Ngabuburit Jelajah Kampung Arab Pekojan Kota Tua Jakarta



Tetesan air hujan terlihat masih berjatuhan dari dedaunan ranting pohon. Genangan air juga tampak membasahi jalanan, membuat lompatan-lompatan kecil perlu dilakukan. Sore ini saya memanfaatkan waktu untuk ngabuburit menjelajahi Kampung Arab Pekojan Kota Tua Jakarta. Saya bersama beberapa kawan bersepakat bertemu di Jembatan Budaya di depan Toko Merah.

Dari Stasiun KRL Universitas Indonesia, saya turun di Stasiun KRL Jakarta Kota. Sepanjang perjalanan, ruang dalam kereta cukup lengang, terlihat banyak anak-anak berseri-seri, sepasang suami istri bercanda dengan balitanya dalam gerak ekspresi, dan para traveler dengan ransel besarnya. Dari Stasiun Jakarta Kota, saya melewati suasana sore Kota Tua Jakarta yang cukup ramai. Muda-mudi bercengkerama di antara bunga-bunga, sepasang kekasih bersepeda, dan para patung manusia yang menunggu pengunjung berpose dengannya, serta suara musik yang mengalun lembut menghibur para pengunjung.

Saya berjalan, menuju titik yang telah disepakati. Jembatan Budaya, di depan Toko Merah. Lokasi strategis yang dikelilingi bangunan bersejarah. Di sekitar area, disediakan bangku yang enak untuk duduk-duduk berisirahat menikmati suasana sore. Pukul 16.00 WIB kami berkumpul dan berjalan melewati Toko Merah dipandu oleh Haidar Husein. Toko Merah, sebuah bangunan dengan ciri khas merah bekas kediaman Gubernur Jenderal Gustaaf Willem baron van Imhoff. Terletak di tepi barat kali Besar Kota Tua sebagai salah satu bangunan tertua di Jakarta yang kini berfungsi sebagai museum.



Kami berjalan sembari mendengarkan Haidar menjelaskan batas-batas benteng Batavia yang terletak di muara Sungai Ciliwung. Bangunan benteng terlihat dari tata letak susunan batu-bata merah dan ketebalannya yang berbeda dengan yang dilakukan orang Indonesia kini. Kami melewati Istana Capetang yang megah tak terawat, dari luar tampak tumbuhan liar merambat dengan kayu-kayu berserakan. Tempat ini dulu disebut-sebut seperti SCBD-nya Sudirman. Tak jauh dari Istana Capetang, kami belok kiri melewati Pasar Pagi. Daerah ini banyak dihuni etnis Tionghoa karena dianggap bagian tubuh dari Shio Dragon.

                           

Kami berjalan melewati sungai sebagai batas benteng. Kampung Arab terletak di luar benteng sebagai warga kelas dua. Memasuki wilayah Pekojan, tak tampak seperti perkampungan Arab. Kami memasuki gang sempit padat penduduk untuk sampai di Masjid Al-Anshor. Masjid ini peninggalan orang-orang Moor, pendatang Islam yang dibangun pada tahun 1684 dengan gaya arsitektur bangunan perpaduan antara budaya India, China dan Nusantara.



Tak jauh dari Masjid Al-Anshor, terdapat nasi uduk legendaris Bu Amah. Meski bertempat di jalan sempit yang hanya bisa dilalui sepeda motor, Nasi Uduk Bu Amah laris manis bahkan habis sebelum buka. Menurut keterangan Haidar, Bu Amah hanya menyediakan 150 pax per harinya. Untuk mendapatkannya, kita harus memesannya terlebih dahulu. 

Dari Al-Anshor, kami bergeser menuju Masjid Azzawiyah. Masjid yang pertama kali dibangun oleh Habib Ahmad bin Hamzah Alattas pada tahun 1812. Habib yang disegani oleh masyarakat sekitar berasal dari Tarim, Hadramaut, Yaman. Ulama’ yang memperkenalkan Kitab Fathu Mu’in yang menjadi rujukan santri di pondok pesantren. Tidak hanya sebagai tempat ibadah, masjid ini juga sebagai lembaga pendidikan Islam. Di masjid ini terdapat sumur yang airnya diyakini menyembuhkan penyakit sejak era pendirinya. Sumber air ini juga mengalir ke Masjid Annawier yang terletak tak jauh dari Azzawiyah.



Masjid Annawier dianggap sebagai symbol peradaban Arab di Jakarta. Masjid ini dibangun oleh Sayid Abdullah bin Husein Alaydrus pada tahun 1760. Masjid ini berdiri di atas lahan yang diwakafkan oleh Syarifah Baba kecil dari Hadramaut yang dimakamkan di sekitar area masjid. Arsitekturnya klasik dengan ciri khas Menara yang menjulang tinggi. Tak jauh dari masjid terdapat Waroeng Annawir yang merupakan unit usaha masjid yang menyediakan Nasi Mandi, Nasi Kabsah, dan Nasi Biryani.



Kami bergeser menuju Masjid Langgar Tinggi. Untuk sampai di masjid bersejarah ini, kami melewati para pengusaha kambing. Seakan bukan di Jakarta, setiap kios kiri kanan sepanjang jalanan ini menyediakan kambing-kambing. Terdapat jembatan kambing untuk menyeberangi sungai. Langgar Tinggi tepat berada di tepi sungai dengan posisi tempat solat di bagian atas, dan bagian bawah digunakan sebagai tempat usaha. Kini digunakan sebagai kios parfum. Adanya langar tinggi ini menurut Haidar untuk memudahkan para pedagang beribadah, pada waktu itu transportasi menggunakan perahu. Masjid Annawier dianggap terlalu jauh.


Langgar tinggi sebagai destinasi terakhir kami. Selanjutnya, kami berencana berbuka puasa di masjid Annawier. Dengan suasana yang khas, kami mengikuti buka puasa bersama warga setempat, dilanjutkan salat maghrib berjamaah. Kami berjalan kembali menyusuri malam menuju Kota Tua. Banyak wisatawan domestik, maupun mancanegara berlalu-lalang. Di sinilah perjalanan ini berakhir. 







Post a Comment

0 Comments