Membersamai Guru Besar Filologi, Menyelami ‘Equalize’ Gili Trawangan Lombok


Equalize merupakan proses penyetaraan telinga, sinus dan masker dengan tekanan air atau lingkungan sekitar pada kedalaman tertentu. Caranya, dengan menutup lubang hidung dan mengeluarkan udara lewat telinga dengan tangan masih memencet hidung, tidak ada udara yang keluar lewat hidung. Teknik ini ternyata tidak hanya berguna ketika diving, tetapi juga ketika kita turun dari pesawat. 

Equalize berkali-kali saya lakukan ketika telinga terasa sakit di kedalaman sekitar 10 meter. Benar kata coach, meskipun di kedalaman air tak terlihat gelombang, tetapi tekanannya cukup kuat yang membuat telinga terasa sakit. Sama halnya ketika kita naik atau turun gunung, equalize menjadi cara menormalkan kondisi telinga. Dan juga ketika kita turun dari pesawat, baik dalam kondisi normal maupun sedang flu, equalize solusinya.

Perjalanan mengenal dan berlatih equalize berawal dari keberangkatan kami dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Hujan turun tanpa henti, membuat kami berusaha berlindung dengan payung-payung yang telah disediakan petugas bandara. Sebagian yang lain menghiraukannya, mengganggap air yang turun tak seberapa. Pada awalnya saya memilih menghiraukan keberadaan payung. Namun, dari kejauhan tampak seseorang yang saya kenal, Prof. Dr. Oman Fathurrahman, M.Hum., Guru Besar bidang filologi yang mengampu program Ngariksa: Ngaji Manuskrip Nusantara. Akhirnya, saya memutuskan mengambil payung dan membersamai Kang Oman, panggilan akrabnya.

Ini kali kedua saya bertemu Kang Oman dengan tak sengaja. Yang pertama kami tak sengaja bertemu di Bandara Banyuwangi dalam episode ke-100 Ngariksa. Kini kami dipertemukan lagi, dengan tujuan yang berbeda. Saya dalam agenda kerja-kerja pemberdayaan masyarakat desa di Lombok, sementara Kang Oman menghadiri agenda Manassa di Bima. Tak terasa obrolan ringan menghabiskan antrean yang cukup panjang, saya yang awalnya mendapat urutan depan memilih antrean belakang untuk membersamai dan berdiskusi dengan beliau. Mengharap berkah dari turunnya hujan, semoga ketaksengajaan berkelanjutan, tak sengaja menjadi guru besar misalnya. Mengikuti jejak Kang Oman, mengembangkan riset-riset filologi, bukan hal yang mudah, tapi juga bukan sesuatu yang mustahil.

Kami mendarat di Bandara Internasional Zainuddin Abdul Madjid Lombok sekitar 10.30 WITA. Saya bersama sahabat-sahabat melanjutkan perjalanan menggunakan bus, sementara Kang Oman berpindah pesawat menuju ke Bima. Ternyata obrolan sebelum take off tadi obrolan terakhir sebelum menempati tempat duduk masing-masing. Setelah itu saya tidak bertemu lagi, dan berpamitan via WA.

Ini kesempatan kedua saya menginjakkan kaki di Lombok. Namun, pertama kali menuju Gili Trawangan. Suasana perbukitan dan padang rumput yang luas memanjakan setiap mata memandang, suasana bus hening, terpesona dengan pemandangan hijau di luar sana. Sesekali terdengar penjelasan jejak sejarah dari guide yang memandu kami. 

Sirkuit Mandalika sebagai tempat pertama pemberhentian kami. Pernak-pernik merchandise tampak dijual oleh penduduk lokal di depan spot foto Sirkuit Mandalika. Kami berfoto bersama, mengabadikan momen kebersamaan. Setelah itu, sebagian dari kami berpencar mencari spot foto yang berbeda, sedangkan sebagian yang lain menawar harga. Merchandise menjadi penting ketika kita mengunjungi suatu tempat, bukan tentang kualitas barang, melainkan identitas dan kenangan yang ada di dalamnya, sebagai penanda bahwa kita pernah menginjakkan kaki di tempat tersebut. 

Kami melanjutkan perjalanan menuju Gili Trawangan. Suasana perkotaan yang ramai, bisingnya suara kendaraan, dan kemacetan, baru kami rasakan ketika memasuki wilayah Mataram. Dari Mataram ke titik penyebrangan tidak lama lagi, informasi dari guide yang memandu kami, memperkenalkan Lombok. Pukul 14.00 WIB, kami sampai di titik penyeberangan. Kami berganti pakaian, bersiap basah-basahan. Sebagian tampak mengolesi kulit mereka dengan sunblock. Kami mengabadikan momen bersama sebelum menaiki perahu.

