Aura Mistis Lenggoksono



 Lenggak-lenggok jalanan perbukitan membuat hati berdegup kencang. Kayu sono menyambut kedatangan setiap pengunjung. Melambai-lambai seakan memberikan nasehat “Berhati-hatilah.” Jalanan sempit dengan tanpa pembatas sepanjang perjalanan, sedangkan kanan-kiri hanya ada jurang yang dalamnya entah berapa meter. Mata hanya menyaksikan rerimbunan semak di setiap sudut.

Perjalanan menuju pantai Lenggoksono cukup melelahkan. Kalau tidak karena keperluan observasi sebagai tugas akhir mata kuliah pariwasata, mungkin tidak semua teman bisa ikut. Di tengah perjalanan kami sempat menuai masalah karena salah satu mobil hampir kehabisan kampas kopling. Tapi itu hanya beberapa saat dan akhirnya beberapa menit kemudian kami sampai di bibir pantai Lenggoksono, salah satu pantai di daerah Malang Selatan.


Kesan pertama ketika sampai di tempat ini, tak ada perasaan takjub atau pun kagum. Hanya perasaan senang melihat keindahan ciptaannya. Kami segera berbenah diri bersiap bercumbu dengan lautan. Hidangan di bibir pantai sempat kami nikmati sebelum basah. Pengabadian kebersamaan baik ketika wawancara penduduk setempat maupun keriangan gurau bersama para sahabat.


Setelah semua siap dengan membawa peralatan snorkling, kami pun menaiki perahu yang telah kami sewa. Kami dibagi menjadi dua grup. Tujuan pertama kami yaitu pantai Banyuanjlok. Pantai ini merupakan pertemuan dua jenis air, tawar dan asin. Kami menikmati kesegaran air tawar di air terjun dan berenang menyusuri aliran sungai. Hanya beberapa yang bisa berenang, sehingga kami harus saling membantu.


Selanjutnya, kami menuju destinasi wisata pantai berikutnya. Banyak sampah berserakan, sehingga hanya beberapa menit kami singgah. Kami segera meluncur ke perairan terjernih dengan pemandangan terumbu karang yang menakjubkan. Snorkling sambil berinteraksi dengan ikan-ikan kecil menjadi hal yang tidak bisa dinikmati semua orang. Sebagian dari kami tidak berani untuk menceburkan diri. Kedalaman kurang lebih dua meter. Tidak tahan dengan kadar garam air laut yang sangat perih ketika terkena mata dan sesak saat terminum membuat kami mengakhiri permainan mengasyikkan ini. Kami segera kembali menuju pantai Lenggoksono, membersikan diri dan mengisi nutrisi tubuh.


 Setelah semua beres, kami segera kembali  ke Surabaya. Perjalanan pulang diiringi dengan gerimis tipis-tipis sampai hujan lebat yang menutup pandangan. Benar-benar tak tampak, berulang kali kami mengucapkan kalimat thayyibah berharap senantiasa diberikan keselamatan. Sampai akhirnya kita harus berhenti karena ada masalah pada mobil. Dua mobil yang lain juga tak tampak.

Sebuah warung menjadi tempat peristirahatan kami sambil menunggu dua mobil di belakang. Beberapa menit kemudian, penghuni dari dua mobil berjalan sambil bernyanyi menghampiri kami yang sedari tadi menghangatkan diri dengan secangkir kopi. Menurut cerita mereka, mobil yang mereka tumpangi kehabisan kampas kompling. Mendengar cerita tersebut, beberapa orang yang kebetulan juga mampir di warung memberikan komentar bahwa kita harus menginap. Semuanya tercengang mendengar cerita itu, berharap apa yang disampaikan orang tersebut tidak benar.

Beberapa menit kemudian, semuanya telah berkumpul di warung. Dialog cukup serius terjadi di antara kami. Dengan pertimbangan keselamatan nyawa, kami semua akhirnya menginap di tempat ini. Beruntung pemilik warung memberikan tumpangan kepada kami. Beberapa di antara kami menunjukkan wajah yang kurang terima dengan keputusan itu. Tapi apa boleh buat, nyawa taruhannya. 

