Hangatnya Talaga Bodas Garut


Nu datang mawa bagja, nu miang mugia waluya. Yang datang membawa kebahagiaan, yang pergi dengan kemulyaan. Prinsip sederhana dalam suksesi kepemimpinan di sebuah balai desa. Tulisan tersebut kami temukan setelah perjalan darat selama kurang lebih empat jam dari Jakarta dengan sekali istirahat di rest area. Perjalanan ini bersama Bu Luthfi dan Mas Sabar serta Mang Atek sebagai driver.

 Kami mengunjungi rumah Mang Atek di Desa Wanajaya, Kec. Wanaraja, Garut. Tempat yang kami duduki sekarang ini adalah rumah kedua Mang Atek yang baru berdiri sekitar satu tahun. Sementara rumah pertamanya tepat di depan rumah ini dengan toko kelontong di depannya. Mang Atek memiliki empat anak dan satu cucu dari anak pertamanya. Kami bertemu dengan istri dan anak terakhir Mang Atek yang berusia sekitar lima tahun. Selain itu ada Korkab Garut dan dua pendamping yang menambah kehangatan di suasana yang gerimis.



Siang hari, kami makan bersama hidangan khas Sunda yang telah disiapkan Bu Atek. Nasi liwet dengan bermacam lauk dan berbagai lalapan serta sambal pedas membuat  suasana penuh keakraban. Di rumah Mang Atek kami bertemu Bu Kades dan mengajak kami ke Talaga Bodas yang terletak tidak jauh dari sini. Kami pun segera berpamitan dan bergegas menuju talaga yang dimaksud. Waktu tempuh kurang lebih 20 menit dengan jalanan terjal menanjak. Namun, pemandangan yang disuguhkan sungguh indah dengan beragam jenis tanaman.



Bodas dalam bahasa Sunda berarti putih. Memang benar, setelah sampai di lokasi, air telaga tampak berwarna biru muda dengan uap putih belerang, menyeruak memenuhi hidung, persis seperti Kawah Putih Bandung. Namun, di sini masih sangat alami dan belum dikunjungi banyak orang. Kami menyaksikan banyak anak kecil warga setempat yang mandi di kolam tepi telaga dengan sumber air yang sama dengan telaga. Saya menyempatkan diri untuk turun dan menyapa anak-anak serta mencuci tangan. Hangatnya air telaga terasa dengan aroma belereng yang kuat. 



Kami tidak berlama-lama menikmati telaga, karena hari sudah beranjak sore. Tapi Bu Lurah sudah menyiapkan nasi liwet di sebuah warung makan di dekat telaga. Meskipun sebenarnya perut kami masih terasa kenyang, tapi kami lahap juga nasi liwet dan lauk pauknya. Ayam goreng, tahu dan tempe goreng, ikan asin goreng, sambal dan lalapan, dan jengkol goreng. Jengkol, sampai saat ini merupakan salah satu makanan yang saya belum bisa menikmatinya.

Tidak jauh dari tempat kami menikmati hidangan yang telah disiapkan Bu Lurah, terdapat penjaja makanan ringan. Jumlahnya cukup banyak. Jika kita berjalan sampai habisnya para penjual, kita akan sampai di Tasikmalaya. Entah dalam kurun waktu berapa lama. Bu Kades pun bercerita ketika masa mudik lebaran, banyak orang tersesat dan berputar-putar di sini karena mengikuti google maps. Sementara di sisi yang berlawanan tampak warga lokal yang selalu sigap buka-tutup gerbang, jalan menuju Talaga Bodas.

Kami berpisah dengan Bu Lurah di tempat tersebut setelah mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya karena telah menjamu kami. Beberapa bungkus kopi khas Garut dibawakannya untuk kami. Nama kopinya adalah Talagabodas. Karena tidak ada jalan lain menuju tempat kunjungan selanjutnya, kecuali tetap melewati jalan yang sama, kami mampir lagi ke rumah Mang Atek, sekalian numpang ke toilet. Ternyata isteri Mang Atek sudah menyiapkan segepok oleh-oleh untuk kami. Kerupuk, keripik, pepes ikan, dan entah apa lagi.

Perjalanan dari tempat jamuan Bu Lurah, kami melewati pemandangan yang sungguh indah. Kawasan ini sempat menjadi pembangkit listrik tenaga panas bumi, namun kini hanya tersisa rangka besinya. Tak jauh dari pembangkit, kami melihat sebuah rumah semi-permanen di halaman yang sanat luas, di depan rumah tersebut tertulis plang kayu, Sekolah Gunung & Konservasi Alam Jagawara. Tempatnya sungguh menyenangkan dan menenangkan. Sebelum memasuki perkampungan penduduk, kami melihat bangunan-bangunan semacam kios atau perkampungan, namun tampak sudah ditinggalkan. Rerumputan yang memanjang, dan bangunan serba kayu yang terbengkalai. Melihatnya saya teringat setting tempat film KKN di Desa Penari.

Dari rumah Mang Atek, temaram sudah mulai turun. Kami bersilaturahim di dua rumah lagi. Jaraknya sekitar dua puluh menit dari rumah Mang Atek. Satunya rumah Mas Dendy, staf di sekretariat BPSDM. Satunya lagi di rumah ibunda Pak Jajang Abdullah. Pak Jajang sebelumnya adalah sekretaris BPSDM, dan sekarang menjadi Penggerak Swadaya Masyarakat Ahli Utama.

Sekali lagi, kami harus makan lagi, karena makan malam sudah disiapkan oleh orang tua Mas Dendy. Seperti tadi, meskipun perut kenyang, kami tetap makan tetapi hanya sedikit. Sudah benar-benar penuh rasanya perut ini. Kami berniat kembali ke Jakarta malam ini juga. Memang sudah diniati tidak menginap, karena Minggu pagi kami sudah ada agenda lain. Maka Mang Atek pun melajukan mobil yang membawa para penumpang yang terkantuk-kantuk karena kekenyangan. Sempat singgah di rest area untuk menunaikan ibadah. Sekitar pukul 22.30, kami sudah tiba kembali di Jakarta.

Tubuh memang terasa agak lelah, namun betapa bahagianya bisa mengisi waktu dengan bersilaturahim. Memperbanyak silaturahim adalah salah satu amalan yang sangat dianjurkan oleh Nabi. Manfaat silaturahim tak hanya untuk memperluas rezeki dan terhindar dari api neraka, namun juga untuk mendekatkan diri pada Sang Pencipta. Silaturahim merupakan tanda-tanda seseorang beriman kepada Allah SWT dan menjadi makhluk mulia di hadapan-Nya. Semoga.

Post a Comment

0 Comments