Manusia sebagai agen yang memainkan peranan penting dalam kehidupan sosial, selalu dihadapkan dengan berbagai realitas kehidupan yang senantiasa berubah dari periode tertentu ke periode selanjutnya. Hal tersebut terjadi karena masyarakat semakin lama semakin berkembang menjadi masyarakat yang kompleks dengan berbagai aktivitas dan kebutuhan yang berbeda. Salah satu faktor yang mempengaruhi perubahan sosial dalam masyarakat adalah berlangsungnya modernitas.
Indonesia sebagai negara dengan masyarakat yang multikultur, dengan beragam suku bangsa yang menaunginya, menjadi suatu negara yang bias dikatakan atau sedang berada pada masa membangun “modernitas”, walaupun apabila kita melihat pada sejarah Indonesia sendiri, modernitas sudah berlangsung sudah sejak lama, sejak masih bernama “nusantara”. Candi Borobudur menjadi suatu bukti konkret atas adanya modernitas pada masanya. Di lain pendapat, ada yang mengatakan bahwa modernitas di Indonesia berlangsung sejak Belanda (Barat) mulai menapakkan kaki di negeri katulistiwa ini. Lalu apa sebenarnya arti modernitas? Bagaimana modernitas berlangsung di Indonesia? Dalam pembahasan kali ini, kami akan mencoba menjelaskan modernitas menurut Jurgen Habermas, dan konteks modernitas di Indonesia serta impact dan relevansinya terhadap masyarakat Indonesia.
Hampir setiap negara mengarahkan proses modernisasi ke arah rasionalisasi atau yang biasa disebut kebudayaan ilmu modern. Habermas mempersoalkan kembali makna rasio yang berkembang secara umum di masyarakat. Rasional atau modern itu identik dengan operasional, efektif, efisien, dapat diautomatisasikan, penguasaan lewat tombol kontrol.
Penilaian moral, agama, dan lainnya dianggap membatasan kenetralan rasio. Secara ringkas, makna modernitas yaitu kesadaran pribadi untuk menggunakan rasio, sehingga tidak menyerahkan diri sendiri pada pengaruh orang lain. Manusia mampu mensintesiskan pemikirannya sendiri dengan pertimbangan-pertimbangan yang ia rasakan benar dan cenderung memihak pada relativitas, tidak tendensius atau menunjukkan keberpihakan yang justru berpotensi melahirkan benturan peradaban. Modernitas juga adalah sebuah proses yang tidak pernah berhenti (becoming).
Habermas menawarkan alternatif pencerahan yang dikenal dengan ‘rasio komunikatif’. Habermas berpendapat bahwa kritik hanya akan maju dengan landasan ‘rasio komunikatif’yang dimengerti sebagai tindakan komunikatif. Atas dasar paradigm itulah, Habermas ingin mempertahankan isi normatif yang terdapat dalam modernitas dan pencerahan kultural. Isi normatif modernitas adalah apa yang disebutnya rasionalisasi dunia kehidupan dengan dasar rasio komunikatif.
Masyarakat komunikatif bukanlah masyarakat yang melakukan kritik lewat revolusi dengan kekerasan, akan tetapi dengan memberikan argumentasi. Salah satu bentuk upaya menyatukan argumentasi demi kepentingan bersama yaitu melalui public sphere.Pemikiran Habermas mengenai ruang publik (public sphere) tertuang dalam karyanya yang berjudul The Structural Transformation of The Public Sphere: anInquiry into a Category of Bourgeois Society(1989). Ruang public lahir sebagaibagian spesifik dari masyarakat sipil yang pada waktu itu mengukuhkan diri sebagai tempat terjadinya pertukaran komoditas dan kerja sosial yang diatur oleh kaidah-kaidahnya sendiri.
Menurut Habermas, public sphereialah sebagai “ruang” dimana setiap individu dapat masuk dan turut serta dalam percakapan tanpa tekanan dari pihak lain. Akses, yang diberikan kepada ruang publik terbuka bagi semua warga negara serta sebagian dari ruang publik terbentuk di setiap pembicaraan, dimana pribadi-pribadi berkumpul untuk membentu suatu “publik” (Kim dan Kim, 2008).Dalam konstruksi pemikiran Habermas, ruang publik adalah bagian dari masyarakat warga (civil society). Civil Society dapat dipahami sebagai masyarakat otonom yang mempunyai hak untuk menentukan diri dan mengorganisasi diri, maka ruang publik dipahami sebagai kondisi yang memungkinkan bagi masyarakat untuk turut berpartisipasi (Kushendarwati, 2011).
