Tanyakan
kepada dunia apa itu cinta? Jika bukan oleh bentang waktu yang panjang,
dukacita dan kegetiran, bagaimanakah caranya mengukur kedalaman cinta? Seorang
angkatan bersenjata bernama Sersan Wage Supratman, tembakannya tak mampu
melumpuhkan wanita yang menggetarkan hatinya. Siapakah wanita itu? Sesuci Bunda
Maria atau seistimewa Siti Khadijah. Segetir apa pun kisah asmaranya, tak
melunturkan nasionalisme dan kecintaannya kepada tanah air.
Sementara
di kota suci Mekkah, Sang Nabi sedang berduka. Orang yang merawatnya sejak
kecil, melindungi dakwahnya dan menjadi saksi tanda-tanda kenabiannya meninggal
dunia. Selang tiga hari, Khadijah, istri terkasihnya tutup usia. Kehilangan
orang-orang terdekatnya sedikit banyak membuat Sang Nabi bersedih. Dakwahnya
mulai mendapat gangguan dan keluarga Bani Hasyim kehilangan rumah beserta harta
bendanya akibat boikot dari kafir Quraisy. Masa ini dikenal dengan tahun
kesedihan: ‘am al-huzny.
Tahun
kesedihan seakan terus berputar. Berbagai cobaan menjadi tragedi dalam perjalanan
umat manusia yang tak bisa dilupakan. Banjir, tanah longsor dan angin puting
beliung menjadi pemandangan yang merisaukan hati. Berdoa dan berusaha sekuat
tenaga dengan disertai senyuman akan membuat keadaan menjadi lebih baik
daripada menyalahkan alam atau mengambinghitamkan orang lain. Bantuan pasti
akan datang dan keberuntungan akan menjadi milik orang-orang yang bersabar.
Berbagai
kemungkinan masih bisa terjadi. Agar selamat dari marabahaya dan senantiasa
diberi ketabahan dalam menghadapi musibah, munajat doa terus dilantunkan dan menggema
di setiap menara masjid: allahumma bariklana fi rajaba wa sya’bana wa
ballighna Ramadhan.
Irama
Kebangkitan
Terus
meratapi kesedihan atau memutuskan untuk bangkit sebagai dua pilihan yang
sangat menentukan masa depan. Sersan Wage Supratman bangkit dengan melakukan
perjalanan ke Ujung Pandang untuk belajar bermain biola. Rudolf menjadi nama
tengahnya dan syair-syair kemerdekaan mulai dituliskan. Merdeka, merdeka,
tanahku, negeriku, yang kucinta.
Sementara
Sang Nabi, diperjalankan pada waktu malam. Perjalanan Isra’ dari Masjid al-Haram
ke Masjid al-Aqsa dilanjutkan Mi’raj dari Masjid al-Aqsa
menuju Sidratul Muntaha. Satu-satunya perjalanan terhebat sepanjang
masa, mempengaruhi perilaku jutaan umat manusia. Perjalanan yang tak mampu
dijangkau oleh akal pikiran manusia, namun Abu Bakar meletakkan dasar keimanan
sehingga bergelar as-Shiddiq.
Irama
kebangkitan terasa di seluruh penjuru Nusantara. Tuhan menunjukkan kuasanya
dengan membuka rahasia, seakan-akan memberikan nasehat kepada manusia agar
jangan sekali-kali menyerahkan urusan kepada orang yang bukan ahlinya. Musibah
besar diawali dengan menyerahkan urusan kepada orang yang tidak berkompeten
atau kurangnya kesadaran akan kemampuan diri.
Apa
yang telah terjadi seyogyanya diselesaikan secara gotong-royong. Menatap masa
depan dengan menyerahkan urusan kepada ahlinya. Dokter sebagai ahli kesehatan,
koki sebagai ahli masak-memasak atau kiai sebagai ahli agama. Al-Ghazali
mengelompokkan karakter manusia menjadi empat, yaitu 1) orang yang tahu dan dia
tahu kalau dirinya tahu, 2) orang yang tahu tapi dia tidak tahu kalau dirinya
tahu, 3) orang yang tidak tahu tapi dia tahu kalau dirinya tidak tahu, 4) orang
yang tidak tahu dan dirinya tidak tahu kalau dirinya tidak tahu.
Musik
Air
mata kesedihan Wage Rudolf Supratman seakan berhenti ketika Indonesia Raya
dinyanyikan. Kekecewaan kepada seorang wanita berganti dengan kebanggaan ketika
putra bangsa menyanyikan lagu Indonesia Raya dengan gagah di atas podium juara.
Perjuangan yang tak mudah, namun tidak lebih menyakitkan dari perjalanan Sang
Maestro.
Sedangkan
kesedihan yang dialami Sang Nabi ditukar dengan lima dasar kebenaran sebagai
symbol pengetahuan, keadilan, kejujuran, cinta dan kesabaran. Umat Muslim
mengenalnya sebagai shalat. Lima kebenaran sebagai dasar mencegah
perbuatan keji dan munkar.
Shalawat
salam semoga tetap tercurahkan kepada Sang Nabi dan selamat ulang tahun Sang
Maestro Sersan W.R. Supratman. Selamat Hari Musik Nasional…!!!
0 Comments