Hidup di dunia material menekankan bagaimana benda-benda mati dalam lingkungan bertindak terhadap manusia, dan ditindaklanjuti oleh orang-orang, untuk tujuan menjalankan fungsi sosial, mengatur hubungan sosial dan memberikan makna simbolis pada aktivitas manusia. Bidang studi budaya material (selanjutnya disingkat MCS) adalah nomenklatur baru-baru ini yang menggabungkan serangkaian penyelidikan ilmiah tentang penggunaan dan makna objek.Dengan mempelajari budaya sebagai sesuatu yang diciptakan dan hidup melalui objek, kita dapat lebih memahami struktur sosial dan dimensi sistem yang lebih besar seperti ketimpangan dan perbedaan sosial, dan juga tindakan manusia, emosi dan makna.

 

Penegasan utama MCS adalah bahwa objek memiliki kemampuan untuk menandakan sesuatu - atau membangun makna sosial - atas nama orang, atau melakukan 'pekerjaan sosial', meskipun kapasitas komunikatif budaya ini tidak boleh secara otomatis diasumsikan.

 

Bagian ini, menekankan kapasitas dari objek untuk melakukan pekerjaan sosial dan budaya. Secara khusus, studi kasus berikut ini menunjukkan kapasitas beragam objek untuk memberikan makna, menunjukkan hubungan kekuasaan, dan membangun selfhood. Tiga bagian menunjukkan bagaimana benda-benda dapat digunakan sebagai:

1.   Penanda nilai

2.   Penanda identitas

3.   Penanda jaringan kekuasaan, budaya dan politik

 

Objek Sebagai Penanda Sosial

Bourdieu menulis bahwa gagasan benda sebagai penanda nilai estetika dan budaya, selera atau peran pilihan seseorang mereproduksi kesenjangan sosial. Penilaian selera didasarkan pada kriteria objektif dan mutlak dengan menunjukkan bahwa kondisi sosial tertentu dan kelas cenderung memiliki preferensi rasa yang khas. Kelompok dominan memiliki kewenangan untuk menentukan parameter dari nilai budaya. Rasa menjadi penanda yang membedakan dan menilai struktur posisi sosial dan status. Berikut studi kasus dimana objek bertindak sebagai penanda nilai estetika dan identitas diri, terlihat tidak hanya pada apa, tapi mengapa dan bagaimana.

 

Helen

Helen menggambarkan tingkat kompetensi yang tinggi estetika, dia telah menguasai 'simetri dan korespondensi terkait dengan pilihannya. Akibatnya, dia mampu kontekstualisasi pilihan sendiri dalam tren sosial dan estetika yang lebih luas dengan tingkat otoritas budaya yang tinggi, membawa berbagai pengetahuan budaya dan keahlian pada dirinya. 

 

Sebuah benda yang menandakan, dan merangkum, gaya pemiliknya dan suasana yang diinginkan dari seluruh rumah. kesederhanaan kursi ini, netralitas dan gaya abadi klasik adalah instruktif:

 

Christina

Christina bergerak untuk menjauhkan diri dari ide-ide utama tentang rasa dan gaya, atas dasar sifat elitis, kurangnya keaslian orang-berpusat, dan kurangnya dirasakan relevansi padanya kepentingan kunci luang: televisi kabel, budaya pub, sepak bola dan pakaian perbelanjaan. posisi anti-gaya ini tercermin dalam salah satu objek Christina lagi memilih untuk membahas dalam wawancara - apa yang dia sebut sebagai 'wartishog':

 

Objek Sebagai Pembuat Identitas

Memisahkan klaim estetika dari narasi atau kalim tentang identitas diri dalam studi benda-benda. Seperti teks agama suci, kasus utama dari objek yang diproduksi secara massal dalam mempertahankan aura kuat. Meskipun merupakan teks rohani yang penting, juga merupakan obyek produksi massal dengan sirkulasi yang luas.  Namun, berhasil mempertahankan aura otoritas.

 

Sarah

Iman Kristennya merupakan aspek penting dari identitas yang mendefinisikan arah dan makna hidupnya. Dia ingin menjalani hidupnya konsisten dengan keyakinan Kristen dan merasakan sebuah perbedaan signifikan antara pilihan-pilihan hidupnya dan pilihan hidup mereka dari orang-orang yang tidak memiliki keyakinan seperti itu. Al-Kitab adalah symbol dari keyakinan dan menawarkan di acara melawan tekanan sosial yang bisa menariknya jauh dari keyakinan tersebut.

