Saya cukup tergugah
membaca opini Prima Vidya Asteria di Jawa
Pos edisi 24 Agustus 2015 lalu atas keprihatinannya terhadap eksistensi
bahasa Indonesia. Dalam tulisan tersebut beliau memaparkan secara terperinci
terjadinya dekadensi penggunaan bahasa Indonesia. “Bagaimana bangsa lain bisa
mencintai bahasa Indonesia yang baik dan benar? Apabila rakyatnya saja malah
berlomba-lomba belajar bahasa asing (Takao).” Kutipan yang perlu diingat oleh
seluruh masyrakat Indonesia khususnya para pemuda.
Pemuda sebagai harapan
seluruh rakyat Indonesia tidak sepantasnya meninggalkan kultur dan budaya
Nasional. Apalagi realita yang terjadi dengan didukung derasnya arus
globalisasi, membuat sebagian rakyat Indonesia khususnya pemuda lebih bangga
menggunakan dan menampilkan budaya luar negeri dari pada dalam negeri. “Berikan
aku sepuluh pemuda, akan kuguncangkan dunia,” begitulah arti pentingnya pemuda
bagi Sukarno. Pemuda sebagai ukuran kemajuan suatu bangsa. Jika berbicara
pemuda, maka tauladan yang patut dicontoh adalah sang proklamator Republik
Indonesia, Ir.Sukarno.
Di seluruh Nusantara
bahkan dunia, rakyat selalu menunggu berita dan pidato Bung Karno. Rapat umum
yang dihadiri Bung Karno selalu dipadati ribuan masa. Membakar semangat
nasionalisme ribuan orang untuk mencintai tanah airnya. Tongkat, pakaian putih,
lengkap dengan peci hitam khas Indonesia sebagai identitas Bung Karno.
Identitas pakaian yang dikenakan Bung Karno tidak hanya pada forum-forum dalam
negeri, tetapi juga forum-forum Internasional. Bung Karno tetap berwibawa dan
disegani oleh pemimpin-pemimpin dunia. Bahkan karena beliaulah dulu kita
dikenal dengan Macan Asia. Selain itui, bapak apertheid sekaligus
Presiden Afrika Selatan (Almarhum) Nelson Mandela saja dengan bangga
menggunakan batik, bagaimana dengan warga negara pembuat batik tersebut?
Dari sisi yang lain, yang
patut dicontoh dari sosok Bung Karno ialah kemahirannya dalam menguasai
berbagai bahasa di dunia. Tetapi dengan kemahirannya tersebut tidak
menjadikannya lupa diri. Bung Karno tetap bangga dalam menggunakan bahasa
Indonesia. Bahkan dalam salah satu forum Internasional ketika para pemimpin
negara yang lain menggunakan bahasa Inggris, beliau menggunakan bahasa
Indonesia. Beliu mahir betul menggunakan bahasa Inggris tetapi tetap
menggunakan bahasa Indonesia karena tahu arti pentingnya bahasa dalam membangun
kedaulatan bangsa dan Indonesia sebagai negara yang paling unggul dari segala
lini. Tinggal bagaimana kita mengolah dan memanfaatkan sumber daya yang
melimpah sebaik mungkin demi kesejahteraan selurah rakyat Indonesia dari Sabang
sampai Merauke.
Kedaulatan bahasa Indonesia
harus diterapkan. Pertama, siapa saja yang masuk ke wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia harus mengganti namanya sesuai dengan tradisi setempat.
Kedua, dari Sabang sampai Merauke hanya ada dua bahasa yang boleh digunakan,
bahasa ibu atau bahasa suku-suku setempat yang tersebar dari Sabang sampai
Merauke atau bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional. Ketiga, tidak boleh
menggunakan bahasa asing kecuali dalam kelas-kelas bahasa asing. Keempat,
rakyat Indonesia yang berada di luar negeri apabila bertemu dengan saudaranya
setanah air harus menggunakan bahasa Indonesia atau menggunakan bahasa daerah
jika kebetulan dari suku yang sama.
Mengokohkan kedaulatan
bangsa dari bahasa Indonesia bukan berarti tidak boleh belajar bahasa asing.
Belajar bahasa asing sangat diperlukan hanya sebagai benteng pertahanan. Sangat
berbahaya apabila kita sama sekali tidak memahami bahasa asing. Dalam budaya
Jawa ada istilah ngluru ilmu kanthi
lelaku, mencari ilmu itu dengan berjalan. Salah satu budaya Nusantara ini
mengajarkan bahwa dalam menuntut ilmu dengan berjalan. Melakukan perjalanan ke
seluruh dunia tanpa batas. Yang menjadi batasan salah satunya adalah penguasaan
bahasa. Oleh karena itu, sangat penting mempelajari bahasa asing sebagai upaya
menghilangkan batasan dan mempertahankan kedaulatan.
Semua rencana tersebut
tidak bisa terlaksana tanpa campur tangan seluruh lapisan masyarakat tanpa
terkecuali unsur pemerintahan. Pemerintah seharusnya mensyaratkan orang asing
yang datang ke Indonesia mempunyai penguasaan bahasa Indonesia yang memadai.
Presiden sebagai unsur pimpinan tertinggi membuat aturan yang mensyaratkan
orang asing yang datang ke Indonesia harus memiliki standar minimal nilai
penguasaan bahasa Indonesia, bukan malah tidak menyetujui pembuatan aturan tersebut.
Seperti halnya orang yang ingin memasuki negara-negara lain dalam suatu urusan
seperti beasiswa dan kerja sama luar negeri, harus memiliki standar nilai TOEFL
atau IELTS tertentu.
Memperoleh standar nilai
tersebut memerlukan perjuangan baik biaya maupun usaha belajar yang tidak
mudah. Apabila peraturan penguasaan bahasa Indonesia diterapkan, akan
mendatangkan banyak pemasukan bagi negara. Selain itu akan menyerap banyak
tenaga pendidik bahasa Indonesia yang secara tidak langsung mengurangi angka pengangguran.
Sesuai dengan slogan gerakan Nasional ayo kerja yang digalakkan oleh
pemerintah. Pekerjaan menjadi tenaga pendidik lebih baik dari pada terseok-seok
di luar negeri menjadi tenaga kerja serabutan.
Namun yang terjadi adalah
ketidaksesuaian antara slogan dan sikap pemerintah selama ini. Bekerja sama
dengan pihak asing hingga mendatangkan tenaga asing menjadi awal keanehan
kinerja pemerintah. Apalagi dengan tidak menyetujui diadakannya syarat minimal
nilai penguasaan bahasa Indonesia bagi warga asing yang datang. Semangat ayo
kerja seakan menjadi omong kosong. Apa yang bisa dibuat rakyat tanpa dukungan
dari pemerintah? Bahasa Indonesia selayaknya sebagai alat memperkokoh
kedaulatan bangsa sesuai amanat Sumpah Pemuda.
0 Comments