Habermas berargumen bahwa masyarakat modern terdiri dari ‘dunia-kehidupan’(lifeworld)dan ‘sistem’ (system). Dengan argument teoritis ini, Habermas juga berpendapat bahwa tujuan dari perubahan sosial adalah untuk memastikan bahwa ‘dunia-kehidupan’ atau ‘ruang-publik’, ada secara mandiri terlepas dari tendensi ‘sistem; dan susbsistemnya yang menjajah.
Modernitas menjadi sebuah proses yang tiada akhir. Sebab kebudayaan akan terus bergerak. Modernitas di Indonesia bermula dari masuknya pengaruh-pengaruh barat lewat kolonialisme, khususnya pada masa politik etis yang memungkinkan beberapa orang mengenyam pendidikan ala Barat. Penanda modernitas seperti terbitnya koran VOC pertama pada 1745 dan beroperasinya kereta api pertama kali pada 1867 dimulai dari orang-orang Barat yang ada di Hindia Belanda. Meskipun demikian, persinggungan dengan modernitas itu belum bisa dikatakan sebagai modernitas Indonesia karena Indonesia baru terbentuk pada 1945. Bahkan koran pertama yang diinisiasi oleh orang pribumi, Tirto Adhi Soerjo, yaitu Medan Prijaji pun masih mengatasnamakan ‘bumipoetra’ dan ‘Hindia Olanda’ (Hanggoro, 2019).
Namun persinggungan modernitas yang dibawa bersama kolonialisme itu pada akhirnya memunculkan terjadinya perubahan kesadaran pada masyarakat Indonesia mengenai ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan yang diadopsi dari Barat tersebut melahirkan kebudayaan Indonesia baru yang lebih modern. Kemajuan teknologi sebagai hasil dari revolusi industri juga ikut mempengaruhi wajah peradaban Indonesia.
Puncak dari modernitas di Indonesia yaitu ketika tahun 1998. Terjadinya reformasi merupakan puncak kesadaran masyarakat dalam menggunakan rasionya dalam mengkritik pemerintahan atau pun permasalahan lain dalam dimensi kebudayaan. Pada masa-masa reformasi tersebut, salah satu public sphere yang terjadi adalah Suara Ibu Peduli yang diinisiasi pada 1997 dan berisi sekitar 15 orang yang saling bertemu untuk membahas kelangkaan dan mahalnya harga susu sampai mencapai 400% sekaligus merencanakan usaha demonstrasi untuk mengkritik pemerintahan Orde Baru.
Gerakan Suara Ibu Peduli ini berupaya menggalang donasi untuk membeli susu dan menjualnya dengan harga murah sehingga ibu-ibu yang kesulitan mencari serta membeli susu bisa mendapatkannya dengan harga yang lebih manusiawi. Puncaknya, gerakan ini melakukan demonstrasi di Bundaran HI yang tujuan utamanya adalah mengkritik pemerintahan sekaligus membawa isu kelangkaan susu (Arivia: 2018).
Apakah modernitas sudah tercapai? Tentu belum, sebab modernitas merupakan sebuah perjalanan, sebuah proses membentuk masyarakat yang sadar tentang kemerdekaannya dalam berpikir dan bersikap sesuai rasionya. Sehingga proses modernitas di Indonesia ini pun masih terus berlangsung sampai sekarang.
Teori ruang public (public sphere) muncul dari pemikiran Habermas pada 1989 dalam buku “The Structural Transformation of The Public Sphere: An Inquiryinto Category of Gourgeois Society” (Nasrullah, 2012).Ia berpendapat bahwa padamulanya ruang publik merupakan suatu ruang yang tercipta dari kumpulan orang-orang tertentu (khususnya kaum borjuis). Habermas mengkritik ruang publik seharusnya diisi dengan pembahasan dan isu yang ringan agar masyarakat kelas bawah dapat memahami, mengakses dan juga ikut beraspirasi dan diskusi.
Public Sphere mulai lebih terbuka dan memperoleh kebebasan semenjak erareformasi. Sehingga diskusi-diskusi sensitif perihal isu kenegaraan dan lain sebagainya dapat didiskusikan di ruang publik tanpa adanya tekanan dari penguasa. Hal ini juga memungkinkan adanya gerakan pencerahan pada masyarakat melalui diskusi-diskusi tersebut. Sehingga, public sphere sangat mungkin diterapkan di Indonesia, hanya saja, kesadaran masyarakat menengah dan masyarakat bawah untuk berdiskusi yang perlu ditingkatkan dengan penanaman budaya literasi yang kuat.
Geliat masyarakat Nusantara dalam meminum kopi semakin meningkat. Coffee shop menjadi salah satu tempat atau sarana yang penting bagi masyarakat.