 

Objek Sebagai Situs Budaya dan Kekuasaan Politik

Hubungan antara manusia dan teknologi, benda-benda yang dibangun oleh hubungan kekuasaan tertentu, pada gilirannya juga aktif membangun hubungan tersebut. Teori aktan-jaringan cenderung berfokus pada teknologi baru objek seperti telepon genggam, mesin yang 'bertindak untuk' orang seperti remote kontrol, kecepatan-benjolan atau pintu-calon pengantin pria, dan benda-benda 'jaringan teknologi' seperti pesawat terbang, bangunan dan kendaraan bermotor.Section berikutnya membahas contoh yang terkenal Foucault dari penjara yg bentuknya bundar untuk menjelaskan bagaimana objek berada di pusat wacana dan jaringan kekuasaan, dan bagaimana mereka 'bertindak' untuk mempengaruhi tindakan manusia. Sejak Foucault meninggal sebelum penelitian terkini tentang 'aktan-jaringan' muncul ia tidak diidentifikasi dengan bidang tersebut. Namun, karyanya dapat dilihat sebagai mengembangkan beberapa tema penting yang diambil oleh kelompok saat ini ulama aktan-jaringan

 

Mengartikan Material Culture

o  Studi tentang material culture mempunyai keterkaitan dengan hubungan timbal balik manusia sebagai subjek dengan objek-objek kebudayaan. Apa yang menyebabkan manusia menggunakan suatu objek, atau untuk apa objek itu dipakai dan fungsinya untuk manusia.

 

o   Istilah ‘material culture’ merujuk pada material apa pun (sepatu, pena, cangkir) atau jaringan benda-benda material (rumah, mobil, atau pusat perbelanjaan) yang manusia rasakan, gunakan, atau sentuh.

 

o  Istilah ‘material culture’ sering dihubungkan dengan ‘things’, ‘objects’, ‘artefact’, ‘goods’, ‘commodities’, dan baru-baru ini istilah ‘actants’. Namun, ada beberapa nuansa penting dalam arti setiap istilah, yang membantu untuk membatasi konteks dimana istilah itu harus digunakan.

 

-      Things: sesuatu yang bersifat konkret namun mati dan harus dihidupkan oleh pelaku kebudayaan dengan imajinasi atau konseptual.

-     Object: komponen kebudayaan yang mampu disentuh dan dilihat, atau sesuatu yang lebih nyata.

-      Artefak: produksi fisik atau peninggalan dari aktivitas manusia

-    Goods: objek yang ada diproduksi dibawah hubungan pasar yang diberi nilai dan sistem pertukaran.

-      Komoditas: konvensi umum yang menunjukan pada hal-hal baik dan luhur.  

-     Objek tidak hanya ditentukan oleh kualitas materialnya, tetapi olehlokasinyadalam sistem narasi dan logika yang ditata oleh wacana sosiaterkait dengan teknologi, budaya, ekonomi dan politik.

-   Dengan kata lain, objek ada karena sosial, budaya dankekuatan politik mendefinisikan mereka sebagai objek dalam sistem hubungan denganbenda lainnya.

-     Istilah apa pun yang dipilih seseorang untuk diterapkan dalam konteks tertentu - apakah itu objects,actantsmaterial culturethingsatau goods- seseorang itu hanya perlu melihatnya dalam lingkungan sekitar mereka atau melihat ke dalam konteksnya.


Kursus ini disediakan oleh Iowa State University, sebagai bagian dari Online Professional English Learning (OPEN). Program ini disponsori oleh Departemen Luar Negeri AS dengan pendanaan yang disediakan oleh Pemerintah AS, dan dikelola oleh FHI 360. Dalam mata kuliah ini, peserta akan belajar tentang tujuan dan fungsi pusat penulisan akademik di perguruan tinggi. Mereka akan diperkenalkan dengan pedoman untuk mendirikan dan menjalankan pusat menulis dalam konteks Bahasa Inggris sebagai Bahasa Asing (EFL). Secara khusus, peserta akan mengeksplorasi model untuk mendanai pusat penulisan, praktik terbaik untuk mempekerjakan dan melatih staf, kebijakan dan prosedur pusat penulisan, dan metode untuk mempromosikan layanan pusat penulisan.


Kursus ini dirancang untuk administrator dan akademisi di institusi pendidikan tinggi yang tertarik untuk mendirikan dan mempertahankan pusat penulisan akademis di institusi mereka untuk mendukung publikasi di jurnal berdampak tinggi. Peserta akan mempelajari sejarah dan tujuan dari pusat penulisan, berbagai model untuk mengatur dan mendanai pusat-pusat ini, bagaimana menemukan dan melatih staf, dan praktik terbaik untuk mengembangkan kebijakan dan prosedur. Kursus ini tidak memberikan instruksi tentang penulisan akademis; ini berfokus pada aspek administratif dalam mendirikan dan mempertahankan pusat penulisan untuk memberikan dukungan jangka panjang dan berkelanjutan untuk penulisan dan penerbitan akademis.