Di pojok warung, sahabat Dicky memegang gitar dan beberapa dari kami duduk melingkar dan bernyanyi bersama. Suasana menjadi cair, tak tampak lagi kesedihan di antara kami, walaupun beberapa teman berulang kali menerima telepon dari keluarganya yang khawatir. 

Pukul 20.00 WIB, semua cahaya mati. Pemilik warung memberitahukan bahwa listrik di sini bukan dari PLN tapi dari genset sehingga terbatas. Praktis setelah semua cahaya padam, kami mencari tempat untuk istirahat. Keterbatasan tempat membuat kami tidak teratur, memaksimalkan setiap tempat kosong yang ada. Saya mendapat tempat di luar, teras rumah. Namun, karena saya berada di antara teman yang memiliki tubuh yang cukup besar. Praktis saya tak bisa memejamkan mata.

Pemandangan malam di tengah hutan cukup indah. Jarang sekali menyaksikan pemandangan bintang-bintang yang saling menyapa. Kerlap-kerlip meneduhkan siapa saja yang mengagungi zat-Nya. Walaupun begitu banyak gemerlap lampu di kota Metropolis, tapi tak seindah ciptaan-Nya. Beberapa teman terlihat masih duduk termenung, entah apa yang dia lakukan. Tiba-tiba sahabat Anif memaksa saya untuk mendongeng. Beberapa kali saya diprotes karena cara mendongeng saya yang sangat datar. Lama-kelamaan, saya pun bisa beradaptasi dan para pendengar mulai bisa menerima apa yang saya sampaikan. Hingga tak terasa semuanya terlelap dalam alam mimpi.

Keesokan harinya, semua tampak menikmati suasana ini. Suasana perbukitan yang cukup asri. Mereka menyebutnya, persiapan KKN. Memang benar, kami harus membersihkan diri di alam terbuka, sedikit cahaya, dan jauh dari peradaban penduduk. Beberapa teman jalan-jalan menikmati pemandangan, sementara yang lain memperbaiki mobil dibantu warga setempat. Setelah proses yang begitu panjang, akhirnya mobil sembul dan bisa ditumpangi. Tapi, masalah kembali muncul ketika mobil yang lain tidak bisa dinyalakan. Karena hari sudah sore dan kami tidak mau kembali menginap di tempat ini, kami pun berencana menderek mobil hingga ke pusat kecamatan. Beruntung ada truck lewat yang bersedia menderek mobil. Saya dan sebagian teman-teman pun naik ke truck yang bermuatan pisang.

Perjalan pulang yang tak bisa dirasakan oleh semua orang, pengalaman yang sangat luar biasa. Selama perjalanan, tak henti-hentinya saya merasa takjub dengan pemandangan yang ada. Mungkin tak bisa disaksikan jika tidak naik truck. Sambil menikmati pemandangan, kami bergantian mengatur tali yang menderek mobil di belakangnya. Perjalanan cukup panjang, mentari pun perlahan-lahan bersembunyi di balik rerimbunan pohon. Hingga hanya kerlap-kerlip kendaraan bermotor yang tampak. Cukup lama kami di atas truk, akhirnya kami sampai ke bengkel. 

Bengkel ini terletak tepat di sebelah terminal. Suasana malam yang kurang bersahabat membuat kami harus bermalam di dalam bengkel. Cerita-cerita mistis pun tak lepas dari perjalanan kami. Tampak beberapa orang berusaha mencari mobil derek, sementara yang lain beberapa kali dihubungi oleh keluarganya. Inilah pengalaman pertama saya naik mobil derek. Sungguh manusia hanya bisa merencanakan dan Tuhanlah yang memutuskan.
Skeedosh...!!!

Post a Comment

0 Comments