Assalamualaikum Serambi Mekkah

Langit di atas Jakarta dipenuhi warna-warna fajar ketika sekelompok kecil penggerak pemberdayaan masyarakat desa bersiap untuk perjalanan yang akan membawa mereka ke ujung paling barat Indonesia. Kami melangkah menuju ufuk barat, ke tanah yang dijaga oleh doa dan cahaya. Perjalanan ini bukan sekadar jarak yang ditempuh, tetapi sebuah ziarah jiwa, menyusuri setiap jejak yang ditinggalkan waktu. Ketika sayap besi membawa kami menembus angkasa, hati ini tertambat pada keteduhan Serambi Mekkah, tempat di mana iman bersemi di antara desir ombak dan nyanyian angin. Assalamualaikum, wahai Aceh yang mulia, kami datang membawa rindu dan harap, untuk merasakan damai yang memeluk bumi di setiap sujud yang terlantun dalam hening.

Perjalanan kami dimulai dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Pukul 07.30 WIB kami berkumpul. Kesibukan di bandara mencerminkan semangat yang menggelora, seiring persiapan untuk petualangan yang akan datang. Kami menaiki penerbangan Garuda Indonesia, siap untuk perjalanan selama 2 jam 45 menit menuju Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda di Banda Aceh.

Penerbangan berlangsung lancar, dengan pemandangan pulau-pulau yang tersebar di bawah, dikelilingi oleh lautan biru tanpa batas. Ketika pesawat mulai menurun, lanskap Aceh mulai terlihat—sebuah tempat yang sarat dengan sejarah dan budaya, di mana masa lalu dan masa kini saling berkelindan dengan harmonis.

Sesampainya pada pukul 10.15 WIB, kami disambut oleh udara tropis yang hangat di Banda Aceh. Waktu singgah di bandara ini memberi kesempatan untuk merenung—sebuah waktu untuk menyadari pentingnya perjalanan. Ini bukan sekadar kunjungan biasa, ini adalah perjalanan ke tempat yang mencerminkan iman dan kesatuan Indonesia.

Kami menuju sebuah rumah makan terkenal yang menyajikan hidangan khas Aceh. Jalanan menuju ke sana terasa tenang, dipenuhi pemandangan hijau dan pepohonan yang rimbun, mencerminkan kesejukan hati masyarakatnya. Di rumah makan itu, meja-meja telah diisi dengan hidangan istimewa—nasi gurih dengan gulai kambing yang empuk, ikan bakar dengan bumbu pedas manis, dan tentu saja, kopi Aceh yang nikmat. Setiap suapan terasa seperti menggali rasa yang sarat dengan tradisi, mengingatkan akan kekayaan budaya kuliner Aceh yang berakar dari sejarah panjang pertemuan budaya.

Selesai menikmati hidangan, perjalanan dilanjutkan menuju Museum Tsunami Aceh. Namun ketika sampai di lokasi, ternyata sedang tutup dan akan dibuka kembali pukul 14.00 WIB. Akhirnya kami memutuskan menuju spot Kapal di Atas Rumah. Sebuah kapal nelayan yang terdampar di atas sebuah rumah setelah dibawa oleh gelombang tsunami. Kisah keluarga yang selamat di dalam kapal itu seolah memberikan napas baru akan keajaiban dan kekuatan Tuhan. Ini adalah monumen hidup dari sebuah bencana yang juga menyimpan kisah-kisah penyelamatan yang luar biasa.

 


Kapal di atas rumah terletak di Desa Lampulo, Banda Aceh, merupakan saksi bisu dari dahsyatnya gelombang tsunami yang melanda Aceh pada tanggal 26 Desember 2004. Sebuah kapal nelayan teronggok di atas rumah sederhana, seperti batu besar yang tak mungkin dipindahkan. Namun, di balik keajaiban yang tampak absurd ini, tersembunyi kisah luar biasa tentang keberanian, harapan, dan penyelamatan.

