Tim Konservasi Budaya Dewan Kesenian Jawa Timur kali
ini kembali blusukan menghadiri undangan ruwat 32 sumber petirtan Jolotundo
(18/9). Selain menghadiri undangan, kedatangan kami kali ini masih dalam rangka
riset lanjutan penulisan foklor Jawa Timur. Kegiatan ini merupakan rangkaian
kegiatan kebudayaan yang diadakan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata setempat.
Tanggal satu suro sebagai awal dimulainya rangkaian
acara kebudayaan. Dimulai dari Ruwat Bumi Nuswantara di Pendopo Agung Trowulan, lomba macapatan oleh siswa, dilanjutkan Kirab Mahapatih Gajah Mada. Kegiatan ini merupakan kegiatan tahunan
yang rutin diadakan setiap tahun. Pesertanya datang dari seluruh penjuru
Nusantara. Datang dari berbagai latar belakang agama, profesi dan kepentingan,
semuanya melebur melestarikan kebudayaan daerah.
Para pemuda dan siswa sekolah turut meramaikan agenda
tahunan ini. Arak-arakan bantengan dengan bendera merah putih yang cukup
panjang berjalan menuju sumber Jolotundo. Berbagai tamu undangan dan masyarakat
pun berlomba-lomba mengabadikan momen ini. Kami banyak bertemu tokoh budayawan
yang tidak asing lagi. Biasanya kami berdiskusi sampai larut malam,
mendiskusikan pelestarian kebudayaan dan kebangsaan di lereng gunung
Penanggungan.
Acara dimulai dengan pembacaan ummul Qur’an oleh MC
yang sejak awal menggunakan bahasa Jawa. Kemudian dilanjutkan pembacaan niat
dan tujuan diadakannya ruwatan oleh sesepuh dengan menggunakan bahasa Jawa yang
sulit saya pahami. Kegiatan dilanjutkan dengan upacara mata air yang hanya
dilakukan segelintir orang di sumber tertinggi. Tidak semua pengunjung atau
undangan bisa menyaksikan ritual ini.
Alunan musik menambah kesakralan agenda ini. Kombinasi
antara biola, seruling, kecrek, gamelan, tabuh, dan beberapa alat yang
mengeluarkan bunyi khas yang saya sendiri tak tahu namanya. Kegiatan
dilanjutkan dengan mencampur 32 sumber mata air menjadi satu yang kemudian
dibagikan ke pengunjung. Saya berkesempatan menikmati kesegaran air mineral 32
sumber ini.
Di penghujung acara, pengunjung dan para undangan
dihibur oleh pertunjukan tari seribu topeng. Sesuai dengan namanya, penari
menggunakan 1000 topeng selama pertunjukan. Kabarnya, penari satu ini telah
menorehkan banyak prestasi. Setelah puas menyaksikan pertunjukan, para
pengunjung mendapat kesempatan berebut gunungan yang berisi banyak makanan. Ini
sebagai simbolis dan mengingatkan bahwa inilah karakter asli manusia yang suka
berebut. Saya sendiri hanya menyaksikan dari kejauhan, mengingat jarak ke
lokasi gunungan cukup jauh dari tempat saya duduk. Saya lebih memilih berdiskusi
dengan narasumber.
Agenda ditutup dengan ramah tamah. Menikmati hidangan tumpeng yang telah disediakan panitia. Bersama tim, kami menikmati
tumpeng sembari beramah-tamah dengan budayawan. Doa lintas agama sebagai
penutup acara. Diakhiri dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya dan Garuda
Pancasila oleh semua pengunjung dan undangan.
0 Comments