Orientasi Modul Video

Welcome to Establishing Academic Writing Centers Modul Video

Modul 1

  1. Modul 1 Introduction Modul Video
  2. The Evolution of Writing Centers Modul Video
  3. Summaries of Writing Center Offer Modul Video
  4. Organizing and Funding Academic Writing Center Modul Video
  5. Stakeholder Analysis and Institutional Needs Analysis Modul Video1 Video2
  6. Promoting Academic Writing Center Modul Video1 Video2

Penelitian ini bukan karya yang pertama dan bukan satu-satunya menyangkut cerita Galigo. Telah ada beberapa usaha terdahulu dalam mengungkap I La Galigo, baik untuk mencari dan mengumpulkan naskahnya, maupun untuk mengungkapkan isinya. Semuanya memberikan sumbangan menurut kadarnya masing-masing, bersambung dalam rangkaian suatu pekerjaan ilmiah yang membutuhkan pikiran, tenaga dan biaya yang tidak sedikit. Buku yang ditulis berdasarkan disertasi Fachruddin Ambo Enre ini terdiri dari lima bab, berusaha menelaah salah satu episode dalam La Galigo yang berjudul Ritumpanna Welenrennge. Episode ini merupakan salah satu cuplikan cerita yang paling luas dikenal di kalangan masyarakat Bugis umum, masyarakat tempat asal-muasal epos La Galigo.

Episode Ritumpanna Welenrennge (RW) atau “pohon Welenrennge yang ditebang” menceritakan tentang keinginan kuat Sawerigading untuk membuktikan keberadaan adik kembarnya We Tenriabeng. Setelah mendengar keberadaan mengenai sang adik dari Pallawagauq, sepupunya yang menjadi raja di Tompo Tikkaq. Ketika berhasil mengetahui kebenaran cerita tersebut dan bertemu langsung dengan We Tenriabeng, Sawerigading jatuh cinta. Namun, karena mereka bersaudara, pernikahan tidak bisa dilangsungkan. We Tenriabeng pun menyuruh sang kakak untuk berlayar ke negeri Cina menemui seorang putri yang kecantikannya mirip dengan dirinya. Untuk berangkat menemui putri Cina bernama We Cudai tersebut, Sawerigading bersama pengawalnya menebang pohon Welenrennge sebagai bahan pembuatan perahu.

Pada bab pendahuluan dari buku ini, diterangkan mengenai karya terdahulu yang sempat membahas dan berusaha pengumpulan naskah I La Galigo. Th. S. Raffles yang dianggap memperkenalkan kisah ini kepada dunia luar melalui bukunya The History of Javayang diterbitkan pada tahun 1817. Ia mencatat sedikit tentang isinya serta cara membacanya, yang dikatakannya terdiri atas satuan lima suku kata yang diakhiri dengan jeda. Iramanya disebutnya rangkaian daktilusdan trokhaeus. Menurut dia puisi wiracarita ini adalah satu-satunya jenis pustaka di kalangan orang Bugis yang dikenal pengarangnya, yaitu I La Galigo putera Sawerigading.

Selang setengah abad kemudian, barulah B.F. Matthes yang memulai pengumpulan dan penyalinan naskah I La Galigo dengan bantuan Colliq Pujie. B.F. Matthes yang pernah tinggal di Makassar antara tahun 1848-1879 dengan diselingi dua kali cuti panjang ke negeri Belanda menggunakan banyak waktu dan tenaganya untuk mendapatkan naskah dan keterangan mengenai cerita Galigo. Matthes berhasil mengumpulkan 26 buku yang kemudian diserahkannya ke Nederlandsche Bijbelgenootschap (NBG). Mencakup materi utama cerita dari awal hingga akhir. Dia juga menamai cerita ini puisi wiracarita. 

Episode awal pernah diterbitkan dengan menggunakan aksara lontaraqdisertai keterangan. Sedikit berbeda dengan keterangan Raffles, Matthes hanya menyatakan bahwa cerita itu dikenal di pedalaman Sulawesi Selatan dengan nama I La Galiga, yang juga merupakan nama salah seorang tokohnya yang memegang peranan penting. Ia sangat menyesalkan tidak dapat memperoleh kumpulan cerita yang lengkap, sebab penduduk nampaknya sudah merasa puas dengan memiliki sebagian kecil saja untuk dibaca pada upacara tertentu. 

Mengenai iramanya dikatakannya sangat sederhana, berupa satu kaki sajak yang terdiri dari lima suku kata kalau tekanan jatuh pada suku kedua dari belakang, atau empat suku kata jika tekanan jatuh pada suku kata terakhir. Bahasanya, disebutnya bahasa Bugis kuno yang tidak terpakai lagi. Ia berpendapat, bahwa pustaka ini jelas mempunyai nilai sastra yang tinggi, tetapi kegunaannya akan lebih banyak bagi etnologi, karena di dalamnya terdapat berbagai kebiasaan penduduk yang masih berlaku.