Perjalanan dari titik penyeberangan menuju Gili Trawangan kurang lebih satu jam. Doa dipanjatkan, semoga perjalanan ini selamat dan memberikan manfaat. Gelombang laut tak terlalu tinggi, namun beberapa di antara kami tampak tegang. Menghindari percikan air. Kondisi ini menjadi gurauan di antara kami, dan semakin menjadi-jadi ketika ombak menyapu. Sementara beberapa yang lain berada di ujung perahu, menantang ombak, seakan berkata: Kami Siap Basah!

Menjelang sampai tujuan, kami harus terbagi menjadi dua kelompok, snorkling dan diving. Banyak yang memilih snorkling, tapi saya memilih diving bersama lima orang lainnya. Sampai di pusat diving, kami disambut oleh owner dan diperkenalkan dengan dua coach dari US dan Kosta Rika: Jessica & Dominik. Sebelum menggunakan alat-alat diving, kami mempelajari perlengkapan diving dan teknik menyelam dalam mini kelas yang berada di teras. Suasana kelas mengasikkan, di bawah pohon rindang, lalu-lalang bule berjalan, dan sebagian bersepeda, serta sesekali gemerincing suara delman lewat. 



Dalam kelas ada beberapa dokumen yang harus kami isi. Identitas, kesehatan tubuh, dan ukuran perlengkapan diving sesuai tubuh masing-masing. Kami bergegas mengambil perlengkapan dan memakainya. Tidak langsung ke laut, kami belajar dalam kolam buatan lebih dahulu. Satu jam kami berlatih dalam kolam, mulai teknis bernapas, mengeluarkan air dalam masker, hingga kondisi darurat. 



Kami melepas perlengkapan diving, berjalan menuju perahu. Perahu ini membawa kami ke lokasi diving dengan pemandangan ikan dan terumbu karang yang indah. Dalam perjalanan menuju spot diving, ternyata dalam perahu kami ada dua orang tambahan, tampak masih belia, dua orang turis dari Singapura. Sesampainya di spot diving, mesin perahu dimatikan. Kami mengenakan perlengkapan diving. Kami harus menceburkan diri dalam kondisi terbalik, mengingat di punggung kami terdapat tabung oksigen. Awalnya saya ragu, namun setelah melihat yang lain, saya memberanikan diri menceburkan diri dalam kondisi terbalik. 



Tak semengerikan yang dibayangkan, menyelam dengan peralatan lengkap dan tabung oksigen terasa lebih ringan daripada berenang bebas. Pelan-pelan kami menambah beban pemberat agar kami bisa lebih dalam. Proses ini harus dilakukan perlahan, karena kondisi tubuh dalam proses menyeimbangkan dengan tekanan air dalam laut. Semakin dalam telinga terasa mulai sakit, saya menggerakkan tangan sebagai kode emergency. Dominik memberi kode ke saya agar melakukan equalize, setiap telinga terasa sakit melakukan equalize secara berulang. Sampai akhinya saya menginjakkan kaki di dasar laut, menunggu sahabat yang lain, menyesuaikan posisi. Cahaya tampak menjauh. Gelembung udara keluar dari mulut, naik secara cepat ke permukaan.



Kami membentuk lingkaran dan bergerak mengikuti coach secara perlahan. Menyusuri keindahan pemandangan laut yang sungguh luar biasa. Beragam jenis ikan dan berbagai bentuk terumbu karang seakan mengucapkan salam. Kami terus bergerak, menyusuri spot-spot indah. Hingga tak terasa kami jauh dari perahu, melambaikan tangan, perahu mendekat dan kami satu per satu menaiki perahu. Di perahu tampak sudah ada turis Singapura yang mengeringkan badan. Salah satu turis tersebut tak tahan dan berkali-kali memuntahkan cairan dari mulutnya. Kondisi tubuh setelah menyelam tak begitu kelelahan, tapi tenggorokan terasa haus. Beberapa botol air mineral kami habiskan untuk menghilangkan dahaga.



Sejenak beristirahat di perahu, saya berbincang dengan Dominik. Bagaimana dia sampai ke tempat ini. Perahu kembali ke daratan, kami turun dari perahu dengan membawa peralatan masing-masing. Di pantai, kami mengabadikan momen bersama dua orang dari Singapura. Setelah membersihkan diri dan mengembalikan perlengkapan diving, kami menaiki delman menuju resto yang telah kami pesan sebelumnya. Ternyata di sana sudah menunggu sahabat-sahabat yang memilih snorkling. Suasana Gili yang sejuk dengan masyarakat lokal berpadu dengan turis asing, membentuk sebuah komunitas sosial yang menarik siapa saja untuk mengunjungi pulau ini. Tidak hanya sekedar berlibur, tetapi juga membangun puzzle-puzle persahabatan dalam ruang Bhinneka Tunggal Ika.

Post a Comment

0 Comments