Kami bertemu Mak Kolak, sosok yang dikenal dengan cerita kapal di atas rumah. Seorang perempuan paruh baya yang tinggal di rumah yang kini menopang kapal tersebut. Ketika bencana tsunami datang, Mak Kolak dan keluarganya berada di rumah itu, dikelilingi oleh kepanikan dan ketakutan. Gelombang besar yang menghancurkan segalanya tiba-tiba datang, membawa kapal nelayan besar dari pelabuhan dan menghantam rumah-rumah di sekitarnya. Di saat itu, Mak Kolak memutuskan untuk bertahan di rumahnya, berlindung dari gelombang yang meluluhlantakkan segala yang ada di bawahnya.

Keajaiban terjadi ketika kapal itu terhempas ke atas rumah Mak Kolak, memberikan perlindungan yang tak terduga. Kapal yang biasanya berlayar di lautan kini menjadi perisai dari kematian. Mak Kolak, bersama dengan puluhan orang lainnya, selamat berkat kapal yang terdampar di atas rumahnya. Di dalam kapal, mereka menunggu dengan cemas hingga air surut, sebelum akhirnya diselamatkan oleh tim evakuasi.

Kisah Mak Kolak dan Kapal di Atas Rumah menjadi simbol kekuatan dan ketabahan manusia dalam menghadapi bencana. Kapal yang seharusnya tenggelam di lautan, justru menjadi tempat berlindung di daratan, mengubah nasib puluhan nyawa yang tertolong dari maut. Hingga kini, kapal tersebut masih berdiri kokoh di atas rumah Mak Kolak, menjadi monumen hidup dari sebuah tragedi.

Kapal di Atas Rumah ini telah menjadi objek wisata dan tempat ziarah bagi banyak orang. Orang-orang datang untuk melihatnya, bukan hanya untuk menyaksikan fenomena yang luar biasa, tetapi juga untuk mengingat betapa rapuhnya kehidupan dan betapa kuatnya harapan dalam menghadapi ujian yang paling berat. Di balik setiap goresan pada badan kapal, ada cerita Mak Kolak, seorang wanita yang, dengan iman dan keberanian, bertahan menghadapi salah satu bencana terbesar dalam sejarah manusia.

Kami melanjutkan perjalanan menuju Museum Tsunami Aceh. Bangunan megah dengan arsitektur unik ini berdiri kokoh, mengingatkan semua yang datang akan tragedi besar yang pernah melanda negeri ini. Dirancang oleh arsitek terkenal Ridwan Kamil, museum ini bukan sekadar bangunan, tetapi sebuah monumen yang menyimpan kenangan pahit dan semangat kebangkitan rakyat Aceh dari bencana dahsyat yang menewaskan lebih dari 230.000 jiwa. Museum ini didirikan sebagai penghormatan kepada para korban tsunami dan sebagai pusat pendidikan serta peringatan bagi generasi mendatang. Bangunan museum dirancang dengan arsitektur yang unik, menggabungkan unsur budaya Aceh dengan makna simbolis yang mendalam. 

 


Kami melalui Lorong Kenangan, sebuah koridor gelap yang sempit dengan dinding tinggi dan suara gemuruh air yang menggema. Lorong ini menggambarkan suasana mencekam saat tsunami terjadi, mengajak setiap orang untuk merasakan kepedihan dan ketakutan yang dirasakan oleh mereka yang terdampak. Suara air yang mengalir dari segala arah menciptakan pengalaman yang mendalam, membuat pengunjung merasa seolah-olah sedang berada di tengah-tengah bencana itu.

Setelah melewati lorong tersebut, kami sampai di Ruang Memorial, sebuah ruangan silinder yang hening dengan dinding berwarna hitam. Di dinding tersebut tertulis nama-nama ribuan korban tsunami, diiringi dengan lantunan doa yang terus menerus diperdengarkan. Suasana khidmat dan hening di ruangan ini mengajak setiap orang untuk merenung dan berdoa, menghormati mereka yang telah pergi dan merasakan kehilangan yang mendalam.