Karya berikutnya juga berupa pengumpulan naskah yang dilakukan oleh Schoemann. Koleksinya yang terdiri dari 19 buku, kesemuanya merupakan naskah salinan, kemudian dibeli oleh Perpustakaan Negara Prusia di Berlin. Usaha pengumpulan naskah yang paling luas bisa dikatakan diperoleh Rijksuniversiteits Bibliotheek(RUB) di Leiden, Belanda pada tahun 1920 melalui bantuan Prof. Dr. J.C.G Jonker. Dia berhasil mengumpulkan 67 buku tulis dan sebuah naskah lontar. Tujuh buah diantaranya adalah naskah asli dan sisanya berupa salinan. Naskah-naskah tersebut dikumpulkan selama masa jabatannya sebagai taal ambtenaardi Makassar antara tahun 1886-1896. Penelaahan isi I La Galigo dari segi sistem pelapisan masyarakat yang berlaku di kalangan masyarakat Bugis pertama kali diusahakan oleh H.J. Friedericy. Barulah selang puluhan tahun kemudian, Mattulada (Sejarawan asli dari Sulawesi Selatan) juga menelaah isi La Galigo sebagai sumber informasi sejarah perkembangan ketatanegaraan di kalangan orang Bugis.

Telaah naskah merupakan inti dari bab II buku ini. Penulis menggunakan tujuh naskah salinan episode RW berbeda. Sebuah naskah yang didapatnya dari Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan dan Tenggara (YKSST) di Ujung Pandang, lima dari perpustakaan universitas (RUB) di Leiden, dan satu lagi langsung dari anggota masyarakat Sulawesi Selatan sebagai pelengkap. Penulis juga menceritakan kesulitannya dalam menelaah naskah-naskah tersebut, antara lain: perbedaan dan persamaan pada episode yang sama, penanda batas awal dan batas akhir masing-masing adegan dalam episode tersebut, serta pencarian naskah lain yang menjelaskan sebab dan akibat dari adegan-adegan yang terjadi dalam episode RW. Penulisan lontaraq dan penggunaan kata-kata dalam ketujuh naskah yang sudah berumur ratusan tahun ini juga ikut ditelaah sebab dapat memberikan informasi mengenai kapan dan di mana kira-kira naskah tersebut dibuat ataupun disalin.

Jika telaah naskah menjadi inti dalam bab II, telaah struktur kini menjadi perhatian utama dalam bab III. Mengapa RW dikategorikan sebagai sureq dan bukannya lontaraq? Dari sifatnya, sureq itu mengindikasikan sastra, sedangkan lontaraq mengindikasikan pustaka. Sureq dibaca sambil berlagu, sedangkan lontaraq tidak. Dari segi indikasi dalamnya, sureq berisikan cerita, sedangkan lontaraq menurut Cense adalah naskah tulis tangan yang biasanya berisi silsilah, catatan harian, atau kumpulan berbagai catatan, terutama yang menyangkut sejarah. Unsur yang memegang peranan penting dalam I La Galigo adalah ceritanya sebab jenisnya adalah puisi cerita yang memiliki rangkaian peristiwa kronologis yang memiliki akhir.

Episode RW hanya merupakan sepotong episode, namun memiliki awal dan akhir sendiri. Setiap episode dalam I La Galigo sepertinya mengangkat tema yang berbeda-beda, meskipun ada juga yang memiliki tema yang sama. Mengenai latar, epidose RW kebanyakan berlatar tempat atau negeri. Tempat berpusat di istana Luwuq dan Wareq, Mangkuttu sebagai tempat pohon Welenrenng tumbuh, dan pelabuhan Luwuq sebagai pintu gerbang kerajaan tersebut. Negeri menjadi latar dari para pengawal yang diminta untuk menemani Sawerigading ke Cina, dan negeri yang rajanya diundang untuk menghadiri acara di Wareq. Mengenai bahasa dan periodus, I La Galigo banyak menggunakan kata yang tidak dipakai lagi dalam bahasa Bugis sekarang, seperti daramose = bantal seroja dan sinrangeng = usungan.

Selesai membahas telaah struktur, buku ini berlanjut ke bab IV yang merupakan bab kesimpulan. Di sini, penulis menyimpulkan uraian dan penjelasan yang telah dibahas dari bab I hingga bab III. Fachruddin Ambo Enre cukup bagus dalam menyusun bab ini sebab kesimpulannya dijabarkan melalui poin-poin yang memang menjadi intisari dari tiap babnya sehingga dapat dengan mudah dimengerti. Buku ini ditutup dengan bab V yang merupakan edisi naskah dan terjemahan dari episode RW.

SUBSCRIBE & FOLLOW