam beberapa kendaraan. Saya bersama Kepala BPSDM dan Kepala Balai Bengkulu dalam satu mobil dengan driver Mas Anjar. Sepanjang perjalanan, Pak Dadang bercerita banyak hal, sehingga membuat wawasan kami semakin terbuka, khususnya bagi saya yang baru pertama kali menginjakkan kaki di Bengkulu.

Dari resto, kami menyusuri pantai dan melewati muara Bengkulu. Pepohonan dan berbagai pernak-pernik khas pantai tersaji menyejukkan mata. Perahu dengan beragam ukuran juga tampak bersandar. Gelombang pasang air laut, serta angin yang berhembus kencang menggoyangkan berbagai benda di sekitar pantai. 

Tak lama menikmati pemandangan pantai, kami mulai melewati hutan dengan jalanan yang menanjak dan berkelok. Beberapa truk dari arah berlawanan beberapa kali melintas, menurut keterangan Pak Dadang, truk-truk tersebut mengangkut sawit dan batubara. Beberapa kali di setiap tikungan yang berkelok, kami harus mengurangi kecepatan dan bahkan sesekali harus berhenti karena bergantian dengan truk dari arah berlawanan. Tampak truk-truk tersebut perlahan maju pada tanjakan dengan suara mesin yang mengeram. Beberapa orang juga terlihat membawa kayu pengganjal dan bersiap jika truk tak kuat menanjak.

Kondisi jalanan sudah sangat baik dibanding sebelumnya, meski beberapa kali kami terkena lubang. Jalanan relatif setelah dilakukan perbaikan tahun lalu karena adanya kunjungan Presiden RI dan ibu negara ke Bengkulu. Pak Dadang menunjukkan sebuah masjid yang disinggahi Presiden dan ibu negara dengan foto yang viral di media massa.

Setelah melewati tanjakan dan belokan, akhirnya kami sampai di Balai Pelatihan dan Pemberdayaan Masyarakat Bengkulu. Balai ini secara geografis tampak berbeda dengan balai-balai yang lain karena lokasinya di tengah hutan dengan luas lahan yang mencapai 371.900 ha. Dari pintu gerbang, kami disuguhi padang rumput yang hijau dengan beberapa sapi yang terikat di pohon. Sementara itu di sisi yang lain terlihat pohon durian yang tak kunjung berbuah, menurut keterangan Pak Dadang. 

Kami terus masuk ke wilayah lahan balai yang terdalam. Situasi pada saat itu sedang gerimis dan kondisi tanah yang lunak, memaksa kami untuk tidak keluar mobil. Kanan-kiri terlihat rerimbunan yang tumbuh alami dan juga pohon sawit yang tampak besar. Sementara itu di titik yang lain tampak pembibitan pohon sawit di lahan yang sangat luas. Puas memutari lahan balai, kami segera merapat ke kantor balai untuk bertemu dengan para pegawai yang sehari-hari menghabiskan waktu di sini. Momen kali ini benar-benar dimanfaatkan untuk memaksimalkan potensi balai, manajemen pegawai, menyelesaikan permasalahan dan peluang-peluang kerja sama.

Sekitar pukul 19.00 WIB kami bergeser menuju Desa Rama Agung. Suasana balai sudah sangat gelap, dan berulang kali putus listrik. Hanya cahaya mobil yang benar-benar kami andalkan. Jalanan dari balai menuju desa Rama Agung gelap gulita. Pencahayaan hanya dari rumah-rumah warga dan kendaraan yang lewat. Orang-orang penjaga tanjakan juga masih terlihat dengan cahaya remang dalam kegelapan. Desa Rama Agung terletak di Kecamatan Arga Makmur, Kabupaten Bengkulu Utara. Menurut keterangan Kepala Desa, Desa ini terbentuk pada 1963 melalui program transmigrasi dari Bali. Saat ini, Desa Rama Agung mendapat sebutan sebagai desa moderasi beragama karena warganya terdiri dari beragam etnis dan agama yang hidup damai dan berdampingan.

Dari desa ini, kami bergeser ke sekretariat TPP Bengkulu Utara. Kami berdiskusi berkenaan dengan proses pendampingan desa yang selama ini dilakukan. Kondisi geografis di sebuah pulau yang terpisah dari daratan Sumatra menjadikannya tantangan tersendiri dalam proses pendampingan. Waktu semakin malam, dan kami tidak bisa berlama-lama berdiskusi. Kami harus segera ke penginapan yang terletak di kota untuk mempersipakan agenda esok hari. Baca juga Danau Dendam Tak Sudah dan RPL Desa di Bengkulu

Post a Comment

0 Comments