Esensicoffee shoptidak hanya sekedar tempat menikmati minuman kopi, namun lebih dari mereka bisa menyambung silaturahmi dengan teman-teman dan sahabat. Merepresntasikan kebiasaan masyarakat dan telah menjadi budaya yang sangat melekat dalam kehidupan, sekaligus identitas kolektif sebuah masyarakat.
Coffee shop tidak hanya menjadi ranah domestik bagi laki-laki, melainkantelah menjadi sarana bagi kaum perempuan untuk mengaktualisasikan diri mereka sebagai bagian dari manusia modern. Coffee shop juga menjadi arena diskursus beragam tema pembicaraan. Topik-topik pembicaraan sangat beragam mulai dari politik, sosial, ekonomi, dan lain sebagainya.
Sebagaipublic sphere, coffee shoptelah hadir dalam menjamin kebebasan perilaku, tindakan, dan refleksi mandiri masyarakat. Tidak terkungkung oleh kondisi materiil dan jaringan-jaringan kekuatan negara. Kondisi ini sangat ideal bagi menciptakan civil societydalam komunitas lokal. Melahirkan sebuah gerakan sosial. Meskipun gerakan sosial tidak serta merta lahir dari masyarakat karena masih adanya pengaruh mahasiswa dan aktivis yang membangkitkan identitas dalam melawan musuh bersama.
Sebagai sarana produksi dan reproduksi wacana, Coffee shopmemegang peran sentral mengikuti pemikiran Jurgen Habermas sebagai public sphere. Konseptualisasi public sphere secara umum merupakan ranah publik yang merujuk kepada gagasan “keruangan” yang menyediakan arena terbuka atau forum yang kurang lebih otonom untuk debat publik. Akses untuk ruang ini bebas dan adanya jaminan terhadap kemerdekaan berkumpul, berserikat, dan berpendapat (MMcQuail, 2011).
Sejalan dengan meningkatnya intensitas di skusi dan berjalannya waktu, proses-proses yang terjadi di dalam ruang publik nantinya akan memengaruhi kebijakan-kebijakan politik di masyarakat melalui pembentukan opini publik, pada akhirnya tercipta sebuah gerakan sosial (social movement) di masyarakat. Sosial movement merupakan respon dari gejalan sosial yang ada. Gejala-gejala sosial itu bisa berupa kebijakan pemerintah atau kondisi sosial dan agama masyarakat. Gerakan sosial dimaksudkan bisa sebagai mendukung atau mengkritisi kebijakan pemerintah.
T
opik pembicaraan Coffee shopsangat beragam mulai dari politik, sosial, ekonomi, dan lain sebagainya terkadang pemibcaraan sehari-hari yang tidak terlalu penting jga terangkat disini. Namun tema sosial yang selalu mendominasi diskursus Coffee shop di kalangan beberapa orang yang mendatangi tempat ini. Hal ini disebabkan oleh ketertarikan masyarakat terhadap tema sosial, meskipun tidak semua masyarakat memahami tingkat literasi sosialnya.
Sebagai public sphere, Coffee shop telah hadir dalam menjamin kebebasan perilaku, tindakan, dan refleksi mandiri masyarakat. Mereka tidak terkungkung oleh kondisi materiil dan jaringan - jaringan kekuatan negara. Kondisi ini sangat ideal bagi menciptakan civil society dalam komunitas lokal.
Diskursus sosial ini telah berhasil dimanfaatkan oleh masyarakat dalam melahirkan sebuah gerakan sosial. Meskipun gerakan sosial tidak serta merta lahir dari masyarakat karena masih adanya pengaruh individu dan aktivis yang membangkitkan identitas dalam melawan musuh bersama. Namun, sikap permisif masyarakat untuk mau terlibat dalam gerakan sosial patut diberi penghargaan. Hal ini berarti masyarakat menyadari akan pentingnya perjuangan bagi kemerdekaan mereka dari masalah sosial melalui aparatusnya.
Daftar Pustaka
Arivia, G. (2018, September 17). Politik Representasi Suara Ibu Peduli. Retrieved Desember 13, 2019, from jurnalperempuan.org: https://www.jurnalperempuan.org/ wacana-feminis/politik-representasi-suara-ibu-peduli
Hanggoro, H. T. (2019). Medan Prijaji, Medan Laga Tirto Adhi Soerjo. Retrieved Desember 13, 2019, from Historia.id: https://historia.id/politik/articles/medan-prijaji-medan-laga-tirto-adhi-soerjo-PNayR
Jurgen, Habermas. (1962). The Structural Transformation of The Public Sphere: anInquiry into a Category of Bourgeois Society. Germany: MIT Press.
Gerben, Heitink. (1999). Practical Theology: History, Theory, Action Domains,Michigan, William B. Errdmans Publishing Company.
0 Comments