Berburu Takjil Jogokariyan dan ‘Bismillah’ di Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta


Bismillah, dengan menyebut nama Allah. Sebagaimana wahyu pertama dalam perintah membaca, adalah dengan menyebut nama Tuhanmu: Iqra’ bismirabbik! Kitab I’anatuth Thalibin karya Syekh Abu Bakar Ad-Dimyathi menyebutkan urgensi pembahasan basmalah adalah mengikuti Alquran yang setiap surah diawali basmalah kecuali satu surah, dan Sabda Nabi bahwa setiap perkara baik yang tidak diawali dengan basmalah maka perkara itu akan mendapat sedikit keberkahan. Mengawali segala sesuatu dengan berdoa dan menyebut nama Allah adalah bentuh kerendahan hati dan kebiasaan orang-orang beriman.

Bismillah, saya mulai perjalanan dari Yogyakarta International Airport dan berharap para pembaca meluangkan waktu untuk mempelajari basmalah secara khusus, terutama basmalah dalam Alquran dan basmalah dalam salat. Mempelajari pembahasan basmalah secara mendalam penting agar kita terhindar dari provokasi, menghilangkan kebencian, dan tidak kagetan dengan adanya perbedaan-perbedaan. 

Dari bandara, kami menuju pusat kota Yogyakarta menggunakan kereta bandara. Perjalanan kurang lebih 30 menit dengan harga tiket dibandrol Rp 20.000,- atau Rp 50.000,-. Cukup menghemat waktu, tenaga, dan biaya dibanding jika harus menggunakan mobil ke Yogyakarta. Sampai Stasiun Tugu Yogyakarta, kami segera bergeser ke Universitas Gadjah Mada, menemui seseorang yang menjadi pengawal dan kritikus pelaksanaan Undang-Undang Desa.

Yogyakarta menjadi panggung semesta yang sering disebut-sebut sebagai pertunjukan paling romantis oleh kebanyakan orang. Di setiap sudutnya membawa cerita, membuat setiap jiwa untuk kembali, melepas rindu dan menggurat kenangan di dalamnya. Sore itu, kami berencana mengunjungi Masjid Jogokariyan yang memiliki sejuta inovasi untuk dibicarakan. Meskipun beberapa kali singgah di Jogja, momentum ramadan jarang sekali didapatkan. Kesempatan kali ini saya bersama dua orang teman berniat untuk singgah di Masjid Jogokariyan, menikmati suasana ramadan dan sensasi berburu takjil. Bukan sekedar takjil, saya lebih berniat untuk menyaksikan kondisi sosial, manajemen pembagian takjil dan tentunya arsitektur masjid.



Salah seorang kawan yang asli Jogja mengabarkan, jika ingin kebagian takjil, jangan terlalu dekat dengan waktu berbuka. Sebisa mungkin setelah asar sudah bergeser ke lokasi. Benar saja, kami bergeser dari tempat menginap sekitar pukul 17.00 WIB, sampai lokasi sudah penuh sesak masyarakat yang siap berbuka dengan sepiring makanan di depan mereka masing-masing. Tidak hanya di serambi dan halaman masjid, orang-orang ini duduk rapi di jalan-jalan sekitar masjid. Kami berjalan menuju sumber pembagian makanan, melewati orang-orang yang siap menyantap makanan berbuka. Seperti artis di antara penggemarnya, kami mempercepat jalan kaki biar tidak semakin lama menjadi pusat perhatian.

Belum lama kami mengantri, bapak-bapak paruh baya yang sedari tadi membagi makanan berteriak bahwa makanan sudah habis. Kami pun mundur, kembali menyaksikan fenomena sosial yang ada di sekitar. Berjalan menuju parkiran, kami melewati orang-orang tadi. Mempercepat jalan. Beberapa kendaraan yang terparkir tampak bukan plat Jogja. Kawan dari Jogja mengatakan bahwa kendaraan-kendaraan tersebut disinyalir milik mahasiswa-mahasiswa dari luar Jogja.

Lima menit menjelang berbuka, kami masih belum tahu akan kemana. Terbersit dalam pikiran untuk singgah di Masjid Gedhe Kauman. Salah satu masjid bersejarah yang menjadi saksi pergerakan Kiai Ahmad Dahlan dalam mendirikan Muhammadiyah. Jaraknya tak terlalu jauh, sekitar 10 menit dari posisi kami sekarang. 




Sampai di lokasi, suasana klasik tersaji. Arsitektuk masjid dengan pencahayaan kuning kecoklatan memberikan suasana zaman dulu bagi setiap jamaah yang hadir. Tampak tikar pandan dan barisan orang-orang duduk bersila. Orang-orang sudah mulai berbuka, dan kami ikut menikmati sambil sesekali mengamati suasana sekitar. Ketika mayoritas orang sudah menyelesaikan, kami baru setengahnya dan perlu mempercepat gerakan mulut agar tidak ketinggalan salat jamaah.




Bergantian berwudhu. Suasana klasik benar-benar terasa di dalam masjid. Atap dan beberapa sudut menggunakan kayu. Pencahayaan hanya terlihat terang di sekitar imam. Bismillahirrahmanirrahim dengan nyaring, imam membaca Alfatihah. Saya segera takbir dan mengikuti salat. Menikmati suasana malam ramadan, dan diakhiri dengan mengunjungi Pendopo Lawas.






Post a Comment

0 Comments