 


Museum Tsunami Aceh juga dilengkapi dengan berbagai diorama, foto, dan artefak yang menggambarkan sebelum, selama, dan setelah bencana terjadi. Diorama-diorama ini menampilkan situasi sehari-hari masyarakat Aceh sebelum bencana, kehancuran yang ditimbulkan oleh gelombang besar, serta upaya penyelamatan dan rekonstruksi pasca-tsunami. Selain itu, terdapat pula simulasi interaktif dan model geologi yang menjelaskan bagaimana tsunami terjadi, memberikan edukasi penting kepada pengunjung tentang fenomena alam yang menghancurkan ini.

Museum ini juga memiliki Ruang Peringatan Internasional yang didedikasikan untuk mengenang solidaritas global dalam membantu Aceh bangkit dari kehancuran. Bantuan dari berbagai negara, organisasi, dan individu ditampilkan di sini, menggambarkan rasa kemanusiaan yang melintasi batas-batas negara. Ini adalah pengingat bahwa dalam menghadapi bencana, kemanusiaan selalu bersatu.

Selanjutnya kami menuju ke Museum Kapal Apung, sebuah kapal PLTD yang terseret sejauh 5 km ke daratan oleh dahsyatnya tsunami. Melihat kapal besar yang teronggok di tengah pemukiman ini, rasanya seperti menyaksikan kekuatan alam yang tak terbayangkan. Dari kapal ini, pandangan mereka tertuju ke arah langit, seakan menyaksikan kembali bagaimana gelombang besar membawa kapal ini ke tempat yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya.

 

Setelah mengelilingi tempat-tempat yang penuh makna itu, kami menuju Masjid Baiturrahman untuk menunaikan ibadah. Masjid Raya Baiturrahman, yang terletak di jantung Kota Banda Aceh, bukan hanya sebuah tempat ibadah, tetapi juga simbol sejarah, kebudayaan, dan keteguhan rakyat Aceh. Dengan kubahnya yang megah dan arsitektur khasnya, masjid ini berdiri sebagai salah satu ikon paling dikenal di Indonesia, menyimpan cerita-cerita heroik dari masa lalu dan menjadi saksi bisu atas berbagai peristiwa penting yang telah terjadi di Tanah Rencong.

Masjid Baiturrahman memiliki makna khusus bagi rakyat Aceh, terutama setelah tsunami dahsyat terjadi. Di tengah kehancuran yang melanda seluruh kota, masjid ini tetap berdiri kokoh, nyaris tanpa kerusakan. Gambar masjid yang masih utuh dikelilingi oleh puing-puing menjadi simbol harapan dan keteguhan bagi rakyat Aceh dan dunia. Masjid ini menjadi tempat perlindungan bagi ribuan orang selama dan setelah bencana, menegaskan perannya sebagai pusat kehidupan spiritual dan sosial masyarakat Aceh.

Kini, Masjid Baiturrahman telah menjadi salah satu destinasi wisata religi utama di Indonesia. Dengan tujuh kubahnya yang indah, empat menara, dan satu menara induk setinggi 35 meter, masjid ini menyajikan pemandangan yang menakjubkan. Warna putih bersih dari dinding dan lantai marmer, serta desain geometris yang rumit di bagian interior, menambah kemegahan masjid ini. Di halaman masjid, terdapat kolam besar dan taman yang tertata rapi, menciptakan suasana damai bagi para jamaah dan pengunjung.

Pukul 15.00 WIB, kami bergeser ke Pelabuhan Ulee Lheue, titik keberangkatan menuju Sabang. Pelabuhan ini, yang juga menjadi saksi bisu tsunami, kini berdiri tegak sebagai penghubung keindahan alam Sabang dengan seluruh Nusantara. Angin laut yang segar menyapa, membawa harapan akan perjalanan berikutnya di Sabang, sebuah pulau di ujung barat Indonesia yang menyimpan sejuta keindahan.

Dengan hati yang dipenuhi kesan dari jejak-jejak sejarah dan budaya Aceh, kami melangkah ke atas kapal ferry, siap menyeberang menuju petualangan baru di Sabang. Sementara langit berubah warna, mereka meninggalkan daratan Aceh dengan rasa syukur dan penghormatan mendalam, menyadari betapa berharga setiap momen perjalanan ini dalam mengenal lebih dekat tanah air tercinta.

Post a Comment

0 Comments